Jumat, 14 November 2014

Prompt #70 : Mengurai Rindu Ibu



Sumber



Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat. Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.

"Mas Koyo," orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. "Saya Kiswoyo, masih ada hubungan darah dengan Mbak Uci," katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. "Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini," sambungnya.


Aku mengangguk tanda setuju. Sedikit lebih lama lagi menunggu di luar sini bisa jadi aku akan mati beku. Pria bernama Kiswoyo itu lalu menstarter motor bebeknya. Berdua kami membelah jalanan malam yang mulai berkabut.

“Mas Kis…maaf boleh tidak ya saya diantar ke rumah ibu saya saja,” ujarku setengah berteriak menyaingi bising suara motornya. Dia mengangguk lalu membelokkan arah ke desaku. Kira-kira sejam kemudian kami baru sampai.

Rumah masa kecilku masih sama. Kusam dan reyot, kalau tidak bisa dibilang hampir rubuh. Ah, tentulah jam segini ibuku masih terjaga. Beliau biasanya menghabiskan malam sambil menjahit di ruang tamu.

“Assalamualaikum Bu…,” seruku sambil membuka pintu. Aku yakin ibu pasti tidak mengunci pintu sebelum lewat tengah malam karena dulu terbiasa menunggu Bapak pulang larut.

“Koyo? Kamu benar-benar Koyo??” Ibu menatap tak percaya. Ditangkupnya wajahku dengan kedua tangannya yang renta. Wajahnya yang keriput tak mengurangi kecantikannya di masa muda.

Aku menghambur ke pelukannya. Diciumnya keningku berkali-kali. Satu-dua air matanya menetesi wajahku. Bercampur dengan air mataku. Segala rasa teraduk-aduk menjadi satu. Rindu, senang, sedih, dan entah apalagi.

“Assalamualaikum Budhe…. Saya Kiswoyo,” tiba-tiba Kiswoyo sudah berdiri di ambang pintu memperkenalkan diri. Ibu terkejut melihatnya.

“Kamu saudara sepupunya Uci bukan?” tebak ibu. Kiswoyo mengangguk.

“Kebetulan tadi saya lewat lapas dan melihat Mas Koyo lama menunggu. Tadinya mau saya bawa menginap di rumah tapi Mas Koyo minta diantar ke sini,” jelasnya lagi.

Ibuku mengangguk penuh rasa terima kasih. Pria itu lalu pamit pulang dan berjanji kapan-kapan akan berkunjung lagi.

Selepas Kiswoyo pergi, tinggal aku dan ibuku yang melanjutkan mengurai rindu. Kusandarkan kepala di pangkuan ibu. Tangannya mengelus-elus rambutku yang memutih. Terlalu lama rupanya kepedihan ini memisahkan kami.

“Maafkan ya Nak, Ibu lupa kalau hari ini kamu dibebaskan. Maklum sudah umur…. Sudah beberapa tahun ini Ibu belum mendengar kabar dari Uci. Mungkin dia masih trauma dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu,” mata ibu mulai berkaca-kaca.

“Tak apa Bu, nanti kita cari bersama-sama ya. Semoga saja bisa ketemu. Saya juga rindu sekali dengannya. Bahkan bila memungkinkan kita pindah saja dari rumah yang membawa kenangan buruk ini,” hiburku.

Ibu mengangguk setuju. Air matanya berjatuhan lagi satu-satu.

“Maafkan Ibu ya Nak, karena Ibu kamu harus mendekam di penjara sekian lama.”

Aku menggeleng kuat. “Itu pilihan hidupku, Bu. Demi menjaga kehormatan keluarga ini, kehormatan istriku, dan kehormatan Ibu. Demi kebahagiaan Ibu…,” hiburku lagi.

Pelukan ibu semakin erat. Berdua kami larut dalam kenangan malam itu, malam jahanam ketika bapakku yang sedang mabuk berat mencoba menodai Uci. Untunglah ibu datang dan menyelamatkan istriku. Ibu yang terpojok dengan terpaksa memukulkan botol minuman ke kepala bapak hingga ajal menjemput nyawanya. Aku yang baru pulang bekerja terkejut mendapati kedua wanita itu berpelukan dan bersimbah darah. Tanpa pikir panjang kuambil bongkahan pecahan botol terbesar dengan tanganku dan kuakui semua perbuatan ibuku. Biarlah kutanggung semuanya di pundakku.


Jumlah kata : 455 kata

Alhamdulillah karya ini terpilih sebagai karya terpilih Prompt #70 di ajang MFF. Semoga bisa belajar lebih baik lagi :)

4 komentar:

  1. duh.....imajinya serem.
    kebanyakan baca dan liat berita kriminal nih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah ndak lo Mas, saya sudah lama gak nonton tv dan baca berita lo....
      Mungkin kepala saya aja yang terlalu serem hehee

      Hapus
  2. hihi gpp, serem tapi bagus mbak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trims mbak Tika untuk singgah dan komen2nya :D
      Jangan bosan yaaa

      Hapus

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^