Jalan menuju desaku semakin menciut.
Artinya sebentar lagi aku akan sampai. Tak terasa berjam-jam sudah kulalui.
“Setengah jam lagi kita sampai,”
lapor supirku. Aku hanya mengangguk.
Setengah jam lagi aku akan
menjemputnya. Luthfia. Nama yang indah seindah pemiliknya. Dialah wanita
pilihanku, setelah kutinggalkan sekian lama.
Aku mengenalnya dari masa kanak-kanak, ketika
ikut nenek pindah ke kampung setelah orang tuaku bercerai. Kala itu hanya dia
yang mau berteman denganku, tepatnya melindungiku dari kejahilan anak-anak yang
suka mengganggu. Meskipun dia perempuan tapi dia lebih berani dariku. Pernah suatu
ketika dia meninju anak tetangga gara-gara mengataiku banci dan menyiramku
dengan air cucian beras. Padahal aku sendiri tak marah. Menangis pun tidak. Mungkin
sudah biasa, atau mungkin aku gengsi saja. Lagipula menurutku air cucian beras
bisa bikin kulitku lebih halus dan putih. Tak percaya? Coba saja.
“Dion...kalau diusilin orang tuh. Lawan kek, pukul kek, apaan gitu!” protesmu. Tanganmu mengepal-ngepal dengan
mata memerah.
“Percuma Fi.... Jangan membalas
api dengan api.... Lagian kamu juga jangan suka marah-marah nanti cepat tua
loh,” kataku sok bijak.
“Namamu kan Luthfia, artinya
lembut, tapi kok jauh banget ya sama aslinya,” selorohku sambil siap-siap
kabur.
Pletak!! Tuh kan bener kepalaku
dilempar pake sandal. Untung cuma kena ujungnya, hehe...kabooorrr! Tak kudengar lagi semua makian
dan sumpah serapahnya. Aku tertawa lebar sambil terus berlari mencari tempat
sembunyi. Rasanya hanya aku yang berani mengatainya. Aneh karena di desa kami
tak ada seorang lelaki pun yang berani
menggodanya.
Belakangan aku menyadari memang
sikapnya sangat berbeda denganku. Dia lebih lembut dan suka over-protected. Selidik punya selidik
rupanya dia naksir padaku. Hal itu diungkapkannya menjelang kami lulus SMA. Aku
masih ingat waktu itu, hari hampir gelap ketika kubonceng dia dengan sepeda tua.
“Aku sayang deh sama Dion...,” bisiknya
sambil memeluk pinggangku dari belakang. Waktu itu angin sepoi, langit semburat
keemasan, dan kami melewati pematang sawah. Semuanya sempurna. Yang tidak
sempurna hanya satu. Aku.
Kukatakan padanya aku masih punya
cita-cita besar yang ingin kuraih. Cita-cita yang membuatku kelak akan dihargai
orang dan tidak akan pernah ditindas lagi. Ketika dia bertanya apa cita-cita
itu, aku menjawab dengan pasti, “Aku mau jadi artis Fia....” Dan dia pun
tertawa ngakak.
Tapi tawa itu lalu berubah
menjadi tangis. Duhai wanita, bolehlah kau memukuliku sekuat tenaga, asalkan
janganlah kau titikkan air mata. Sore itu menjadi sore yang kelabu. Pertama kalinya
aku ditembak seorang wanita. Sahabat baikku sendiri.
“Sudah sampai,” lapor supirku
lagi. Ah, aku semakin tak sabar....
***
“Luthfia....”
“Astaga! Dion! Ini Dion kan? Yang
suka di TV itu? Kamu hebat sekali sekarang bisa jadi artis...,” serunya sambil
memelukku erat. Air matanya mengembang bahagia.
“Pssst...jangan panggil aku Dion,
sekarang namaku Dian, oke? Gimana dengan tawaranku kemarin? Kamu mau kan jadi bodyguard aku? Aku memang lebih memilih
cewek soalnya gak kuat kalau lihat cowok gagah dekat-dekat aku....” ujarku
sambil berbisik.
“Kamu ini, dari dulu gak berubah
ya.... Masalah itu gampang lah nanti kita bahas. Sekarang aku mau nanya dulu,
kamu sudah dioperasi yang mana aja?” tanyanya antusias. Aku menghela nafas.
Jumlah kata : 490 kata.
Hmm.. POV nya ngebingungin, Um! Apakah Lutfia sbg org kedua atau org ketiga? :-)
BalasHapusKalau Luthfia sebagai orang yg diceritakan berarti jadi orang ketiga, kalau pas ketemuan berarti jadi orang kedua karena ngobrol sama yang bercerita, hehe, maaf saya juga binun, maklum masih belajar.... Nanti coba saya cari wangsit dulu untuk membenahi bagian2 yg kurang sreg, trims sudah berkenan mampir :)
BalasHapus