“Bu, punya sarung gak?” kata Bapak sambil ngeloyor ke kamar
mandi.
Kami hanya melongo. Ibu mengernyitkan dahi setengah tak
percaya. Sementara itu Bapak sedang asyik di kamar mandi.
Hari ini memang lain dari yang biasanya. Seumur-umur selama
menjadi pejabat belum pernah Bapak mandi sepagi ini. Ibu yang merasa aneh
sampai menguping dari pintu kamar mandi.
“Lo, Ibu, ngapain nempel di pintu toilet begitu? Bukannya
nyiapin sarung buat Bapak,” tegur Bapak kesal. Ibu yang ketahuan langsung
mencari alasan, “Anu… kan selama ini Bapak gak pernah shalat, maksud Ibu, gak
pernah pakai, jadi Ibu gak punya. Bapak pakai punya Nanda dulu ya? Nanti Ibu
belikan di pasar.” Bapak mengangguk sambil berlalu.
“Le, pinjam
sarungmu ya, Bapakmu kayaknya mau shalat,” Ibu bergegas mencari sarung di
lemariku. Aku pernah mendengar bahwa masa-masa pensiun bisa mengubah sifat
seseorang. Tapi aku tak menyangka bahwa efeknya bisa sedrastis ini. Baru
seminggu berlalu semenjak Bapak pensiun, rupanya kesadaran beribadah Bapak
sudah mulai muncul hari ini. Kesadaran yang membuat kami serumah heran karena datang
tiba-tiba tanpa tahu apa penyebabnya.
* * *
“Le, Bapakmu jadi
pembicaraan orang-orang lo,” curhat Ibu sepulang dari pasar.
“Gara-gara Ibu beli sarung buat Bapak? Apa gara-gara Bapak
yang mulai shalat ke masjid?” tanyaku tak kalah antusias.
“Dua-duanya. Malah ada yang ngatain Bapak berubah semata-mata
untuk pencitraan biar gak tersangkut kasus korupsi yang ramai di instansinya
kemarin,” Ibu menghela nafas. Wajahnya terlihat prihatin.
“Biarin aja Bu, yang penting kan Bapak sudah berubah. Siapa
tahu memang sudah dapat hidayah. Semakin tua mungkin Bapak makin bijak. Ibu
sudah bisa tenang sekarang kan?” ujarku menghibur. Wajar bila kami serumah
merasa perubahan Bapak mengkhawatirkan. Tak elok rasanya bila kuumbar aib Bapak
di sini, tapi sungguh jujur tak pernah sekalipun kami melihat Bapak beribadah
selama ini. Jangankan shalat, menunjukkan bahwa Bapak percaya dengan Tuhan pun
tidak. Untunglah Ibu tetap sabar mendampingi Bapak dan mengajarkan kami tentang
ilmu agama yang sama sekali tidak kami dapatkan teladannya dari Bapak.
* * *
“Alhamdulillah Le,
Bapakmu sekarang tambah rajin ke masjid. Bukan hanya untuk shalat, tapi juga
mengaji. Kemana-mana pakai sarung dan peci. Bahkan sebentar lagi katanya mau
mengajak Ibu naik haji tahun ini…,” Ibu bercerita lewat telepon, ketika aku
berdinas di luar kota hingga beberapa bulan. Aku tak kuasa menitikkan air mata.
Bapak yang selalu kurindukan menjadi orang yang shaleh, kini akhirnya terwujud.
Saking senangnya, aku sampai bersujud syukur berkali-kali. Tak kuasa aku
menahan diri untuk segera pulang menemui Bapak.
* * *
Rumah tampak sepi ketika aku sampai. Berkali-kali kuketuk
pintu tak ada jawaban. Tangan kiriku mendekap erat sarung baru yang telah
kubungkus rapi sebagai hadiah untuk Bapak.
“Eh, Nanda…sudah pulang Nak?”
“Iya Pak…Ibu mana?”
“Ada di belakang.”
“Ini ada sarung baru buat Bapak. Biar tambah semangat ke
masjid.”
“Iya, taruh di meja aja. Kayaknya Bapak sudah gak perlu
lagi.”
Aku melongo, “Oh, stok sarung dari Ibu masih banyak ya?”
“Enggak. Kayaknya Bapak gak perlu ke masjid lagi. Bapak gak
jadi nyaleg Le. Parpol yang sudah
janji gak mau jadi sponsor Bapak…,” ujar Bapak lesu.
Oalah, Bapak….Bapak!
* * *
Jumlah kata : 496 kata
Le : singkatan dari Thole, panggilan sayang untuk anak laki-laki suku Jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^