Sumber |
Pagi itu, seperti biasa aku
menjaga ruangan sambil mengerjakan pekerjaan rutin yang menumpuk di meja. Hampir
saja kuabaikan sebuah panggilan halus dari balik punggungku.
“Permisi, Bu. Boleh saya dibantu
mengisi SPT Tahunan?” seorang bapak berusia paruh baya bertanya dengan santun.
Aku lupa-lupa ingat pernah
bertemu Bapak ini di mana. Ah, rupanya beliau ini sebelumnya pernah berkonsultasi
soal SPT Tahunan juga. Sebenarnya aku bisa saja menolak karena sejak bulan
Februari ada satgas SPT Tahunan di lantai satu Kantor Pajak tempatku bekerja
(di tiap KPP juga sudah buka, lo), tapi kuurungkan niat untuk menyuruh beliau
turun ke lantai satu, sebab khawatir akan membuat beliau kurang nyaman.
“Silakan duduk, Pak,” sambutku
sambil mengantar beliau ke ruangan konsultasi.
Beliau rupanya lupa dulu pernah
konsultasi denganku. “Maklum, Bu, sudah umur,” kelakarnya sambil tertawa.
Beliau mengulang lagi kisah yang sama, bahwa umurnya telah 70 tahun, baru saja
operasi mata, dan beliau suka lupa, jadi beliau minta maaf kalau nantinya akan
merepotkanku.
Sekali lagi kutanggapi dengan
jawaban yang sama seperti pertemuan yang dulu. “Untuk ukuran orang yang berusia
70 tahun, Bapak sehat sekali!” dan Bapak itu lalu tertawa, sama seperti dulu.
Beliau rupanya adalah pensiunan
pegawai sebuah instansi pemerintah. Ketika akan mengisi SPT Tahunannya, beliau
panik sekali ketika bukti potong dari Dana Pensiun 2 tahun lalu tidak terbawa. Rupanya,
bukti potong itu berisi petunjuk bagian mana yang akan dipindahkan ke SPT
Tahunan, yang pernah diberikan oleh seorang petugas pajak yang dulu pernah
ditemuinya.
“Bapak jangan khawatir, saya akan
bantu kasih petunjuk di bukti potong yang baru, jadi Bapak tinggal memindahkan
ke SPT Tahunan.”
“Terima kasih, Bu. Tapi pakai
pensil ya, biar bisa dihapus, nanti bukti potong ini saya lampirkan, tidak?”
“Ya dilampirkan, kan kemarin dulu
sudah saya kopikan? Saya kasih petunjuknya di (bukti potong) yang asli, Pak. Jadi Bapak bisa simpan buat petunjuk tahun depan.”
Beliau manggut-manggut, jelas
sekali lupa kejadian itu.
Sambil mengisi SPT Tahunan, kami
mengobrol ngalor-ngidul. Waktu kujelaskan tentang fasilitas pelaporan SPT Tahunan
melalui e-filing alias secara online, beliau mengaku tidak tertarik.
“Anak saya lapor pakai internet,
Bu. Tapi saya lebih suka ke Kantor Pajak melaporkan sendiri. Bertemu, berbicara
dengan orang lain, lumayan bisa menghilangkan kejenuhan saya.”
Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk
batinku. Beliau pasti sangat kesepian di masa tuanya. Ah, perbedaan zaman
menyebabkan perbedaan pola pikir. Manusia dulu menyukai interaksi secara
langsung, sebab itulah kecerdasan emosi, rasa empati dan penghargaan terhadap
sesama manusianya begitu tinggi. Manusia zaman sekarang, ah...aku tak sanggup
meneruskannya.
Tangan beliau bergetar ketika
mengisi lembar demi lembar SPT Tahunan. Berkali-kali kacamatanya digeser agar
lebih nyaman membaca. Dan ketika tiba mengisi kolom harta...beliau tiba-tiba panik
mencari suatu berkas.
“Waduh, Bu. Saya lupa membawa SPT
tahun lalu. Saya mau menyontek kolom hartanya,” wajahnya memelas.
“Bapak isi seingat Bapak saja,”
aku lebih tak tega membayangkan beliau harus pulang dan kembali lagi besok.
Raut wajahnya mengeras. “Saya
orangnya perfeksionis, Bu. Saya ingin konsisten mengisi SPT Tahunan. Agar tidak
terjadi kesalahan, saya harus melihat SPT tahun lalu.”
Hatiku rasanya mencelos. Miris,
banyak sekali orang yang sengaja tidak mengisi kolom harta di SPT Tahunannya atau
malah mengisi serampangan saja, tapi bapak ini sungguh berkomitmen dalam
mengisi SPT Tahunannya. Kebetulan beliau ini mengisi SPT Tahunan form 1770-S yang meminta detil keterangan kolom harta.
Seketika aku teringat sesuatu,
mengisi kolom harta memang tak boleh sembarangan, sebab itu bisa menjadi dasar
diterbitkannya SKB (Surat Keterangan Bebas) atas Warisan beliau kelak. Bila
hartanya tidak tercantum di SPT Tahunan maka SKB Warisnya tidak akan bisa
dikabulkan.
“Apa gak ada orang rumah yang
bisa dimintakan bantuan, Pak?” tanyaku hati-hati.
Beliau menggelang. “Istri saya
sudah linglung, Bu. Anak-anak juga sudah sibuk dengan keluarganya.”
Hatiku makin teriris
mendengarnya. Duhai Bapak, akankah kelak aku akan bernasib sepertimu?
“Tidak apa-apa, Bu. Saya pulang
saja. Besok saya temui ibu lagi. Mohon dibantu ya Bu, menyelesaikan mengisinya.”
Aku hanya bisa mengangguk,
pasrah. Besok atau besoknya lagi, aku pasti menunggumu, Pak. Terima kasih sudah datang hari ini dan mengajarkanku, tentang bagaimana menjadi Wajib Pajak yang
jujur dan berkomitmen kepada negara.
Sesaat setelah beliau pergi,
diam-diam kutekan sebuah nomor di layar HP....
“Assalamualaikum...Ayah, lagi ngapain? Sudah lapor
SPT Tahunan belum? Mau kubantuin?”
* * *
NB : Ini true story. Jangan lupa ya, minta bukti potong ke tempat kalian
bekerja dan laporkan SPT Tahunan ke Kantor Pajak tempat terdaftar, atau bisa
juga secara kolektif ke Kantor Pajak terdekat. Selamat mengisi SPT!
Baca ini juga ya!
Baca ini juga ya!
Keren Bu...
BalasHapusThanks sudah baca ya Broo :)
HapusMasyaallah,mbak. Malah jd mbrebes mili gini. Mudah2an bisa mencontoh bapak itu
BalasHapus...
Amiiin. Semoga kita semua bisa meneladani beliau :)
Hapus