Mengapa saya menulis? Ini pertanyaan menarik sebab membuat ingatan saya terlempar ke beberapa tahun silam saat mula-mula menulis di blog ini. Setelah menengok rekam jejak digital, rupa-rupanya saya mulai jadi pengeblog sejak tahun 2013.
Kala itu saya sedang giat-giatnya ikut Monday Flash Fiction, sebuah komunitas penulis fiksi mini. Saya tak mahir menulis fiksi, nonfiksi pun tidak. Saya gabung di grup itu karena kagum dengan karya para anggotanya.
Menulis cerita fiksi yang dibatasi ketentuan tak lebih dari seribu karakter sungguh menantang. Apalagi, grup itu memberikan tantangan tiap pekan dengan tema yang beragam. Saya jadi mengenal beberapa genre fiksi.
Singkat cerita, di tahun 2015 komunitas itu menggelar kompetisi bertajuk Monday Flash Fiction Idol 2. Di ajang itu, alhamdulillah saya menyabet posisi runner-up. Karya sepuluh besar finalis lalu dibukukan dan terbit setahun kemudian. Saya dan dua kawan lain mendapat kesempatan menjadi ilustrator antologi itu.
Menulis dan menggambar adalah dua hal yang saya sukai. Selain fiksi, saya juga suka menulis puisi. Maka, blog saya seperti gado-gado. Fiksi, gambar, dan puisi tercecer di situ. Benar-benar menunjukkan kepribadian saya yang tak teratur.
Selain karya di atas, saya sesekali bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Karena punya dasar menulis fiksi, saya lebih nyaman menulis feature daripada opini. Beberapa kejadian yang menyentuh atau kegiatan kantor yang menarik saya abadikan dalam bentuk artikel.
Awalnya untuk catatan pribadi saja. Namun, ada satu momentum yang mengubah dominasi tema tulisan saya. Momentum itu bernama Amnesti Pajak. Saya pernah menulis artikel sederhana bertema ini. Ternyata pembacanya menembus angka tiga puluh ribu, yang komentar juga banyak.
Saya baru menyadari bahwa warganet sangat haus informasi tentang hal ini. Waktu itu saya belum tahu kalau ada sistem SEO (search engine optimization). Yang saya pahami, bila kita menulis suatu tema yang banyak dicari peselancar dunia maya, secara organik blog akan banyak dikunjungi.
Sejak itu saya banyak menulis tentang pajak, terutama tema-tema baru yang belum populer diketahui masyarakat. Pengunjungnya lumayan, kadang bisa di atas seribu. Menurut saya ini lebih efektif daripada harus konsultasi atau sosialisasi langsung yang target audiensnya terbatas.
Suatu ketika, saya nekat menemui salah seorang pejabat pengelola situs web pajak, Pak Riza Almanfaluthi. Kebetulan sekali, beliau juga pengeblog dan penulis andalan institusi tempat saya bekerja. Saya sering belajar dari blognya cara menulis yang baik.
Dari pertemuan itu, beliau mengundang saya untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Pelatihan pertama berlangsung di bulan September 2017. Saat itu, saya belajar cara menulis berita dan opini. Salah satu pembicaranya adalah jurnalis senior bernama Wiyoso Hadi. Sampai sekarang, dua nama itu adalah guru yang sangat berjasa dalam perjalanan menulis saya.
Sejak itu pula saya mulai rajin menulis di web pajak. Belakangan, saya suka mengirim artikel opini di koran. Menulis opini mempunyai tantangan tersendiri, selain pondasi argumentasi harus kokoh, riset yang kuat juga menjadi nilai plus. Maka, menulis satu artikel bisa menguras energi beberapa hari.
Kadang kelelahan itu saya imbangi dengan menggambar atau berpuisi. Menulis fiksi kadang masih saya lakukan, tapi sudah sangat jarang. Ada yang bilang kalau sudah terbiasa menulis nonfiksi maka akan kesulitan menulis fiksi, sebab kehilangan feel-nya.
Haha. Bisa jadi. Seperti pisau, kalau tidak diasah maka kemampuan menulis fiksi akan tumpul. Menulis mau tak mau menjadi kebutuhan, bukan sebuah kewajiban. Menulis karena ingin, bukan karena harus. Agar tulisan itu jernih menggambarkan pikiran sang penulis, sekaligus jujur mengisahkan pandangannya terhadap dunia.
Perjalanan blog ini sendiri menggambarkan perubahan tujuan menulis saya. Yang tadinya menulis hanya untuk kesenangan pribadi, tempat menumpahkan ekspresi, kini jadi kanal informasi bagi lebih banyak orang.
Meski masih seperti gado-gado, saya belum terpikir untuk merapikannya. Mungkin karena saya ingin dikenal apa adanya, atau karena malas saja. Yang jelas saya belum malas kok untuk mencurahkan pikiran. Sebab menurut saya, berpikir saja tak cukup menunjukkan keberadaan kita.
Akan ada masa nama kita tak lagi dikenang, jasad menjadi debu, dan perbuatan kita dilupakan. Tapi yang tertulis dan menginspirasi, akan selalu abadi. Lalu, mengapa tak mulai menulis?
*Tulisan ini disertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Insitute
Tips berbicara daring? Baca di sini ya!
Saya suka sharing pengalaman menulis seperti ini. 2017 ikut workshop jurnalistik di mana, mbak?
BalasHapusDi kantor pusat Mas Her, yang ngadain p2humas. Sukses terus ya 😊
HapusKayaknya kita dulu satu komunitas ya Mba 😁
BalasHapusIya Mbak Rini, dulu suka saling mengunjungi blog ya, merindukan masa-masa itu 😊
HapusTadinya saya cuma mau search soal obrolan bapak-bapak yang baru bubar sekitar sejam yang lalu. Pembicaraan itu sebenarnya soal duka cita. Seorang member tongkrongan bapak-bapak baru saja meninggal enam hari yang lalu.
BalasHapusTapi duka cita kontan berubah menjadi nuansa misterius. Alharhum menunjukkan tanda-tanda gelas pecah digenggaman beberapa jam sebelum meninggal. Ada kemungkinan santet, kata bapak yang satu. Disambung ngalor ngidul bapak lainnya.
Biar kata ngalor ngidul, tapi rasanya kok saya jadi mau tau soal hubungan gelas pecah dan santet. Lah malah nyasar ke blog wkwkwk
Btw, salam kenal mba. Saya juga since 2013. Tapi ya subhanallah sampai sekarang menulispun masih amatiran hehe