“Aku tak mengira hal mengerikan itu terjadi padaku.” Bayangan di depan cerminku mendesah kelu. Wajahnya pias membiaskan sendu. Gaun putih masih melekat di tubuhnya, serupa kain kafan penghenti kefanaan. Pun masih saja aku berharap bayangan itu memudar. Atau tubuhku sekalian saja yang memudar.
“Sudah selesai Nak ganti bajunya? Tamu-tamu
sudah menunggu,” kepala ibuku menyembul dari balik pintu. Senyumnya semringah
sehingga wajahnya beberapa tahun tampak lebih muda. Tanpa menjawab aku berbalik
membelakangi cermin, menatapnya dengan tajam.
“Sudah selesai bukan semua sandiwara itu Ibu?
Haruskah aku menemui semua orang dengan topeng palsu?” Sayangnya teriakan itu
hanyalah gema dalam hatiku. Tak satupun kata terucap dari mulutku. Hanya air
bening merembes dari sudut mata, melunturkan maskara yang melingkupinya
sempurna.
“Aduuuh, kenapa kamu menangis? Pipimu jadi
kelunturan Nak…,” dengan panik dihapusnya noda di pipiku. Seandainya ibu tahu
caranya menghapus duka di hatiku.
“Ibu tahu kamu sangat terharu dengan semua
prosesi tadi. Kamu juga sangat lelah setelah berhari-hari sibuk dengan
persiapan pesta hari ini. Tapi sebentar saja, tahanlah sedikit sampai hari ini
berlalu,” bisik ibu di telingaku.
Apa? Bertahan dan melalui malam-malamku dengan rasa
perih yang menyayat jiwa? Bukan ibu ‘kan yang menikah demi melunasi hutang keluarga?
Kenapa nasihat itu terdengar begitu mudah? Kucengkeram erat kain gaun putihku,
keberanianku hanya sampai di situ.
Perlahan ibu membimbing lenganku keluar kamar. Suara
musik klasik lembut mengalun dari band di atas panggung. Riuh-rendah orang mengobrol sambil terkikik seakan
inilah hari bahagia mereka. Membuatku iri dengan serta merta. Kehadiranku rupanya
berhasil mencuri perhatian mereka. Saatnya memasang wajah yang bahagia.
Kemudian di sana kulihat lelaki itu. Berdada
bidang dan berbelah dagu. Matanya tajam seperti ingin memangsaku. Seketika pikiranku
terlontar pada suatu masa, aku dan dia pernah terikat rasa. Masa kami bermain
bersama dari kecil, remaja, dewasa. Hingga tak pernah aku mencoba memindahkan
hatiku pada yang lainnya. Kupikir semua benar akan indah pada waktunya, saat
ibu bilang keluarganya akan datang melamar. Ah, tapi sudahlah, nasi sudah
menjadi bubur. Bening basah membayangi mataku yang mengabur.
“Kirana, kemarilah…. Ayahku sudah lama
menantimu!”
Ya, di balik pria cinta pertamaku itu berdiri
ayahnya menantiku di pelaminan.
Jumlah kata : 340 kata
waduh.... benar-benar mau dimangsa.
BalasHapustapi kenapa si pemuda itu tenang-tenang aja.... mungkin sudah lupa kali yah dengan kenangan masa lalu
Ehm...bisa jadi sebenarnya kan itu hanya perasaan Mbak Kirana saja toh Mas, bertepuk sebelah tangan gitu.... Bisa jadi lo.... Trims sudah mampir :)
Hapusjadi ibu tiri dari cinta pertama...
BalasHapusYup mas Ryan, cukup seram kan? hehe...
HapusTrims sudah singgah :)
seram ya ceritanya:(
BalasHapustapi terlepas dr itu, menurutku setelah kalimat "Matanya tajam seperti ingin memangsaku" itu ada kalimat penghubung supaya nyambung ke kalimat ini : "Seketika pikiranku terlontar pada suatu masa, aku dan dia pernah terikat rasa". awalnya saya mengira 'nya' dikalimat prtm objeknya sama dgn 'dia' dikalimat ke2. itu sih dariku :)
Sama kok mbak objeknya, jadi cinta pertamanya Kirana ini juga mengumpankan Kirana ke bapaknya, terlepas dari hubungan mereka dulu -entah sahabat, pacar, atau ttm- begitu (untuk menambah ke"ngeri"an cerita)....
HapusTrims sudah mampir yaaa, trims masukannya juga :)