Meski lelah setelah berjam-jam melalui
perjalanan di atas mobil, kupaksakan diri meluangkan waktu mengelilingi desa
ini. Sumberjati, demikian tulisan yang terpampang di gerbang masuknya. Meski
demikian, tak satupun kulihat ada hutan jati di sekitar daerah ini. Hanya ada
beberapa pohon jati berbaris di tepi jalan masuk desa. Selebihnya sawah yang
luas dan hamparan padi menguning dengan bulir-bulirnya yang gemuk. Seperti
gambar yang ada di lukisan-lukisan beraliran romantisme.
Sayangnya gerimis turun, memaksaku untuk
bergegas mencari tempat berteduh. Sungguh beruntung aku dapat menemukan sebuah
dangau kosong. Dinding dan atapnya terbuat dari sirap lumayan melindungiku dari
angin dan hujan. Kuhenyakkan badan di sebuah dipan reyot dengan hati-hati dan
mengeratkan dekapan tubuhku sendiri. Sial! Aku lupa membawa jaket.
“Nuwun
sewu Mas…,” sebuah suara mengagetkanku. Seorang bapak tua yang menuntun
sepeda tersenyum padaku.
“Bapak mau berteduh juga? Silakan duduk Pak, hati-hati dipannya agak reyot.”
Bapak itu lalu menyandarkan sepedanya yang
berkarat di sebuah pohon dan meletakkan capingnya di atas dipan. Kasihan sekali,
bapak tua itu pasti kelelahan mengayuh sepeda dengan beban tumpukan rumput yang menggunung, pikirku.
“Dapat banyak Pak rumputnya?”
“Alhamdulillah Mas.”
“Buat pakan ternak Bapak ya?”
“Iya mas, tapi bukan ternak saya. Saya cuma angon saja, sambil buruh tani sesekali.
Sudah tua begini, jarang ada yang mau menyuruh saya….”
Aku mengangguk-angguk, lalu jeda lama tercipta.
Rintik hujan mendera atap daun sirap.
“Desanya makmur ya Pak,” gumamku memecah
kesunyian.
“Sayangnya di desa ini sedang dibangun pabrik
baru Mas. Banyak penduduk yang menolak tapi mau bagaimana lagi, sepertinya
suara kami ini memang tidak berarti….”
“Kenapa harus ditolak Pak? Bukankah dengan
adanya pabrik ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya?”
“Sejahtera bagi siapa? Sebentar lagi
sawah-sawah itu akan menghilang, sebagaimana dulu area persawahan menggerus
hutan-hutan jati di daerah ini. Ketenangan di desa ini akan terusik oleh gaduhnya
mesin-mesin pabrik, belum lagi limbah dari pabrik itu akan mencemari tanah dan
sungai yang jernih. Saya kadang tidak mengerti pola pikir mereka yang katanya
modern itu. Maklum lah Mas, saya cuma wong cilik….”
Bapak itu mendesah sambil mendongakkan kepalanya
ke langit. Matanya sayu seakan menanggung beban yang amat berat. Kuperhatikan
gurat-gurat otot di lengannya yang kurus dan keriput. Seharusnya di usia senja
seperti ini dia menikmati hidup dengan santai setelah bertahun-tahun bekerja
keras.
“Anaknya dimana Pak?”
Bapak itu tersenyum samar. Matanya seperti
menyimpan perih.
“Anak saya sudah meninggal Mas. Beberapa bulan yang lalu saat bekerja membangun pabrik itu, dia mengalami kecelakaan
yang cukup parah. Sayangnya pemilik pabrik itu tidak mau bertanggung jawab.
Anak saya meninggal tanpa sempat dibawa ke rumah sakit,” matanya menerawang.
Hatiku seperti ditusuk sembilu. Mataku menjadi sembap
tanpa jelasnya penyebab. Rasanya sejuta rintik hujan menjelma jarum yang menusukkan
racunnya ke kulitku. Seandainya saja aku bisa menghilang saat itu, tentu tak
perlu menghadapi saat seperti ini.
“Oya, dari tadi ngobrol saya malah belum tahu Mas ini siapa ya?” akhirnya pertanyaan pamungkas itu terlontar juga.
Aku tak mampu menjawabnya. Seribu godam seperti
dihentakkan ke kepalaku. Haruskah aku berbohong atau kukatakan saja bahwa
akulah pemilik pabrik itu?
Hujan menderas dan hatiku mendura.
Jumlah kata : 499 kata
mudah2an nggak jadi bikin pabriknya :D
BalasHapusAmin...trims sudah mampir :)
HapusSepertinya mas-mas si empunya pabrik masih punya hati. Nice story Mbak :)
BalasHapusTrims mbak, salam kenal :)
HapusMemang terkadang seseorang bisa melakukan kesalahan tanpa disadarinya ya....
mbak, tolong perhatikan tanda baca, ya.
BalasHapuskorelasi antara pertanyaan “Oya, Mas ini bukan penduduk sini kan? Dari mana ya?” sama bimbangnya si aku tentang aku itu siapa, rasanya agak nggak nyambung. kenapa harus bimbang? kan cuma ditanya asalnya, bukan apa pekerjaannya, kerja di mana atau apa usahanya dia.
itu aja, mbak. terus nulis, ya! :)
Oke mbak trims masukannya:)
HapusTrims sudah singgah dan komen ya
Sudah kuedit kok
suka sama ceritanya. :)
BalasHapusTrims mbak :) Trims yaaa sudah berkenan singgah :)
Hapuskalem ceritanya! trenyuh ;..;(
BalasHapusTrims Mas Andi, trims sudah berkenan mampir :)
Hapuscerita sederhana yang menyentuh,.,, :)
BalasHapusTrims Bang :)
Hapusterima kasih, sebagai inspirasi membuka usaha di kampung
BalasHapus