Sebuah ruangan putih penuh cahaya menyilaukan.
Seperti sebuah khayalan, hanya ada aku dan engkau, ayahku.
Kucoba telusuri bagian mana dari wajah kita
yang tidak mirip benar. Lalu aku tersipu ketika kau menangkap basah usahaku
yang ternyata gagal. Engkau mendekapku erat. Kita berdansa diiring lagu DANCE WITH MY FATHER yang mengalun pelan.
Sumber |
Satu tanganku di pundakmu, satunya lagi di
genggaman. Dalam diam meremang kutatap matamu dalam. Engkau sungguh tampan.
Sadarlah aku inilah wajah yang menyebabkan ibuku tenggelam dalam buaian asmara.
Seandainya ibu juga di sini, maka kita akan berdansa bertiga. Ya, seperti lirik
lagu itu. Ah, aku sungguh iri dengan penulis lagu itu.
“Ayah, benarkah Ayah mencintai ibu?”
Namun tiada jawaban.
Namun tiada jawaban.
Mungkin ibu memang wanita yang kasar tapi
sungguh ia mencintaimu dan rela melakukan segalanya untukmu. Dia rela
mengorbankan semuanya asal kau tak pernah meninggalkannya.
“Ayah, andaikan kita bisa mengarungi waktu bersama, saat
aku tertidur kau akan menggendongku seperti dalam lagu itu ‘kan? Kau akan
menjadi tempatku bersandar dalam duka dan mencurah air mata ‘kan?”
Engkau masih diam.
Engkau masih diam.
Kurasakan dekapanmu melonggar. Tatapanku
memudar.
“Ayah, andaikan aku bisa memilih, aku
akan menjadi anak yang baik untukmu. Aku takkan pernah bertengkar dengan ibu.
Aku akan selalu menjadi gadismu yang lugu. Ayah, kenapa kebersamaan kita
sebentar saja?”
Kini genggaman tanganmu mulai lepas. Alunan
lagu semakin samar. Seakan berusaha melawan takdir kucoba meraih bayanganmu. Seandainya aku diberikan waktu menyelesaikan dansa pertamaku.
Sekaligus dansa terakhirku. Ya, dansa terakhir. Aku menatap Ayah lurus ke
matanya. Tak lama kemudian, sayapnya mengepak. Dan ia pergi, selamanya.
“If I could steal one final glance
One final step, one final dance with him
I'd play a song that would never ever end
'Cause I'd love, love, love, love to dance
with my father again….”
Sayup terdengar kalimat terakhir sebelum engkau pergi, “Maafkan aku anakku, Ayah sungguh mencintai ibumu. Tapi Ayah tak
kuasa menanggung malu. Kami terpaksa melakukan ini. Jadi maafkan kami ya,
Nak….”
Aku berteriak sekuat tenaga. Rasanya perih
tiada terkira. Entah pisau bedah atau alat sedot, entah apa.... Tubuhku tercabik dan merepih bersama hatiku yang luka. Seandainya aku bisa memilih untuk lahir ke dunia.
Jumlah kata : 344 kata
Karya ini diikutkan dalam ajang MFF Prompt #68. Penulis memilih fiksimini dari Mak Admin Carolina Ratri untuk dikembangkan menjadi FF, dengan judul sama seperti FF ini.
aborsi ya?
BalasHapusYa mbak Tika :) Salam kenal yaaa....
Hapuskasihan babynya :(
BalasHapusYa Mbak Rima, seandainya janin yg digugurkan itu bisa bicara, mungkin dia akan meneriakkan kerinduannya pada ortunya :(
HapusKasihan, tega nih ayah ibunya
BalasHapusIya mbak, seandainya para pelaku aborsi itu mikir seperti itu....
HapusTeganya... Teganya... Teganya... :(
BalasHapussedih banget mbak...
Puk...puk....
Hapus*sodorin tisu
Ooh baby dalam perut ya, mungkin itu yang didambakan sama bayi2 yg diaborsi ya :( komennya dibuka untuk open url dong, Mbak :)
BalasHapusYa mbak, okey
HapusThanks sudah singgah :)
Hiks. sedih banget mba.
BalasHapusIya, cup...cup
Hapus*tepuk tepuk pundak
Trims sudah mampir :)
Omg! Kejem bener si Ayah! ;(
BalasHapusIya. Padahal bayi itu bisa jadi kelak akan menjadi orang yg berbakti :(
Hapushiks....
BalasHapusHiks jugak :)
Hapus