Aku masih ingat hari itu, hari pertama kita
bertemu.
“Keyra, panggil aja Ra,” dengan antusias kau ulurkan tanganmu.
“Zahra, panggil saja Ra,” sambutku juga tersenyum.
Sedetik kemudian kita tertawa, mungkin
sama-sama bertanya kenapa hal ini bisa terjadi. Tentu saja bukan hanya karena
nama panggilan yang sama, melainkan juga karena secara fisik wajah kita sangat
mirip. Postur kita juga sekilas serupa : semampai, berkulit terang, dan berambut
panjang. Bila kulepaskan kacamata dan kugerai rambut yang selalu kuikat ekor
kuda ini, orang lain pasti salah mengira.
“Kamu yakin ‘kan bapak dan ibu kita beda? Atau mungkin
bapakmu dulu pernah ke Bandung waktu muda?” candamu waktu itu, membuat wajahku
memerah.
“Bercanda Raaa. Jangan serius gitu ihh!” kamu tetap terkekeh. Aku memang
sensitif kalau masalah yang satu ini. Buatku soal nasab bukanlah hal yang
pantas dijadikan bahan bercanda.
Tapi kita memang berbeda. Hal lain yang kusimpulkan setelah kita jadi teman sekamar di asrama.
Kamu selalu ceria,
meriah kalau tidak bisa dibilang berisik, dan kamu adalah salah satu kembang kampus yang
bersinar. Selalu menjadi pujaan dan dikelilingi kumbang-kumbang. Kamu seperti
alter-ego yang hidup dan bersisian denganku.
“Ra, memang kamu gak mau pacaran? Enak gila.
Ada yang nraktir, antar-jemput, ngajakin nonton, dan kasih perhatian tiap hari…,”
godamu suatu hari.
Aku tersenyum kalem tanpa memindahkan
pandanganku dari layar komputer. “Kalau cuma itu enaknya pacaran, aku bisa dapat semua itu dari kamu, Ra.”
Bibirmu manyun. Gagal.
“Tapi kan gak ada yang peluk-peluk kita,
cium-cium kita, ahhh, cup-cup…,” kamu terus berusaha. Huh, mulai mesum nih.
Habis deh si Panda bonekaku jadi korban keganasanmu. Buru-buru kurebut sebelum
basah oleh air liurmu.
“Tuh kaaan, si Panda basah! Ngapain pacaran
kalau cuma perlu cium dan peluk doang! Panda aja bisa. Aku juga bisaaa!
Sini-sini…,” kukejar kau sambil tertawa-tawa. Lalu kita berkejaran di sepanjang lorong asrama.
Semakin lama aku mengenalmu, semakin ku sadar betapa kita berbeda. Kamu lebih
berani, suka melanggar aturan, dan menentang siapapun yang menghalangi jalanmu.
Mama-Papamu mungkin terlalu memanjakanmu sehingga kamu jadi pribadi yang bebas
dan tak suka dibelenggu. Sebenarnya itu bukan masalah selama tak
menyangkut kehidupanku. Masalahnya adalah kadang kamu menggunakan kemiripan
kita untuk menjalankan rencanamu.
“Ra, mulai besok malam aku gak bisa lagi
bohongin Pak Tejo pura-pura jadi kamu,” ujarku setelah sebulan jadi
korban ide gilamu. Setiap kali
kamu ingin kencan dengan kekasihmu, aku selalu
menggantikanmu dengan berpura-pura mengajak ngobrol penjaga asrama sampai kamu berhasil
menyelinap keluar. Tentu saja
hal ini kulakukan setelah melepas kacamata dan mengurai rambutku. Sebuah ide
yang selalu sukses karena Pak Tejo yang berumur selalu sulit membedakan kita.
“Kenapa? Kamu ‘kan tahu gue sudah kena tegur beberapa kali
sebelumnya. Cuma ini satu-satunya cara biar gue gak kena sanksi, Ra,” protesmu dengan wajah keruh.
“Mulai besok aku putuskan berhijab, Ra,” jawabku. Mulutmu ternganga.
“Serius, Ra?” Aku mengangguk. Wajahmu seperti
ngeri seketika.
“Sayang banget…kamu menyia-nyiakan masa muda.
Tubuh bagus gini kok ditutupin. Ntar jodohmu jauh lo,” komentarmu seperti
biasa, tak pernah sepakat denganku.
“Soal jodoh sudah ada yang ngatur, Ra. Justru
aku lagi nyeleksi biar hanya cowok yang benar-benar mau nerima karena akhlakku,
bukan semata-mata karena tubuhku, yang berhak jadi suamiku kelak,” jelasku sok
bijak. Bibirnya mencibir.
“Gak panas? Jakarta panas gini…,” debatmu lagi.
“Masih lebih panas di neraka,” ujarku lalu
ngeloyor pergi. Tak kuhiraukan celotehmu yang riuh-rendah di balik punggungku,
protes dengan keputusanku. Biarin, nanti juga reda sendiri.
Setelah itu petualangan malammu berhenti dengan
sendirinya. Kukira itu efek dari keputusanku. Ternyata aku salah. Belakangan baru kutahu kamu putus
cinta lagi untuk kesekian kali.
“Gue diputusin Ra, karena cewek lain,” kamu
tergugu, menghabiskan berhelai-helai tisu. Aku hanya terdiam memelukmu.
“Beginilah cinta, deritanya tiada akhir…,” bisikku.
“Dasarrr Pat Kay!!” umpatmu sambil melempar si
Panda. Sedetik kemudian kita tertawa, tak lupa sambil berkejaran di lorong
asrama. Selalu begitu. Sepertinya tak ada hal yang bisa membuatmu bersedih lama.
Sampai hari itu kutemui kamu terduduk lesu di samping
jendela. Wajahmu terlihat aneh, matamu seperti siap meleleh.
“Ra, kamu kenapa?”
Sejenak kamu menoleh. Lalu kembali memandang ke
luar jendela.
“Gue…gue takut mati Ra…,” ujarmu pelan.
Aku terhenyak. Pelan kudekati dan kuraih bahumu
yang terkulai lesu.
“Maksudmu?”
“Tadi gue ke rumah sakit, ambil hasil tes lab
beberapa hari yang lalu. Kamu tahu kan keluhanku selama ini. Dan kata
dokter…kata dokter…,” kisahmu berhenti sampai di situ. Kubaca lembar berwarna
putih yang kau sodorkan padaku.
“Apa ini, Ra?”
“Katanya gue kena kanker serviks Ra, stadium
lanjut....”
Mataku terbelalak.
“Gue takut, Ra….” Lalu kuhabiskan semalaman
memelukmu erat.
Waktu berlalu. Wajahmu masih juga sendu. Baru
kali ini kudapati kesedihan menggelayutimu begitu lama. Tubuhmu semakin kurus, kondisimu semakin
menurun karena kamu menolak berobat. Mama-Papamu sangat kecewa.
“Ra, please
turuti ortumu. Bukan hanya kamu yang paling menderita di dunia ini. Kalau
kamu menyerah sekarang berarti kamu gak menyukuri nikmat Tuhan,” nasihatku
suatu hari.
“Nikmat yang mana, Ra? Nikmat sakit?”
“Setiap kita menunggu mati, Ra. Gak ada bedanya aku
dan kamu. Kamu lebih beruntung
karena Tuhan masih memperingatkanmu. Kamu bisa memilih untuk berjuang, mengisi
hari-harimu dengan kebaikan, atau menyerah sekarang. Bukan kematian yang
menjadikan kita dikenang, tapi memori seperti apa yang kita tinggalkan….”
Awalnya wajahmu tetap datar. Tetapi sedetik
kemudian kulihat lagi matahari
itu terbit di wajahmu. Yup, sahabatku yang dulu telah kembali. Sesudah itu hidupmu tak layu lagi. Kamu tetap beraktivitas di sela-sela pengobatanmu.
Bahkan kini aktivitas itu semakin positif. Lihat, kamu bahkan tak canggung
mengajar anak-anak jalanan meski rambutmu yang rontok karena kemoterapi tak
kunjung tumbuh seperti semula.
“Aku ingin berhijab, Ra, tapi aku gak mau berhijab hanya
untuk menutupi kepalaku ini,” curhatmu suatu hari.
“Allah tuh maunya kamu berhijab tanpa peduli
alasanmu. Soal meluruskan niat itu bisa sambil jalan. Kalau nunggu niatmu
sempurna, mau nunggu sampai kapan? Yakin masih ada waktu?”
Lalu kamu terdiam lama, sebelum akhirnya kamu
tertawa. “Iya, Ra. Kalau aku mati besok, aku ingin menghadap Allah dengan
lebih sempurna.”
Wajahku berbinar mendengarnya. Inilah akhir
yang sempurna bagimu, sahabatku. Tak semua orang bisa seperti itu. Berapa banyak
orang yang terlena merasa amalnya sempurna, tanpa sempat bertaubat di akhir
hidupnya. Itu sebuah rahasia besar. Aku pun tak
tahu bahwa aku mengidap penyakit jantung yang merenggut nyawaku di hari wisuda
kita, hari pertama kau memutuskan berhijab.
Credit |
Jumlah kata : pas 1000 kata ^_^
Fiksi ini ditulis dalam rangka ikutan “Attarandhismind First Giveaway”
Met ultah buat blognya Bang Admin MFF. Semoga selalu bisa menebar kebaikan dan jadi ladang amal ya :) Amiin....
Kisahnya bener-bener JLEB! JLEB! JLEB! Nusuk secara halus banget...
BalasHapusBagus mbak!
Semoga menang giveaway-nya. Favoritku nih :D
Makaciiih mbak Ditaaa :)
HapusSelamaaaat....
BalasHapusTrimikisiii :)
Hapus