Aku selalu bahagia ketika hujan turun dan
langit terang benderang seperti ini. Ligat kutinggalkan kesibukanku bergulat
dalam lumpur, mengolah huma yang tak kunjung subur. Biarlah basah sandangku
yang lunyai, sekalian saja nanti kucuci di hulu sungai.
Lalu sampailah aku di tubir tebing yang tinggi,
seperti biasa, menemui wajahmu lagi. Tak
percuma kukejar hingga ke sini, kuharap rinduku ini bisa terobati.
“Hei, Pelangi! Mau ke manakah siang begini?”
teriakku membelah rinai. Tampak semburatmu di langit biru kian lesap dihempas
bayu. Kau masih saja geming, seperti juga kemarin. Masih marah padaku mungkin.
“Mengapa kau tak tanya kabarku hari ini?”
teriakku lagi. Hujan sudah reda, tapi kenapa amarahmu tak kunjung sirna?
“Apakah aku sebegitu tak menarik untukmu? Meski
hanya untuk sebuah sapaanmu?” rajukku akhirnya. Kupasang raut sedih dan kutundukkan
kepala.
“Hentikan. Sandiwaramu tak mempan,” ujarmu
akhirnya.
Aku terkekeh. Usahaku berhasil.
“Pernah sekali kulihat lakon macam itu, dan
satu bidadari yang malang telah terpedaya. Aku tak ingin terulang lagi cerita yang
sama.”
Aku terhenyak. Rupanya dia mampu membaca isi
hatiku.
“Jangan keburu pergi, temani dulu aku di sini,”
bujukku lagi.
“Tak pernahkah kau belajar dari hikayat lama?
Jangan pernah menentang kehendak alam. Usahamu takkan pernah berhasil. Tiada
guna kau menungguku setiap hari,” sabdanya mematahkan asa.
“Apakah salahku bapak mati merana setelah
ditinggalkan ibu? Apakah salahku ibu pergi setelah menemukan sampurnya? Apakah salahku
mengharapkan dia kembali? Salahkukah Pelangi? Jawaaaab!!” kumuntahkan
semuanya. Rindu, dendam, luka, entah pada siapa. Mengais-ngais kasih yang
selalu saja tak ada. Seperti tak seorangpun menginginkan aku hadir di dunia.
Deras air mataku membanjiri pipi, hingga sesak
rasa dada ini. Namun dia masih saja tak peduli.
“Jaka…itulah kesalahanmu. Wajahmu, tubuhmu,
suaramu, bahkan namamu pun sama dengannya.”
Mulutku ternganga. Itu semua kesalahanku?
“Aku ingin lihat ibuku menurunimu
sebagai bidadari. Aku
ingin merasakan belaian kasih yang selama ini tak pernah kumiliki. Apakah itu
sebuah kesalahan?” semburku.
“Kamu takkan pernah mendapatkannya,” tegasnya.
“Kenapa Pelangi? Kenapaaaa?!!”
“Karena akulah ibumu, Jaka Tarub, akulah
bidadari malang itu, yang akhirnya dikutuk menjadi bianglala sebab lalai menjaga
selendangku, lambang kehormatanku, yang direnggut oleh bapakmu dengan muslihat palsu..,” isaknya pilu.
Sumber |
Jumlah kata : 338 kata
Notes : Terinspirasi dari cerita rakyat Jawa “Nawang Wulan dan Jaka Tarub”. Well, ini cerita surrealisku yang pertama, entahlah sukses atau tidak, sila dikomen yaa :)
FF ini merupakan pengembangan dari puisi Carolina Ratri di sini.
FF ini merupakan pengembangan dari puisi Carolina Ratri di sini.
Haiii mbak, trims sudah singgah dan komen ya :)
BalasHapuswuih keren mbak!! :)
BalasHapusTrims yaaa Mbak Gloria sudah baca n komen di sini :)
HapusJadi bapaknya Jaka yang kawin ama ibu bidadari namanya siapa? :p
BalasHapusYaa Jaka Tarub juga. Kan anaknya Jaka Tarub II (sekuel gitu hehehe)
Hapus