"Perubahan belum tentu menciptakan kemajuan, tetapi tanpa perubahan takkan ada pembaharuan," demikian salah satu petuah Rhenald Kasali yang saya renungkan petang ini. Di saat yang sama saya membaca banyak berita tentang skeptisisme sebagian pelaku usaha terhadap aturan PP 23 Tahun 2018.
Di dalam uraiannya di situs rumahperubahan.com, Rhenald Kasali menyebutkan tentang salah satu faktor penghambat perubahan yaitu penolakan terhadap perubahan. Ini adalah sifat natural manusia yang telah terjebak di zona nyaman. Pada akhirnya, kenyamanan ini akan menjeratnya sedemikian rupa sehingga setiap perubahan dianggap sebagai ancaman alih-alih tantangan.
Tapi ia juga memberikan petunjuk tentang perlunya kekuatan dan visi dalam menjembatani jurang pemisah antara masa kini dan masa mendatang. Kekuatan dalam hal ini tidak melulu tentang tindakan represif. Terlebih lagi kepada UMKM. Pendekatan persuasif dan afektif perlu diutamakan. Bahkan DJP sebenarnya punya senjata BDS (Business Development Services/Layanan Pengembangan Usaha) yang bisa digalakkan seiring dengan sosialisasi PP 23 ini. Sekali mendayung dua tiga program terlampaui.
Visi yang dimaksud dalam hal ini tentu perlu ditransfer kepada pelaku UKM. Visi yang sama yang menyebabkan mereka rela berkontribusi dan mengambil bagian dalam derap roda pembangunan negeri ini. Sekecil apapun. Dan itu takkan bisa dilakukan tanpa faktor perubahan lainnya: agen perubahan.
Satu komponen tersebut sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan ini selain regulasi yang galir dan benar-benar memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Dengan keberadaan agen-agen perubahan yang mampu mentransfer visi UMKM di masa depan, memberikan penguatan dan keberanian bahwa pembukuan bukanlah momok yang menakutkan, dan senantiasa membersamai dalam proses elevasi ini, kiranya UKM akan benar-benar berhasil "naik kelas" dan membuktikan diri sebagai jawara perekonomian negara ini.
Pertanyaannya: siapkah insan DJP menjadi agen perubahan itu?
Rupanya ada dua kubu respons. Yang pertama optimis bahwa insan DJP akan adaptif mendukung program penurunan tarif, sedangkan yang kedua berusaha realistis dengan mengeluhkan penurunan penerimaan. Apalagi bila dikaitkan dengan salah satu faktor IKU alias capaian penerimaan yang telah ditargetkan.
Dari media massa, Dirjen Pajak sendiri menginformasikan bahwa kebijakan ini berpotensi menggerus penerimaan sebesar 1-1,5 triliun rupiah. Kecil sekali, bukan? Artinya isu yang seharusnya difokuskan adalah bagaimana mencari penggantinya?
Menurut data, jumlah UMKM di Indonesia 59,69 juta unit. Yang sudah ber-NPWP hanya 1,5 juta unit. Dari WP UMKM tersebut negara disumbang 5,82 triliun rupiah. Coba bayangkan bila selebihnya ber-NPWP dan membayar pajak. Tarif diskon tentu tak seharusnya menjadi masalah.
Soal potensi? UMKM Indonesia terbukti sangat resilient terhadap krisis ekonomi global. Dia bergerak lincah terhadap hantaman dari sana-sini justru karena didukung sektor informal.
Menurut paparan Pak Dirjen kemarin, UMKM berkontribusi terhadap PDB sebesar 60,3%. Bila PDB di Indonesia akhir 2017 menyentuh angka 13.588 triliun rupiah dan diprediksi akan tumbuh 5,3% (Bank Dunia), kiranya dapat dihitung berapa omzet potensial dari sektor ini. Lalu kenapa selama tahun 2017 sektor ini hanya menyumbang 2,2% penerimaan PPh ?
Artinya penerimaan dari sektor UMKM ini memang belum menjadi fokus DJP. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar selisih yang belum terdaftar ini tergerak untuk ber-NPWP.
Pemerintah sendiri telah mencanangkan gerakan 100 ribu UMKM go online dengan target mendaringkan 8 juta UMKM hingga tahun 2020. Tahun ini saja sudah 3,79 juta UMKM yang masuk daring. Sungguh sebuah optimisme yang layak dicapai.
Dengan mengikuti program ini, selain mendapatkan nilai KUR terbesar dalam 24 jam, pelaku usaha juga akan mendapatkan NPWP secara serentak. Dan masih banyak lagi keuntungan lain yang ditawarkan.
Saya bahas soal daring agak lebih sebab platform inilah yang dirasa mudah untuk dijangkau. Apalagi bila DJP mampu bekerja sama dengan pihak penyedia jasa lapak usaha daring. Data omzet riil langsung dapat diketahui. Apabila ini bergabung dengan teknologi finansial (tekfin) yang sedang marak, betapa sedapnya! Wajib pajak tinggal mengalikan dengan tarif, dan membayar via akun tekfin di genggaman. Bukan sebuah mimpi sebenarnya.
Baiklah saya kembali ke bumi dulu. Sinergi dengan banyak pihak sangat diperlukan sembari menguatkan resonansi semangat reformasi perpajakan di internal DJP. Tak lama lagi akan ada Taxpayer Account Management dan e-Taxpayer Account. Data terintegrasi dan dapat dianalisis dengan mudah.
Sambil menunggu proses itu sampai di penghujung, kiranya strategi menggaet UMKM ini tak hanya dari sisi teknologi, tetapi juga afeksi. Sebagaimana yang saya pelajari di lapangan, menyentuh hati UMKM memang membutuhkan usaha lebih. Dan tak memerlukan banyak pelaku sebenarnya. Sebab menurut Rhenald Kasali (lagi), perubahan akan berhasil bila tiga proses ini dilalui: melihat, bergerak, menyelesaikan.
Dengan strategi komunikasi yang tepat, UMKM akan melihat bahwa pajak tidak menyusahkan, sehingga mereka akan mau bergerak bersama roda perubahan, dan bersama reformasi perpajakan kita akan menyelesaikan misi bersama, menuju Indonesia baru yang lebih sejahtera.
Terakhir, mengutip status FB teman saya, Edmund Hillary berkata, "Kita tidak akan mampu menaklukkan gunung karena bukan gununglah yang kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri."
* * *
* * *
Yuk, kita wujudkan program utk UMKM ini, sebagai langkah awal gakpapa kita copas yg sdh ada, misalnya yg dilaksanakan di KPP Pratama Pondok Arèn, lantas kita sesuaikan dgn kondisi UMKM Cilandak. Siappp?
BalasHapusSiappp laksanakan!
Hapus