Hai Sobat UMKM! Di bagian pertama pembahasan sebelumnya kita telah memahami perbedaan tarif dan subjek antara PP 46 dan PP 23. Kita juga telah membahas jangka waktu diperbolehkannya menggunakan skema PPh Final PP 23 dan beberapa penyebab wajib pajak (WP) menggunakan dua skema perhitungan PPh dalam satu tahun pajak.
Di bagian kedua ini saya akan membahas tentang hal yang sering ditanyakan oleh WP UMKM yaitu:
SKB PP 46 atau Surat Keterangan PP 23?
Wajib pajak UMKM yang sebelumnya telah membayar PPh Final 1% memerlukan SKB (Surat Keterangan Bebas) PP 46 agar tidak dipotong PPh Pasal 21/PPh Pasal 22/Pasal 23 dari lawan transaksi. Jadi, tidak ada dobel pengenaan PPh atas satu objek yang sama. Namun realitanya, muncul beberapa kekurangan dalam pelaksanaan di lapangan yaitu:
1.Ada lawan transaksi yang tidak mau menerima SKB yang sudah dimiliki oleh WP UMKM sehingga tetap memotong atau memungut PPh. Atas pemajakan berganda ini sebenarnya WP bisa memperhitungkan kelebihan pembayarannya di SPT Tahunan. Namun, karena takut diperiksa, beberapa WP memilih untuk tidak mengakui kelebihan pembayarannya.
2.Wajib pajak harus mengajukan permohonan SKB per jenis PPh. Wajib pajak juga harus mengajukan legalisir SKB ke kantor pajak tempat terdaftar agar dapat digunakan oleh lawan transaksi. Proses ini dirasa cukup merepotkan WP. Selain itu, aturan yang meminta agar legalisir SKB dilakukan per invoice dan WP harus membayar PPh Final 1% sebelum menerima pembayaran terkadang menyulitkan WP dengan modal terbatas. Bayangkan saja betapa sibuknya WP yang bolak-balik mengantre di kantor pajak. Bayangkan pula misalnya ketika WP apes dan transaksi tiba-tiba batal padahal sudah terlanjur bayar PPh Final. Amsyong!
3.Ketidakseragaman pemahaman petugas akan saat dimulainya kewajiban PP 46. Aturan lama memang tidak serta-merta mewajibkan WP UMKM untuk menggunakan skema PPh Final di tahun pertama berdiri. Dibutuhkan saat satu tahun beroperasi komersial terlebih dahulu untuk menentukan omzet awal yang menjadi acuan dimulainya penerapan PP 46. Ini menyebabkan perbedaan pengambilan keputusan di beberapa unit kerja. Kesimpangsiuran informasi menyebabkan WP bingung kapan harus mulai mengajukan SKB.
4.Switching alias berganti-ganti metode. Nilai omzet di tahun lalu yang menjadi acuan menyebabkan beberapa WP yang omzetnya menempel tipis naik-turun di kisaran ambang batas nilai (4,8 miliar rupiah) harus berganti-ganti skema antara PPh Final dan tarif PPh Pasal 17. Salah-salah metode, WP berisiko diperiksa. Mengajukan SKB pun jadi ragu-ragu, mau pakai perhitungan yang mana?
Aturan PP 23 rupanya diterbitkan untuk mengurangi kelemahan di atas, SKB PP 46 digantikan dengan Surat Keterangan PP 23. Cara mengajukannya relatif mudah. Wajib Pajak tinggal mengisi formulir permohonan surat keterangan dan melampirkan dokumen pendukung seperti:
1.SPT Tahunan tahun sebelumnya dan tanda terima SPT Tahunan (bagi WP yang telah berkewajiban di tahun mengajukan permohonan). Ini diperlukan untuk mengecek omzet di tahun pajak sebelumnya apakah masuk kriteria atau tidak. Wajib pajak baru tidak perlu melampirkan dokumen ini, bisa digantikan dengan fotokopi SKT (Surat Keterangan Terdaftar) untuk memudahkan petugas peneliti mendapat informasi awal bahwa belum ada kewajiban menyampaikan SPT Tahunan.
2.Dokumen pendukung lain yang menunjukkan jenis usaha atau sumber penghasilan seperti salinan kontrak kerja, perjanjian kerja sama, invoice, order pembelian, dsb. Ini diperlukan untuk membantu petugas meneliti apakah jenis usaha tersebut masuk ke dalam kriteria penghasilan dari usaha sesuai PP 23.
Contoh Permohonan Surat Keterangan |
Apabila WP sudah pernah mengurus SKB PP 46 sebelumnya maka tidak perlu mengajukan Surat Keterangan. Hal ini disebabkan aturan peralihan mengatur bahwa fungsi SKB PP 46 yang dimiliki di tahun 2018 dipersamakan dengan Surat Keterangan, namun sifatnya masih hibrida. Maksudnya bagaimana?
Begini, secara normal Surat Keterangan digunakan agar lawan transaksi yang akan memotong atau memungut PPh Pasal 21/22/23 tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh tersebut (mirip SKB PP 46). Tetapi jangan lupa, atas Surat Keterangan tersebut lawan transaksi wajib memotong atau memungut PPh Final sebesar setengah persen.
Nah, karena aturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pemotongan dan pelaporan PPh Final oleh lawan transaksi ini belum terbit, aturan peralihan mengatur sepanjang WP bisa menunjukkan ia telah membayar setengah persen kepada lawan transaksi maka ia tak perlu dipotong atau dipungut PPh apapun. Skema ini mirip SKB PP 46. Inilah yang saya sebut hibrida alias setengah-setengah. Tapi ini hanya berlaku selama belum ada PMK yang mengatur PP 23. Jangan lupa, aslinya aturan ini ya lawan transaksi wajib memotong atau memungut setengah persen PPh Final.
Surat Keterangan ini mengakomodir beberapa hal yang dikeluhkan WP. Artinya, pemerintah menangkap keresahan WP dan merespons positif masukan dari para pelaku usaha, seperti:
1.Pengajuan permohonan Surat Keterangan dilakukan sekali saja, tidak per jenis PPh. Juga tidak perlu lagi melegalisir seperti pada aturan SKB PP 46. Cukup memberikan salinan Surat Keterangan ke lawan transaksi. Tak perlu sering-sering ke kantor pajak.
2.Berkurangnya potensi lebih bayar, rasa waswas akan diperiksa, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan tarif yang digunakan oleh pemotong atau pemungut tadi sama-sama setengah persen. Wajib pajak tak perlu repot membayar sendiri PPh Final. Ini kondisi ideal ketika nanti aturan PMK yang baru sudah terbit dan lawan transaksi (terutama bendahara) telah disosialisasikan tentang petunjuk teknisnya.
3.Bagi WP baru tak perlu menunggu satu tahun beroperasi komersial. Ia bisa langsung menikmati tarif setengah persen dan mengajukan Surat Keterangan ke kantor pajak tempat terdaftar.
4.Berakhirnya rezim gonta-ganti metode penghitungan PPh. Sekali omzet WP di atas 4,8 miliar rupiah maka di tahun berikutnya wajib menggunakan pembukuan. Apabila omzet di tahun berikutnya di bawah nilai itu maka tak boleh lagi menikmati fasilitas PPh Final setengah persen. WP tak perlu mengajukan Surat Keterangan. Ini memberikan kepastian hukum bagi WP.
Kiranya ada hal yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah agar seperangkat aturan pelaksanaan PP 23 ini secepatnya diluncurkan. Jangka waktu pemrosesan Surat Keterangan belum diatur sehingga menimbulkan perbedaan di lapangan. Selain itu, sosialisasi masif kepada lawan transaksi (terutama bendahara) sebagai pemungut atau pemotong juga diperlukan agar WP UMKM (lagi-lagi) tidak direpotkan dengan kelebihan bayar akibat dobel pengenaan pajak.
Yang terakhir, saya menitip pesan kepada seluruh pelaku usaha UMKM di Indonesia untuk tetap optimis dan menaruh kepercayaan kepada Ditjen Pajak. Perubahan adalah katalisator kemajuan zaman. Tidak bisa instan tetapi bukan tidak mungkin. Manfred Kets de Fries mencatat, “Salah satu penghalang manusia memperbaiki diri adalah karena kita adalah produk masa lalu.” Bersabar dan terus belajar sepanjang proses perubahan adalah salah satu cara untuk lolos dari belenggunya.
* * *
Baca juga : Agar Setengah Persen Sepenuh Hati
Tulisan ini dibuat sebelum PMK-99/PMK.03/2018 yang mengatur lebih detil tentang aturan pelaksanaan PP 23. Menurut PMK tersebut, syarat yang perlu dilampirkan dalam pengajuan permohonan Surat Keterangan adalah salinan SPT Tahunan Tahun Pajak terakhir saja.
Tulisan ini dibuat sebelum PMK-99/PMK.03/2018 yang mengatur lebih detil tentang aturan pelaksanaan PP 23. Menurut PMK tersebut, syarat yang perlu dilampirkan dalam pengajuan permohonan Surat Keterangan adalah salinan SPT Tahunan Tahun Pajak terakhir saja.
Sore bu,
BalasHapusSehubungan dengan telah diterbitkannya PMK-99/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan PP23/2018. Saya ingin bertanya beberapa hal, sbb:
Tolong jelaskan maksud dari Pasal 4 ayat 7 PMK-99/PMK.03/2018:
1. Apakah PT "Swasta" juga diwajibkan untuk memotong PPh Final (0,5%) atas transaksi pembelian barang dari Wajib Pajak PP23 (bila Wajib Pajak PP23 menyerahkan copy Suket kepada PT "Swasta" tersebut)?
2. Kapan saat pemotongan PPh Final 0,5%? Pada saat pembayaran atau pada saat penyerahan?
3. Apakah SSP harus dibuat satu per satu sesuai invoice? Ataukah bisa digabung menjadi satu SSP (bila hanya bertransaksi dengan satu WP PP23 saja)?
Salam
Saya coba jawab ya:
Hapus1. Betul, sebab sebagai pengguna jasa sehingga berperan sebagai pemotong PPh Final;
2. Saat pemotongan PPh pasal 23 atas jasa adalah saat pembayaran;
3. SSP dibuat per transaksi;
Demikian jawaban singkat saya, semoga membantu.
Untuk penjelasan lebih komplit silakan menghubungi KringPajak 1500200 atau petugas helpdesk di KPP terdekat ya :)