Minggu, 13 September 2020

Memintal PPN dari Ekonomi Digital

Per 1 Juli 2020, pemerintah mengenakan PPN atas pemanfaatan produk dan/atau jasa digital dari luar negeri sebesar 10% dari nilai yang dibayarkan oleh konsumen dalam negeri. PPN jenis barukah ini?

Selain menganut negatif list, negara kita juga menganut prinsp destinasi yang berarti PPN dipungut atas konsumsi yang dilakukan di dalam yurisdiksi negara tempat terjadinya konsumsi.

Dalam Pasal 3A angka (3) UU PPN, tanggung jawab pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN diamanatkan kepada orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau jasa dari luar daerah pabean. Aturan teknisnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40/PMK.03/2010 dan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010.

Penetrasi internet yang tinggi merupakan pemicu meluasnya penggunaan barang dan jasa digital dari luar negeri. Sayangnya, tak semua konsumen Indonesia memahami dan melaksanakan kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN tersebut. Kondisi ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara. Dikutip dari media massa, potensi ekonomi digital di Indonesia bisa mencapai Rp10,4 triliun.

Seiring dengan perkembangan zaman, jenis produk dan jasa digital semakin beragam. Aturan di atas belum memerinci jenis BKP tidak berwujud dari luar negeri, serta belum memberikan penegasan atas objek pajak berupa produk dan jasa digital. Padahal terdapat isu terkait keadilan dalam berusaha (level of playing field) antara pengusaha produk dan/atau jasa digital dari dalam dan luar negeri sehingga perlu diterbitkan regulasi agar tercipta kesetaraan dalam berbisnis sekaligus menutup celah kebocoran potensi PPN.

Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020, pemerintah memberikan amanat kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pengusaha luar negeri yang memenuhi syarat sebagai Pemungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Melalui PMK Nomor 48/PMK.03/2020, Menteri Keuangan melimpahkan wewenang penunjukan Pemungut PPN PMSE kepada Direktur Jenderal Pajak, sekaligus menentukan kriteria dan syarat bagi pengusaha luar negeri untuk ditetapkan sebagai Pemungut PPN PMSE. 

Kriteria tersebut tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor 12/PJ/2020, yakni nilai transaksi konsumen Indonesia melebihi Rp600 juta dalam dua belas bulan atau Rp50 juta dalam sebulan dan/atau jumlah pengakses dari dalam negeri melebihi 12 ribu dalam dua belas bulan atau seribu dalam satu bulan.

Kriteria ini bukan tanpa sebab, selain pertimbangan efektivitas biaya kepatuhan pajak dibandingkan dengan potensi pajak, terdapat juga alasan kemudahan berusaha bagi pengusaha luar negeri yang masih berstatus perintis dan belum melewati ambang batas yang ditetapkan.

Namun, jika pengusaha luar negeri yang belum ditunjuk melakukan pemberitahuan ke DJP, maka pengusaha tersebut dapat ditetapkan sebagai Pemungut PPN PMSE.

Untuk menarik minat calon Pemungut PPN PMSE dan meningkatkan kepatuhan Pemungut PPN PMSE yang ditunjuk, kemudahan dan simplifikasi adalah semangat yang diusung beleid tersebut.

Pemungut PPN PMSE tidak perlu menerbitkan faktur dan cukup menggunakan format yang selama ini digunakan sebagai bukti pungut PPN. Pemungutan dilakukan mulai awal bulan berikutnya setelah Pemungut PPN PMSE mendapat surat penunjukan.

Terkait dengan pelaporan dilakukan secara elektronik per tiga bulan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir. Laporan paling sedikit memuat jumlah pembeli, jumlah pembayaran, jumlah PPN yang dipungut, dan jumlah PPN yang telah disetor untuk setiap Masa Pajak. Apabila diperlukan, DJP dapat meminta Pemungut PPN PMSE untuk menyampaikan laporan rincian transaksi yang dipungut untuk setiap periode satu tahun kalender. 

Dalam hal pelaku usaha luar negeri bertransaksi melalui Penyelenggara PMSE (PPMSE) baik luar maupun dalam negeri, PPN dapat dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh PPMSE luar atau dalam negeri yang telah ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE.

Istilah PPMSE sebelumnya telah diatur dalam PP 80 Tahun 2019 yaitu pelaku usaha penyedia jasa komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. Model bisnis PPMSE antara lain, ritel daring atau pedagang yang memiliki sarana PMSE sendiri; marketplace atau penyedia platform; iklan baris daring; platform pembanding harga; dan daily deals

Dengan demikian, regulasi ini mengatur bukan hanya untuk skema bisnis ke konsumen (B2C) tetapi juga bisnis ke bisnis (B2B). Salah satu implikasinya adalah bukti pungut yang diterbitkan Pemungut PPN PMSE merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak.

Menariknya, dalam Perdirjen Nomor 12/PJ/2020 dinyatakan bahwa apabila telah dilakukan pemungutan PPN oleh Pemungut PPN PMSE sedangkan konsumen domestik telah memungut dan menyetorkan PPN yang terutang sesuai ketentuan UU PPN, maka atas PPN yang disetor sendiri tersebut dapat diajukan permohonan pemindahbukuan, diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, dikreditkan dengan Pajak Keluaran bila memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan, atau dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan yang mengatur penghitungan kena pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan.

Ada kutipan masyhur yang menyebutkan “Setan tersembunyi di celah-celah detil,” kita tak boleh lengah dari hal renik yang kadang terlupa. Masih tersemat tugas mengedukasi konsumen dalam negeri yang memanfaatkan produk dan/atau jasa digital yang sebenarnya terutang PPN namun belum dilakukan pemungutan karena bertransaksi dengan pengusaha luar negeri nonpemungut PPN PMSE. Hal ini tetap perlu dilakukan untuk memintal pajak dari potensi ekonomi digital, tentu saja agar semakin optimal.

Editor:Ilham Fauzi

Catatan: Artikel ini telah tayang perdana di Majalah Digital Intax DJP Edisi 2/2020.

Selasa, 08 September 2020

Prolegomena

Tak pernah ada yang menyangka bahwa kapal-kapal dari Genoa yang berlabuh di hulu Sungai Don, tepi Laut Hitam itu dihuni oleh penumpang gelap yang tak kasat mata: kutu-kutu di tubuh tikus geladak. Mereka menyebarkan wabah mematikan yang belum pernah melanda Eropa pada awal abad ke-14. Ditemukan bercak hitam dan memar-memar di lengan, paha, dan bagian tubuh lain para penderita.

Hal itu seketika menjadi momok yang menghantui masyarakat. Separuh dari total populasi penduduk Inggris lenyap dalam waktu singkat mengakibatkan kelangkaan tenaga petani. Kala itu, para tuan tanah Inggris mengandalkan pengelolaan lahannya pada mereka. Para pekerja yang masih hidup merasa memiliki posisi tawar yang tinggi dan berani menuntut perubahan.

Wabah yang dikenal sebagai “Black Death” itu bukan hanya menewaskan pesakitan, tetapi juga kelanggengan sistem feodalisme. Para petani di Eynsham Abbey menuntut agar sistem kerja tanpa upah dan berbagai pungutan yang dibebankan pada mereka dikurangi. Walhasil, mereka menang dan gerakan ini menular ke seluruh Inggris. Hanya butuh beberapa tahun hingga Revolusi Petani meletus pada tahun 1381.

Menariknya, wabah yang sama rupanya memberikan dampak yang berbeda di Eropa Timur. Kelangkaan tenaga kerja menyebabkan para tuan tanah memperluas lahan dan menambah pungutan pajak bagi kaum petani. Penderitaan mereka makin menjadi-jadi sebab kaum feodal di Eropa Timur justru bersatu dalam mengantisipasi gerakan kaum pekerja.

Sejarah punya caranya sendiri untuk memilin takdir. Sebuah bencana yang melanda suatu wilayah ternyata memberikan akhir kisah yang berbeda antara satu kaum dengan kaum lain. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Hebat Itu Luka

Tak banyak yang tahu, wabah itu menyebabkan seorang pemuda tujuh belas tahun menjadi yatim piatu. Bapak ibunya termasuk di antara dua ratus juta orang yang terenggut nyawanya, saat populasi penduduk dunia tak sampai lima ratus juta.

Tak lama kemudian, kakaknya yang bernama Yahya Khaldun dibunuh oleh pesaingnya dalam sebuah intrik yang kotor. Kemalangan itu seakan belum cukup, kakak ipar dan keponakannya tewas dalam kecelakaan kapal laut menuju Mesir.

Yang menakjubkan, pemuda itu tetap kokoh layaknya batu karang. Ia tumbuh bersama hapalan kitab suci yang menghunjam dalam dada sejak berumur enam tahun. Dengan bekal itu ia mengabdi pada Sultan Mamluk sebagai hakim dan guru.

Posisinya yang penting membukakan jalan untuk menjadi birokrat sekaligus ilmuwan. Ia piawai memotret sejarah yang disaksikannya selama memangku jabatan dan menuangkannya dalam kitab Al-‘Ibar yang bercorak sosiologis-historis dan filosofis. 

Bab yang sering dirujuk oleh para ekonom adalah Muqaddimah atau Pendahuluan. Salah satu sumbangsihnya pada ilmu perpajakan modern adalah Kurva Laffer. Arthur Laffer sendiri tak segan-segan menyebut nama cendekiawan bernama asli Abd Ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun itu sebagai sumber inspirasinya.

Ia menyatakan bahwa di awal lahirnya sebuah negara, penerimaan pajak besar didapatkan dari tarif yang rendah. Namun, menjelang kehancurannya, penerimaan pajak kecil didapatkan dari tarif yang tinggi. “Bila pajak rendah, rakyat akan lebih aktif berusaha,” adalah kutipannya yang mahsyur dan memberikan pondasi bagi kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada sisi pasokan (supply side economy).

Selain meninggalkan warisan ilmu di bidang perpajakan, ekonomi, sosial, politik, kependudukan, dan pemerintahan, Ibnu Khaldun juga meletakkan pondasi studi filsafat sejarah modern. Ia berpendapat bahwa bilamana perasaan senasib dan sepenanggungan telah hilang dari sebuah negara, maka hanya menunggu waktu menuju kehancurannya.

Kekuatan Persatuan

Perasaan senasib dan sepenanggungan adalah salah satu modal dasar kelanggengan sebuah negara. Sejarah negara terbangun tak hanya dari sisi lahiriah saja melainkan juga sisi batiniah. Hal-hal semacam watak masyarakat, tingkatan dalam masyarakat, pemberontakan, revolusi, dan solidaritas antargolongan merupakan konsep-konsep yang dikenalkannya kepada dunia.

Konsep itu -berabad-abad kemudian- mampu membuka tabir kenapa sebuah peristiwa dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada beberapa kaum dalam sebuah bangsa. Dalam contoh wabah Maut Hitam misalnya, di Eropa Barat kaum proletar bersatu melawan hegemoni kaum borjuis, sedangkan di Eropa Timur sebaliknya, tuan tanah saling bersekutu sehingga tirani semakin melestari.

Dalam tatanan global, sebuah katastrofe atau bencana besar dapat menyebabkan percabangan sejarah yang menumbuhkan perbedaan watak sebuah bangsa atau bahkan meletusnya sebuah revolusi. Dalam lingkup seorang anak manusia, bencana itu bisa jadi sebuah kiamat yang mengakhiri semangat hidupnya dalam melanjutkan kehidupan.

Kecuali bagi mereka yang bersabar dan teguh menanti hikmah di balik setiap kehilangan. Ibnu Khaldun telah kehilangan segalanya. Namun, pada akhirnya ia mampu memberikan warisan ilmu yang tak terpermanai sebagai hadiah peradaban.

Mungkin memang benar perkataan seorang bijak, orang hebat tidak lahir dalam kemudahan dan kenyamanan melainkan dibentuk dari tempaan kehilangan, kesulitan, dan air mata.

Editor: Devi Isnantiyasari

Catatan: Artikel ini telah tayang perdana di Majalah Digital Intax DJP Edisi 2/2020.