Minggu, 11 Februari 2018

Perempuan Pemanggil Hujan

Hujan selalu gerimis di pelupuk matanya
Serupa tetesan intan permata
Yang lalu pecah berkeping-keping
Serpihannya menusuki celah-celah kulit
Menyusup ke dalam pori-pori sanubari 
Menyumbat akal sehat dan nurani

Ia butakan mata tulikan telinga
Dan digoreskan besar-besar di jantungnya:
Aku seorang pendusta

Dia masih memutuskan untuk terus bernapas
Sekadar berkata selamat pagi dan apa kabar dunia
Padahal kakinya lumpuh pijakannya runtuh

Dan ia masih saja berkata:
Aku baik-baik saja

Dekapannya kosong sehampa tatapannya
Tapi ia masih bisa mengukir gambar istana di atas pasir dusta
Dan masih saja berteriak lantang:
Jangan ambil nyawa saya!

Edmalia Rohmani, Solo 8 Februari 2018

Sebuah Dompet Berisi Tiga Dollar

Sebuah dompet tergeletak di tanah
Berisi tiga dollar dan selembar kertas hampir remah
Tulisannya hampir pudar 
Tapi kalimatnya masih berpendar
Menembus jiwa yang terperangah

Ini sebuah surat cinta!

Tegak kepalanya
saat itu diputuskannya jua:
Aku akan jadi kurir cinta 

Penuh napas menderu
Dan langkah yang tak satu-satu
Sang perantara gegas berpacu
Dengan takdir yang belum juga bertemu

Seperti sehelai daun yang masih terombang-ambing tertiup bayu 
Dan belum juga menemukan alas untuk berlabuh

Sekali lagi ia ternganga
Menatap takjub seorang nenek tua
Berambut perak dengan mata permata
Senyum teduhnya mengurai belitan renjana 

Katakan padanya aku masih cinta
Dan tak ada yg sepadan dengannya 
Maka aku tak pernah mendua

Lalu takdir pun tak lama
Menemukan belahan jiwanya
Michael Goldstein pria itu
Entah bagaimana berdiri di hadapannya 

Apakah kamu telah bertemu dengannya? 
Apakah dia masih secantik dulu?

Dia masih secantik dulu
Dan ia masih merindukanmu

Katakan pada Hannah aku ingin bertemu
Dan tiada satu pun wanita yang mampu
menggeser seinchi tatap mataku

Demikianlah cinta Kawan
Selama enam puluh tahun itu
Ia berkelana
Dan daun yang luruh itu akhirnya 
Menemukan haribaannya

Edmalia Rohmani, Solo 8 Februari 2018

Di Sebuah Simpang Jalan

Mata terpaku 
Lidah pun kelu
Tubuh meluruh
Pandanganku keruh 
Lalu air mata
Menetes satu-satu

Sebuah tulisan terpampang di simpang itu:
Urip iku sejatine gawe urup

Dan aku gagal di situ

Semoga belum terlambat 
Kepala ini tersungkur ke tanah
Menghelat taubat 
hingga di sisa usia

Edmalia Rohmani, Solo 7 Februari 2018

Di Bandara

Ada rindu yang menguar 
Kepahitan yang menjalar
Kukecup manis keningmu yang halus
Namun resah tak jua pupus

Bagaimana kamu nanti
Bagaimana aku nanti
Biarlah jadi misteri 

Erat
Air mata mengakhiri jabat
Aliri kenangan yang berkarat
Tentangmu
Tentangku nanti
Biarlah tetap misteri

Edmalia Rohmani, 7 Februari 2018 menuju Solo

Tak Ada Puisi Pagi Ini

Tak ada puisi pagi ini
Para pujangga sedang khilaf
Pena-penanya tertidur lelap
Sebab mulutnya sedang lahap
Menandaskan hidangan dengan kalap

Tak ada puisi pagi ini
Tak ada puisi pagi ini
Para penyair sudah tidur 
Setelah berjaga dari waktu sahur
Dan ia masih termangu lama
Tak kunjung selesai meresapi makna

Apa korelasi perut penuh 
dengan kosong isi kepala?

Edmalia Rohmani, 6 Februari 2018 pagi

Mereka Bilang

Mereka bilang perlu sepatu kaca agar bahagia
Maka kubeli sepasang di pasar kota
dengan harga murah
Meski bekas berbahan plastik pun tak apa
Saat diunggah takkan ada yang menyangka

Mereka bilang diet keto yang sedang trendi
Maka kuambil gambar semangkuk daging berselimut gajih
Kucomot dari pahaku sendiri 
Kutahan napas ambil pose dari samping 
Agar terlihat lebih ramping 

Katanya paling anggun si putih angsa 
Syukurlah kini bisa sulihrupa
Itik buruk ini pun ganti rupa
Kulitku putih mulus tak bercela

Ah, sial!
Kedokku terbongkar 
Sepatu plastik mereka lempar
Wajah hitamku mereka hajar
Daging dan gajih mereka bakar 
Tinggal akun gosong yang kosong terlantar

Tapi aku takkan peduli
Meski aku muak tapi 
aku tak pernah bisa berhenti
Media sosial terus saja kudaki

Edmalia Rohmani, miris 4 Februari 2018

Maaf Nyai, Aku Pamit Dulu

Ingatkah Nyai, pujaan hati
Saat kuboyong engkau ke rumah kecil ini
Kugendong ke dalam kamar yang juga mini
Dan kita mulai tak lagi memanggil nama sendiri 

Masih terngiang tentangmu, Nyai 
Di antara teh hangat dan rebus ubi ungu
Juga binaran teduh yang selalu menjeratku
Kang...selamat ya
bakal jadi Bapak, bisikmu mesra 

Begitu merdu kuingat selalu, Nyai
Dan demikian pula tahun-tahun setelah itu
Buah cinta kita lahir satu per satu 

Sekarang mereka sudah besar-besar, Nyai
Kamu ingat yang paling kecil
Gadis kita yang doyan ngupil
Sekarang sudah semakin tinggi jabatannya 
Jangan tanya apa
Maklum sudah aki-aki, suka lupa

Jangan tanya pula mereka di mana
Sebab berkabar berita mungkin akan mengusiknya
Cukuplah dunia milik kita berdua

Maafkan ya, Nyai
Tiap kali kau memanggil, suamimu ini lambat sekali
Telinga sudah kurang berfungsi 
Mata juga tak benderang lagi
Namun di mataku engkau masih bidadari 

Maaf juga Nyai, tak bisa bersih memandikanmu
Akhir-akhir ini bernapas susah sungguh 
Berdiri tegak pun tak mampu
Baskom air hangat tak bisa terisi penuh

Blakkk!

Nyai...Jangan khawatir,
Hanya suara baskom terpuntir
Air tumpah mengalir 
Tapi bukan aku yang terkilir

Nyai, maaf Aku duduk dulu
Tak bisa mendekat padamu
Ada tamu datang menghampiriku

Nyai, tamunya sungguh tampan
Dia mengajakku bepergian 
Katanya nanti kita akan bergandengan tangan

Nyai, jangan takut 
Dunia hanya menyiksamu sementara 
Sebentar lagi kau turut
Lumpuhmu kan hilang selamanya 

Aku pamit dulu Nyai
Aku pamit dulu
Sebentar lagi kita bertemu 
Dalam keabadian cinta yang berpadu

Edmalia Rohmani, 2 Februari 2018
setelah baca berita yang menyesakkan hati

Cerita Mendung

Selalu ada ragam kubu
Ketika para insan memandangku

Sebagiannya meratap sendu
bahkan menggerutu
memikirkan moda apa yang mampu
mengangkutnya ke tujuan tanpa berjibaku

Beberapa justru semringah 
Pertanda rezeki bakal berlimpah 
Penjaja jas hujan, permak payung, dan bakso kuah
Serta selimut hidup penjaja kehangatan berambut basah
Berharap satu dua receh dari pelanggan 'kan tumpah 

Yang terakhir selalu buatku pilu
Seorang anak tak lengkap baju 
Penuh harap matanya berkaca-kaca
Menanti emak bapaknya belum pulang juga 
Katanya sedang mencari kardus baru
Untuk menambal atap yang lama 
Adakah bapaknya ditangkap petugas
Atau ibunya sedang melayani tamu berbaju dinas

Bocah itu terus menatapku
Dengan pancaran mata pedih cemas

Edmalia Rohmani, mendung 1 Februari 2018