Sabtu, 20 Februari 2016

BELAJAR DARI WAJIB PAJAK TELADAN

Sumber

Pagi itu, seperti biasa aku menjaga ruangan sambil mengerjakan pekerjaan rutin yang menumpuk di meja. Hampir saja kuabaikan sebuah panggilan halus dari balik punggungku.

“Permisi, Bu. Boleh saya dibantu mengisi SPT Tahunan?” seorang bapak berusia paruh baya bertanya dengan santun.

Aku lupa-lupa ingat pernah bertemu Bapak ini di mana. Ah, rupanya beliau ini sebelumnya pernah berkonsultasi soal SPT Tahunan juga. Sebenarnya aku bisa saja menolak karena sejak bulan Februari ada satgas SPT Tahunan di lantai satu Kantor Pajak tempatku bekerja (di tiap KPP juga sudah buka, lo), tapi kuurungkan niat untuk menyuruh beliau turun ke lantai satu, sebab khawatir akan membuat beliau kurang nyaman.

“Silakan duduk, Pak,” sambutku sambil mengantar beliau ke ruangan konsultasi.

Beliau rupanya lupa dulu pernah konsultasi denganku. “Maklum, Bu, sudah umur,” kelakarnya sambil tertawa. Beliau mengulang lagi kisah yang sama, bahwa umurnya telah 70 tahun, baru saja operasi mata, dan beliau suka lupa, jadi beliau minta maaf kalau nantinya akan merepotkanku.

Sekali lagi kutanggapi dengan jawaban yang sama seperti pertemuan yang dulu. “Untuk ukuran orang yang berusia 70 tahun, Bapak sehat sekali!” dan Bapak itu lalu tertawa, sama seperti dulu.

Beliau rupanya adalah pensiunan pegawai sebuah instansi pemerintah. Ketika akan mengisi SPT Tahunannya, beliau panik sekali ketika bukti potong dari Dana Pensiun 2 tahun lalu tidak terbawa. Rupanya, bukti potong itu berisi petunjuk bagian mana yang akan dipindahkan ke SPT Tahunan, yang pernah diberikan oleh seorang petugas pajak yang dulu pernah ditemuinya.

“Bapak jangan khawatir, saya akan bantu kasih petunjuk di bukti potong yang baru, jadi Bapak tinggal memindahkan ke SPT Tahunan.”

“Terima kasih, Bu. Tapi pakai pensil ya, biar bisa dihapus, nanti bukti potong ini saya lampirkan, tidak?”

“Ya dilampirkan, kan kemarin dulu sudah saya kopikan? Saya kasih petunjuknya di (bukti potong) yang asli, Pak. Jadi Bapak bisa simpan buat petunjuk tahun depan.”

Beliau manggut-manggut, jelas sekali lupa kejadian itu.

Sambil mengisi SPT Tahunan, kami mengobrol ngalor-ngidul. Waktu kujelaskan tentang fasilitas pelaporan SPT Tahunan melalui e-filing alias secara online, beliau mengaku tidak tertarik.

“Anak saya lapor pakai internet, Bu. Tapi saya lebih suka ke Kantor Pajak melaporkan sendiri. Bertemu, berbicara dengan orang lain, lumayan bisa menghilangkan kejenuhan saya.”

Ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk batinku. Beliau pasti sangat kesepian di masa tuanya. Ah, perbedaan zaman menyebabkan perbedaan pola pikir. Manusia dulu menyukai interaksi secara langsung, sebab itulah kecerdasan emosi, rasa empati dan penghargaan terhadap sesama manusianya begitu tinggi. Manusia zaman sekarang, ah...aku tak sanggup meneruskannya.

Tangan beliau bergetar ketika mengisi lembar demi lembar SPT Tahunan. Berkali-kali kacamatanya digeser agar lebih nyaman membaca. Dan ketika tiba mengisi kolom harta...beliau tiba-tiba panik mencari suatu berkas.

“Waduh, Bu. Saya lupa membawa SPT tahun lalu. Saya mau menyontek kolom hartanya,” wajahnya memelas.

“Bapak isi seingat Bapak saja,” aku lebih tak tega membayangkan beliau harus pulang dan kembali lagi besok.

Raut wajahnya mengeras. “Saya orangnya perfeksionis, Bu. Saya ingin konsisten mengisi SPT Tahunan. Agar tidak terjadi kesalahan, saya harus melihat SPT tahun lalu.”

Hatiku rasanya mencelos. Miris, banyak sekali orang yang sengaja tidak mengisi kolom harta di SPT Tahunannya atau malah mengisi serampangan saja, tapi bapak ini sungguh berkomitmen dalam mengisi SPT Tahunannya. Kebetulan beliau ini mengisi SPT Tahunan form 1770-S yang meminta detil keterangan kolom harta.

Seketika aku teringat sesuatu, mengisi kolom harta memang tak boleh sembarangan, sebab itu bisa menjadi dasar diterbitkannya SKB (Surat Keterangan Bebas) atas Warisan beliau kelak. Bila hartanya tidak tercantum di SPT Tahunan maka SKB Warisnya tidak akan bisa dikabulkan.

“Apa gak ada orang rumah yang bisa dimintakan bantuan, Pak?” tanyaku hati-hati.

Beliau menggelang. “Istri saya sudah linglung, Bu. Anak-anak juga sudah sibuk dengan keluarganya.”

Hatiku makin teriris mendengarnya. Duhai Bapak, akankah kelak aku akan bernasib sepertimu?

“Tidak apa-apa, Bu. Saya pulang saja. Besok saya temui ibu lagi. Mohon dibantu ya Bu, menyelesaikan mengisinya.”

Aku hanya bisa mengangguk, pasrah. Besok atau besoknya lagi, aku pasti menunggumu, Pak. Terima kasih sudah datang hari ini dan mengajarkanku, tentang bagaimana menjadi Wajib Pajak yang jujur dan berkomitmen kepada negara.

Sesaat setelah beliau pergi, diam-diam kutekan sebuah nomor di layar HP....

“Assalamualaikum...Ayah, lagi ngapain? Sudah lapor SPT Tahunan belum? Mau kubantuin?”

* * *

NB : Ini true story. Jangan lupa ya, minta bukti potong ke tempat kalian bekerja dan laporkan SPT Tahunan ke Kantor Pajak tempat terdaftar, atau bisa juga secara kolektif ke Kantor Pajak terdekat. Selamat mengisi SPT!

Baca ini juga ya!