Jumat, 29 Desember 2017

Kembalinya Si Anak Hilang

“Anakmu bukanlah milikmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu pada dirinya.
Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau.
Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu.”

-Kahlil Gibran-

Apakah arti menjadi seorang ibu? Apakah ketika seorang wanita berhasil menjadi perantara hadirnya seorang anak manusia ke dunia maka ia telah layak dipanggil ibu? Ataukah ketika dia sudah memberi makan dan memenuhi kebutuhan hidup putra-putrinya maka serta-merta berhak tersemat predikat itu?

Jikalau maknanya hanya sebatas pengertian di atas, maka tentulah kejadian pahit dua tahun yang lalu takkan kualami. Kala itu putra bungsuku telah selesai masa menyusu. Entah kapan tepatnya, tiba-tiba dia lebih memilih tidur bersama pengasuhnya daripada denganku, ibu kandungnya sendiri.

Kala itu, batinku koyak tercabik-cabik, kalau tak bisa dibilang hancur berkeping-keping. Tiap kali putraku menangis minta diantar ke kamar pengasuhnya, hatiku pun runtuh dan gerimis. Bagaimana bisa dalam kejapan mata ia abaikan perempuan yang rela menyabung nyawa ketika melahirkannya?

Musnah sudah semua ilmu pengasuhan anak dan idealisme yang kupelajari dan berhasil kuterapkan pada kakak sulungnya. Di usia batita, si buyung justru menunjukkan ketidakacuhannya padaku, bahkan mengusirku dari kamar pengasuhnya bila malam tiba.

Seketika itu juga, berbagai ketakutan dan bayangan buruk berkecamuk di jiwa. Bagaimana bila hal ini berlanjut terus dan mempengaruhi psikologisnya hingga ia dewasa? Apa jadinya jika dia menjadi anak yang sulit diatur sebab tiada ikatan batin dengan orang tua? Cemas hati luar biasa namun saat itu pikiranku gelap tanpa bisa mengetahui muasalnya.

Kucoba merunut lagi peristiwa demi peristiwa yang sekiranya melatarbelakangi kejadian ini. Apakah karena aku pekerja kantoran yang seringkali sampai di rumah larut malam? Atau karena ketika di rumah aku tak sanggup mengelola amarah sehingga dia sering melihatku emosi? Ataukah karena aku sering menonton drama seri Korea hingga larut malam alih-alih membacakan dongeng pengantar tidurnya?

Pada akhirnya harus kuakui, apapun penyebabnya, kenyataannya aku tak lebih baik dari pengasuh anakku yang bahkan tak tuntas mengenyam pendidikan dasar. “Tangki Emosi” anakku dipenuhi dengan memori dan kasih sayang dengan pengasuhnya, bukan denganku. Pendidikan dan semua teori parenting yang kupunya tak berguna ketika harus berhadapan dengan bocah keras kepala itu. Aku mati kutu. Tak berdaya ketika pelan-pelan dia tak mengindahkanku, sebagaimana dia merasa aku mengabaikannya pada saat itu. Hari-hari terasa gelap dan tak berujung, hanya tangis dan gulana yang menghiasi malam-malamku.

Hingga suatu ketika, hidayahNya menuntunku menghadiri seminar pendidikan anak yang diisi oleh Ustadz Irwan Rinaldi. “Bukan tanpa sebab seorang bayi dititipkan pada rahim kita. Ketika amanah itu hadir maka artinya kita memang dianggap mampu oleh Sang Pemilik Kehidupan, sebab tak semua orang bisa mendapatkan karunia itu. Setiap anak adalah istimewa, maka keyakinan untuk bisa mendidik dan mengantarkannya menuju surga haruslah terhunjam kuat di dalam dada,” kata-katanya begitu lugas, menampar dan menyentak kesadaranku.

Setelah mendapatkan tausiyah itu, kepercayaan diriku yang pudar mulai bangkit. Ya, aku harus bangkit! Sebab Allah tidak akan mengubah nasibku kecuali aku berupaya mengubahnya! Di luar acara kuberanikan diri menghubungi Ustadz pemeran utama film Sang Murabbi itu dan berkonsultasi secara pribadi. Beliau memberikan tips yang sederhana nan tak mudah: perbanyaklah istighfar dan shalawat. Pasrahkan semuanya pada Yang Maha Membolak-balikkan hati.

Wejangan beliau memaksaku mengevaluasi diri. Bagaimanakah hubunganku dengan Allah Ta'ala selama ini? Adakah kuikuti sunnah-sunnah RasulNya dengan sempurna? Ke manakah bacaan Quran peneduh jiwa dan shalat-shalat malam itu melesap? Di titik ini akhirnya kumengerti, bahwa ikatan batin kita dengan anak atau pasangan memang sangatlah bergantung dengan kualitas koneksi kita dengan Sang Pemilik Jiwa.

Rasulullah SAW bersabda ”Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. At Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir, Shahihul Jaami’ no. 896). Dalam riwayat lain Rasulullah SAW memberikan panduan, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik budi pekertinya dan paling lemah-lembut perilakunya kepada ahli keluarganya” (HR Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan al-Hakim).

Maka kuputuskan untuk kembali padaNya. Bila cintaku memang tulus tak mengharap balasan maka inilah saatnya membuktikan. Kuusahakan selalu untuk memberi perhatian lebih pada si bungsu tanpa mengurangi porsi kewajibanku di kantor. Sebab ingin dia tumbuh menjadi pria yang shaleh, maka harus kupastikan kehalalan penghasilan yang kubawa pulang ke rumah. Tiada henti kusebut namanya dalam untaian doa yang menderas. Kutingkatkan lagi amalan-amalan sunnah yang dulu satu per satu telah kutinggalkan.

Lalu, ke manakah drama-drama Korea itu? Akhirnya kusadari bahwa Lee Min Ho dan Song Joong Ki tak mampu memberikan syafaat di hari akhir nanti. Tapi anakku, dan setiap amal kebaikan yang dilakukannya atas buah nasihat dariku kelak mampu menjadi pemberat mizan perhitungan hisabku.

Allah SWT berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS Ath-Thalaq: 2-3)

Pepatah Arab menyebutkan, “man shabara zhafira”, barangsiapa bersabar maka akan mendapatkan keberuntungan. Di saat kepasrahanku mencapai puncaknya, putraku akhirnya berubah pikiran. "Aku mau bobo sama Ummi aja," ujarnya suatu ketika.

Masya Allah. Masya Allah. Putraku telah kembali ke pelukanku! Subhanallah walhamdulillah! Terima kasih ya Allah telah memberiku kesempatan yang kedua untuk membuktikan bahwa aku layak menyandang sebutan itu. Namun, perjuanganku belum berakhir, baru saja dimulai.

Pengalaman ini memberiku pelajaran berharga; melahirkan seorang anak tak serta merta menjadikan perempuan berhasil jadi seorang ibu seutuhnya. Dibutuhkan pembuktian dan pengabdian seumur hidup, pengorbanan dan keikhlasan sepanjang hayat. Kebutuhannya tak cukup sebatas materi, dan bukan tanpa sebab Allah SWT menjadikan kita sebagai pengemban amanah ini.

Yakinlah Anakku, Ibu akan antar engkau hingga ke pintu surga, dan kelak bersama-sama kita akan memasukinya, insya Allah.

"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. Al-Thuur: 21)


* * * 


Alhamdulillah tulisan ini memenangkan Juara I Lomba Menulis Artikel Peringatan Hari Ibu 20 Desember 2017 DKM Al-Amin Kementerian Keuangan.



Saya bersama Mbak Cia (Ketua Panitia) dan Bu Suryani (Kabid Kewanitaan DKM)


Baca juga:

- Shirah Shahabiyah

- Kisah Nabi

- Tentang Hijab

- Artikel lain yang mendapat penghargaan