Jumat, 24 November 2017

Sebab Berhijab Tak Perlu Pakai Logika



Tulisan ini dibuat bukan semata-mata sebagai respon atas aksi lepas hijab seorang selebritas  (semoga Allah SWT memberikan hidayah kepadanya), meski kuakui hal itu memang memantik sebuah perenungan mendalam dan memaksaku terlempar kembali ingatan saat-saat awal berhijrah dulu.

Keputusan berhijab adalah sebuah lompatan terbesar dalam hidupku. Siapapun yang mengenalku di masa-masa remaja mungkin sebagian besar berpendapat bahwa berhijab adalah sebuah pelarian atau kemustahilan mengingat perilakuku di masa lalu. Tapi Allah SWT memang Maha Baik. Ketika Dia berkenan membukakan jalan maka sesungguhnya tak ada yang tak mungkin.

Tak semua sejawat menerima keputusan itu. Ibuku bahkan mengkhawatirkan kalau-kalau aku sulit mendapatkan jodoh. Sebuah gambaran nyata bahwa pada masa itu di kampungku hijab memang tak sepopuler sekarang, dan masih terbelenggu pemikiran bahwa hijab hanya untuk perempuan-perempuan tua atau yang sudah pernah ke tanah suci.

Apakah hijab hanya diperuntukkan bagi orang-orang suci? Adakah di dunia ini muslimah yang berjalan di muka bumi tanpa membawa setitik pun dosa di dalam hatinya? Sesungguhnya telah lama aku berlepas diri dari pemikiran seperti itu. Aku adalah seorang pendosa. Hari ini dan esok pun aku berdosa. Tapi aku sungguh enggan menjadikan dosa-dosa itu sebagai penghalang dari rahmat-Nya.

Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berupaya agar Dia selalu mencintaiku. Dan aku ingin membuktikan itu. Disebutkan dalam surat cinta-Nya, aku harus menutup aurat, agar terang perbedaan dalam hal keimanan dengan yang bukan muslimah. Dan untuk melindungiku dari pandangan yang jahat dan niat yang buruk. Keuntungan selebihnya adalah bonus, misalnya efek kulit yang lebih terlindungi dan tidak perlu repot-repot menata rambut, sehingga waktuku lebih efektif dan bisa digunakan untuk hal-hal bermanfaat lainnya.

Yang jelas dengan berhijab membuatku fokus pada karya yang dihasilkan dan menambah keyakinan bahwa seorang muslimah bisa tetap eksis tanpa semata-mata menonjolkan kelebihan fisiknya. Hijab memang menutupi fisikku, namun dia malah membuka semua kesempatan yang ada dan menunjukkanku pada jalan yang lebih terang.

Momen hijrah berikutnya yang paling berkesan adalah ketika ibuku juga memutuskan berhijab. Dan lompatan beliau lebih jauh lagi. Keputusan itu membuatnya belajar membaca quran di usia yang tak lagi belia. Dan beliau berhasil! Di usia kepala lima beliau juga berhasil menghapal juz 30. Subhanallah. Semoga Allah SWT menjaga hapalan beliau dan mencurahkan rahmat-Nya selalu kepada bundaku.

Sebab sesungguhnya hidayahku pun berasal dari orang tua. Dulu, ketika masih SD, ibu sering membawakan majalah Annida (semoga Allah SWT membalas jasa para redaktur dan kontributornya) untuk kubaca. Isinya penuh dengan keindahan Islam dan bagaimana menjalankan syariat Islam dengan penuh ketaatan. Itu adalah peletak dasar pondasi berpikirku di masa itu. Hidayah berikutnya menyusup ketika orang tuaku membeli kitab Riyadhus Shalihin dua jilid sekaligus. Di masa SMP aku sering membacanya di sela-sela waktu luang. Hingga semuanya menjadi sebuah monumen yang tersimpan di salah satu labirin kesadaranku, meski sempat kutinggalkan tenggelam dalam hura-hura masa muda dan kehidupan yang seakan berlangsung selamanya.

Tetapi aku salah. Dan keputusan berhijab menyelamatkanku. Mempertemukanku dengan seorang muslimah yang sangat lembut, berdakwah tanpa pemaksaan. Dengan cintanya aku mengenal Islam dalam sisi yang dulu kukenal. Sisi persaudaraan muslimah. Ukhuwah yang mengalir manis dan menghiasi hari-hari nan indah. Hingga kini aku masih berhubungan baik dengannya, dan saudara-saudara muslimah lainnyaa. Hingga di titik ini aku tak mampu menceritakannya lebih lanjut sebab hatiku sungguh bergetar dan mataku mulai menangis bila mengingat saat-saat perpisahan dengan mereka.

Tapi hidup harus tetap berjalan. Menjalani pernikahan dan menjadi seorang ibu adalah tantangan berikutnya. Bagaimana aku bisa menjadi sosok panutan bagi putri sulungku? Sejak awal kuputuskan untuk tidak memaksakan dia untuk berhijab. Aku ingin dia mengikuti fitrahnya, menemukan jalannya sendiri untuk menggapai hidayah sebab rasanya memang lebih indah. Bahkan hingga umur 6 tahun dia masih enggan berhijab.

Status sebagai seorang karyawati yang menghabiskan sebagian besar waktu di kantor membuatku tiada henti berdoa. Terutama ketika putriku bertanya kenapa ibu-ibu di sekitar rumah tidak berhijab sepertiku. Terselip kekhawatiran apakah dia akan terpengaruh dengan lingkungan atau bersedia mengikuti jejakku.

Hingga akhirnya Allah SWT berkenan memberikan jawaban. Di suatu hari yang cerah putriku berkata, "Aku mau pakai jilbab seperti Ummi...." Subhanallah. Momen masya Allah yang takkan pernah kulupa.

Ibu adalah sekolah pertama putrinya. Panutan. Teladan. Memang hidayah untuk berhijab bukanlah sesuatu yang bisa dicapai akal dengan logika. Itu adalah sebuah rumusan magis, antara ikhtiar kita mencarinya, doa diam-diam orang tua, maupun bersungguh-sungguh memelihara konsistensinya. Sungguh tak mudah.

Semoga Allah SWT berkenan menjaga keistiqomahan bagi diriku, ibu, putriku, dan seluruh muslimah di dunia untuk tetap teguh di jalan-Nya. Sebab perintah berhijab adalah bentuk kasih sayang Allah SWT kepada wanita, makhluk teristimewa di dunia.