Jumat, 29 Mei 2020

Dapat Tagihan dari Zoom, Harus Bagaimana?


Kalau baby boomer adalah sebutan generasi yang lahir pasca perang dunia II, maka generasi muda sekarang punya gelar baby zoomer, saking lekatnya dengan aplikasi satu ini.

Zoom mungkin mewakili wajah komunikasi sebagian besar kita di masa bekerja atau belajar dari rumah. Keunggulannya dibandingkan aplikasi lain adalah lebih irit data, bisa menampung lebih banyak peserta, kualitas video dan audio yang mumpuni, dan tidak membatasi penggunaannya pada perangkat tertentu untuk bergabung.

Selain yang gratis (Zoom Free), aplikasi ini juga menawarkan layanan berbayar. Dilansir dari situs cekaja.com, ada tiga pilihan layanan berbayar di aplikasi ini, yaitu:
1. Zoom Pro, dikenakan biaya USD15 per host dengan jumlah partisipan bisa mencapai 100 orang;
2. Zoom Business, dikenakan biaya USD20 per host dengan jumlah partisipan bisa mencapai 300 orang;
3. Zoom Business Enterprise, dikenakan biaya USD20 per host dengan jumlah partisipan bisa mencapai 1000 orang.
Lumayan terjangkau juga ya :)

Biasanya yang sering memanfaatkan layanan (Zoom Meeting) yang berbayar adalah perusahaan yang bergerak di bidang event organizer, jasa pendidikan, jasa konsultasi, dsb. Selain fitur ini, perusahaan juga bisa memanfaatkan fitur Zoom Room untuk melakukan konferensi video dengan jumlah peserta besar, tentu saja dengan membayar biaya tambahan.

Atas layanan ini, perusahaan di Indonesia akan mendapatkan tagihan dari perusahaan Zoom Video Communication Inc. (ZVCI) yang beralamat di San Jose, California. Lantas, bagaimana dengan kewajiban perpajakannya?

Kita coba bahas satu-satu ya.

Pertama, lakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak.

Perusahaan ZVCI termasuk dalam kategori wajib pajak luar negeri (WPLN) yang menerima penghasilan dari dalam negeri. Atas setiap penghasilan yang diterima oleh ZVCI, maka pelanggan yang memberikan penghasilan kepada ZVCI akan menjadi Pemotong dan/Pemungut Pajak.

Siapa saja sih yang disebut sebagai Pemotong dan/Pemungut Pajak? Yaitu badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN.

Dari pengertian di atas, diketahui bahwa pemotong atau pemungut pajak penghasilan tersebut bukan hanya terbatas subjek pajak dalam negeri yang berbentuk badan atau perusahaan, melainkan juga orang pribadi.

Hal ini yang seringkali luput dari perhatian sebab kurangnya pemahaman terhadap peraturan perpajakan. Padahal, saat ini banyak juga wajib pajak orang pribadi yang berlangganan aplikasi Zoom untuk usahanya, seperti pengusaha webinar, konsultan lepas, pengajar pendidikan, maupun instruktur olahraga. Bayangkan berapa potensi pajak yang bisa dikumpulkan negara dari pemotongan pajak penghasilan ini.

Berapa tarifnya? Tarifnya 20% dari penghasilan bruto atau apabila ada perjanjian dengan negara asal WPLN maka menggunakan tarif sesuai Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda).

Pemotong atau pemungut pajak harus menyetorkan dengan membuat kode billing dengan kode jenis pajak 411127 dan kode jenis setoran 104 untuk jasa.

Nilai yang digunakan adalah nilai rupiah yang dihitung dengan menggunakan kurs Keputusan Menteri Keuangan (Kurs KMK) pada saat pemotongan pajak penghasilan. Jadi, pajak dibayarkan ke kas negara menggunakan NPWP pemotong dalam bentuk rupiah.

Penyetoran dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari masa pemotongan pajak penghasilan.

Kedua, buat bukti potong untuk dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Penghasilan.

Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh), transaksi ini diatur dalam Pasal 26 sehingga disebut PPh Pasal 26. Untuk pemotongan atas imbalan jasa kepada perusahaaan ZVCI di atas, harus dibuatkan bukti potong dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 sesuai masa dilakukannya pemotongan pajak.

Saat ini, wajib pajak dapat membuat bukti potong PPh Pasal 26 dan membuat SPT Masa PPh Pasal 23/26 melalui aplikasi eSPT PPh Pasal 23/26 yang dapat diunduh di situs pajak.go.id. Untuk wajib pajak badan tertentu dapat menggunakan aplikasi e-Bupot. 

Bukti potong yang telah dibuat akan menjadi lampiran pada SPT Masa dan salinannya dapat diberikan kepada lawan transaksi yaitu perusahaan ZVCI.

Ketiga, melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26.

Bila wajib pajak belum pernah melakukan pelaporan elektronik dan tidak wajib efiling, wajib pajak masih dapat melakukan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23/26 dengan menggunakan formulir kertas. Wajib pajak dapat mengirimkan melalui pos selama masa ditiadakannya layanan tatap muka di kantor pajak.

Bila wajib pajak ingin melaporkan secara elektronik atau sudah wajib efiling, maka wajib pajak bisa melaporkan melalui jasa ASP (Penyedia Jasa Aplikasi) seperti situs www.online-pajak.com atau https://klikpajak.id.

Bagi wajib pajak badan tertentu yang telah menggunakan aplikasi e-Bupot dapat langsung melaporkan melalui aplikasi tersebut.

Pelaporan dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dari masa pemotongan pajak penghasilan.

Keempat, jangan panik bila lawan transaksi menunjukkan SKD (Surat Keterangan Domisili).

Karena perusahaan ZVCI berasal dari Amerika Serikat yang mempunyai P3B dengan Indonesia, maka kemungkinan besar lawan transaksi akan menunjukkan SKD untuk mendapatkan tarif sesuai P3B.

SKD adalah surat keterangan berupa formulir yang diisi oleh WPLN dan mendapatkan pengesahan dari pejabat berwenang di negaranya. Untuk Amerika Serikat pengesahan ini biasanya menggunakan CoR (Certificate of Residence).

Soal SKD ini saya pernah tulis di sini, silakan dibaca-baca. Pastikan SKD yang diberikan oleh WPLN valid dan memenuhi persyaratan sesuai PER-25/PJ/2018.

Bila masih bingung soal tarif yang digunakan setelah membaca P3B, silakan berkonsultasi dengan helpdesk di kantor pajak tempat terdaftar atau dengan petugas Account Representative (nama petugas bisa dicek di menu Profil Wajib Pajak di akun djponline masing-masing).

Intinya, bila lawan transaksi tidak menunjukkan SKD maka tetap potong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari nilai bruto. Setelah dihitung dalam nilai rupiah dan disetorkan ke kas negara, jangan lupa untuk membuat bukti potong dan melaporkan melalui SPT Masa PPh Pasal 23/26. 

Demikian ulasan tentang pemotongan pajak penghasilan atas layanan Zoom. Tentu saja tulisan ini masih perlu banyak masukan. Silakan tulis di kolom komentar ya, terima kasih sudah berkenan membaca :)

1 komentar:

  1. Halo kak, pertama-tama terima kasih banyak atas artikelnya sangat membantu. Tapi ada beberapa pertanyaan terkait ini, untuk pelaporan PPH atas transaksi Zoom ini, dokumen legalitas seperti NPWP Zoom-nya bisa kita dapatkan dari mana kah? atau bisa kita isi dengan data lain?

    Lalu, selama ini kan perusahaan saya membayar full yaitu tagihan + PPN. Apakah memungkinkan ya bisa mendapatkan reimburse dari Pihak Zoom dengan bukti potong atau sejenisnya, mengingat seharusnya ada pengurang atas PPh.

    Sekian terima kasih, semoga bisa dijawab yaa kak

    BalasHapus

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^