Sabtu, 29 November 2014

KISAH RA DAN RA



Aku masih ingat hari itu, hari pertama kita bertemu.
Keyra, panggil aja Ra,” dengan antusias kau ulurkan tanganmu.
“Zahra, panggil saja Ra,” sambutku juga tersenyum.
Sedetik kemudian kita tertawa, mungkin sama-sama bertanya kenapa hal ini bisa terjadi. Tentu saja bukan hanya karena nama panggilan yang sama, melainkan juga karena secara fisik wajah kita sangat mirip. Postur kita juga sekilas serupa : semampai, berkulit terang, dan berambut panjang. Bila kulepaskan kacamata dan kugerai rambut yang selalu kuikat ekor kuda ini, orang lain pasti salah mengira.
“Kamu yakin kan bapak dan ibu kita beda? Atau mungkin bapakmu dulu pernah ke Bandung waktu muda?” candamu waktu itu, membuat wajahku memerah.
“Bercanda Raaa. Jangan serius gitu ihh!” kamu tetap terkekeh. Aku memang sensitif kalau masalah yang satu ini. Buatku soal nasab bukanlah hal yang pantas dijadikan bahan bercanda.
Tapi kita memang berbeda. Hal lain yang kusimpulkan setelah kita jadi teman sekamar di asrama. Kamu selalu ceria, meriah kalau tidak bisa dibilang berisik, dan kamu adalah salah satu kembang kampus yang bersinar. Selalu menjadi pujaan dan dikelilingi kumbang-kumbang. Kamu seperti alter-ego yang hidup dan bersisian denganku.
“Ra, memang kamu gak mau pacaran? Enak gila. Ada yang nraktir, antar-jemput, ngajakin nonton, dan kasih perhatian tiap hari…,” godamu suatu hari.
Aku tersenyum kalem tanpa memindahkan pandanganku dari layar komputer. “Kalau cuma itu enaknya pacaran, aku bisa dapat semua itu dari kamu, Ra.”
Bibirmu manyun. Gagal.
“Tapi kan gak ada yang peluk-peluk kita, cium-cium kita, ahhh, cup-cup…,” kamu terus berusaha. Huh, mulai mesum nih. Habis deh si Panda bonekaku jadi korban keganasanmu. Buru-buru kurebut sebelum basah oleh air liurmu.
“Tuh kaaan, si Panda basah! Ngapain pacaran kalau cuma perlu cium dan peluk doang! Panda aja bisa. Aku juga bisaaa! Sini-sini…,” kukejar kau sambil tertawa-tawa. Lalu kita berkejaran di sepanjang lorong asrama.
Semakin lama aku mengenalmu, semakin ku sadar betapa kita berbeda. Kamu lebih berani, suka melanggar aturan, dan menentang siapapun yang menghalangi jalanmu. Mama-Papamu mungkin terlalu memanjakanmu sehingga kamu jadi pribadi yang bebas dan tak suka dibelenggu. Sebenarnya itu bukan masalah selama tak menyangkut kehidupanku. Masalahnya adalah kadang kamu menggunakan kemiripan kita untuk menjalankan rencanamu.
“Ra, mulai besok malam aku gak bisa lagi bohongin Pak Tejo pura-pura jadi kamu,” ujarku setelah sebulan jadi korban ide gilamu. Setiap kali kamu ingin kencan dengan kekasihmu, aku selalu menggantikanmu dengan berpura-pura mengajak ngobrol penjaga asrama sampai kamu berhasil menyelinap keluar. Tentu saja hal ini kulakukan setelah melepas kacamata dan mengurai rambutku. Sebuah ide yang selalu sukses karena Pak Tejo yang berumur selalu sulit membedakan kita.
“Kenapa? Kamu kan tahu gue sudah kena tegur beberapa kali sebelumnya. Cuma ini satu-satunya cara biar gue gak kena sanksi, Ra,” protesmu dengan wajah keruh.
“Mulai besok aku putuskan berhijab, Ra,” jawabku. Mulutmu ternganga.
“Serius, Ra?” Aku mengangguk. Wajahmu seperti ngeri seketika.
“Sayang banget…kamu menyia-nyiakan masa muda. Tubuh bagus gini kok ditutupin. Ntar jodohmu jauh lo,” komentarmu seperti biasa, tak pernah sepakat denganku.
“Soal jodoh sudah ada yang ngatur, Ra. Justru aku lagi nyeleksi biar hanya cowok yang benar-benar mau nerima karena akhlakku, bukan semata-mata karena tubuhku, yang berhak jadi suamiku kelak,” jelasku sok bijak. Bibirnya mencibir.
“Gak panas? Jakarta panas gini…,” debatmu lagi.
“Masih lebih panas di neraka,” ujarku lalu ngeloyor pergi. Tak kuhiraukan celotehmu yang riuh-rendah di balik punggungku, protes dengan keputusanku. Biarin, nanti juga reda sendiri.
Setelah itu petualangan malammu berhenti dengan sendirinya. Kukira itu efek dari keputusanku. Ternyata aku salah. Belakangan baru kutahu kamu putus cinta lagi untuk kesekian kali.
“Gue diputusin Ra, karena cewek lain,” kamu tergugu, menghabiskan berhelai-helai tisu. Aku hanya terdiam memelukmu. “Beginilah cinta, deritanya tiada akhir…,” bisikku.
“Dasarrr Pat Kay!!” umpatmu sambil melempar si Panda. Sedetik kemudian kita tertawa, tak lupa sambil berkejaran di lorong asrama. Selalu begitu. Sepertinya tak ada hal yang bisa membuatmu bersedih lama.
Sampai hari itu kutemui kamu terduduk lesu di samping jendela. Wajahmu terlihat aneh, matamu seperti siap meleleh.
“Ra, kamu kenapa?”
Sejenak kamu menoleh. Lalu kembali memandang ke luar jendela.
“Gue…gue takut mati Ra…,” ujarmu pelan.
Aku terhenyak. Pelan kudekati dan kuraih bahumu yang terkulai lesu.
“Maksudmu?”
“Tadi gue ke rumah sakit, ambil hasil tes lab beberapa hari yang lalu. Kamu tahu kan keluhanku selama ini. Dan kata dokter…kata dokter…,” kisahmu berhenti sampai di situ. Kubaca lembar berwarna putih yang kau sodorkan padaku.
“Apa ini, Ra?”
“Katanya gue kena kanker serviks Ra, stadium lanjut....”
Mataku terbelalak.
“Gue takut, Ra….” Lalu kuhabiskan semalaman memelukmu erat.
Waktu berlalu. Wajahmu masih juga sendu. Baru kali ini kudapati kesedihan menggelayutimu begitu lama. Tubuhmu semakin kurus, kondisimu semakin menurun karena kamu menolak berobat. Mama-Papamu sangat kecewa.
“Ra, please turuti ortumu. Bukan hanya kamu yang paling menderita di dunia ini. Kalau kamu menyerah sekarang berarti kamu gak menyukuri nikmat Tuhan,” nasihatku suatu hari.
“Nikmat yang mana, Ra? Nikmat sakit?”
“Setiap kita menunggu mati, Ra. Gak ada bedanya aku dan kamu. Kamu lebih beruntung karena Tuhan masih memperingatkanmu. Kamu bisa memilih untuk berjuang, mengisi hari-harimu dengan kebaikan, atau menyerah sekarang. Bukan kematian yang menjadikan kita dikenang, tapi memori seperti apa yang kita tinggalkan….”
Awalnya wajahmu tetap datar. Tetapi sedetik kemudian kulihat lagi matahari itu terbit di wajahmu. Yup, sahabatku yang dulu telah kembali. Sesudah itu hidupmu tak layu lagi. Kamu tetap beraktivitas di sela-sela pengobatanmu. Bahkan kini aktivitas itu semakin positif. Lihat, kamu bahkan tak canggung mengajar anak-anak jalanan meski rambutmu yang rontok karena kemoterapi tak kunjung tumbuh seperti semula.
“Aku ingin berhijab, Ra, tapi aku gak mau berhijab hanya untuk menutupi kepalaku ini,” curhatmu suatu hari.
“Allah tuh maunya kamu berhijab tanpa peduli alasanmu. Soal meluruskan niat itu bisa sambil jalan. Kalau nunggu niatmu sempurna, mau nunggu sampai kapan? Yakin masih ada waktu?”
Lalu kamu terdiam lama, sebelum akhirnya kamu tertawa. “Iya, Ra. Kalau aku mati besok, aku ingin menghadap Allah dengan lebih sempurna.”
Wajahku berbinar mendengarnya. Inilah akhir yang sempurna bagimu, sahabatku. Tak semua orang bisa seperti itu. Berapa banyak orang yang terlena merasa amalnya sempurna, tanpa sempat bertaubat di akhir hidupnya. Itu sebuah rahasia besar. Aku pun tak tahu bahwa aku mengidap penyakit jantung yang merenggut nyawaku di hari wisuda kita, hari pertama kau memutuskan berhijab.

Credit
Jumlah kata : pas 1000 kata ^_^
Fiksi ini ditulis dalam rangka ikutan “Attarandhismind First Giveaway
Met ultah buat blognya Bang Admin MFF. Semoga selalu bisa menebar kebaikan dan jadi ladang amal ya :) Amiin....

Rabu, 26 November 2014

Prompt #72 : Duka Clara



“Api nyala begitu rupa
Membelit-belit luka
Mulut nyinyir bau anyir
Tak kuasa melawan takdir
Takdirku, takdirmu
Berpeluh kelu tergelincir di lorong waktu
Menghempas kita di ujung masa
Memaksa cinta menguruk duka
Dalam
Kelam
Buram
Seburam matamu di pinggir senja
Menatap lekat jiwaku yang meranggas
Habis kau bakar dalam gelas”
Satu-satu kusesap habis minuman itu. Pahit. Biarlah, aku tak peduli. Berharap pahitnya mengalahkan derita selepas dia pergi.
“Claraaaa….,” panggilan ibu menggema dari balik pintu. Sesekali gedorannya menggetarkan mejaku, namun tetap tak mampu membuatku beranjak.
“Sudah malam, obatnya jangan lupa diminum!” ibu menyerah akhirnya. Meninggalkanku dalam ritual setiap malam, menghempaskan sebutir lagi pil harapannya ke tong sampah. Aku tersenyum lega. Satu hari berlalu lagi tanpa perlu menenggaknya.

Sumber
Lalu kuteruskan lagi ritualku berikutnya. Mengukir sebuah nama di atas kertas-kertas yang berserakan, puluhan mungkin ratusan. Sesekali kutorehkan prosa atau puisi, mengenangnya sebelum pergi. Lalu kutambahkan bergelas-gelas lagi hingga tuangan terakhir. Berharap minuman ini bisa melarutkanku dalam mimpi. Sayangnya mataku tak kunjung lena dan waktu terus saja merangkak. Desau angin di luar jendela merangak.
Bosan.
Clara, minum obatnya.
Clara, jangan bikin ulah.
Clara, kerjakan tugas kuliah-mu.
Clara, jangan minum-minum lagi.
Clara, sana pergilah terapi.
Bukan terapi yang kuperlukan, Ibu. Tapi belaian dan kasih sayangmu. Bosan aku berputar-putar di dunia ini seperti siput. Menanggung beban di punggungku. Beban itu bernama ibu.
Bukan, bukan mendiang ibu yang namanya kupatri di kertas-kertas tadi. Tapi ibu baru yang hanya bisa menyeretku ke ruang psikiatri.

Jumlah kata : 233 kata

Notes : Untuk semua ibu di dunia, ingatlah putrimu adalah mutiara :)

Senin, 24 November 2014

Prompt #72 : Chandelier


Kata ibu aku seperti chandelier yang tergantung di langit-langit, tak pernah bisa diam. Bergerak-gerak lincah selalu penuh semangat. Persis seperti kelakuannya waktu kecil. Supel dan menarik perhatian. Ya, aku setuju. Buah memang jatuh tak pernah jauh dari pohonnya.

Kata ibu aku seperti chandelier yang tertiup angin. Bergoyang-goyang mengikuti ke mana arah hembusannya membawaku. Persis seperti ia di masa muda. Berfoya-foya. Berpindah dari satu klub ke klub lainnya. Dari satu gelas ke gelas lainnya.

Mungkin ibu lupa, aku ini seperti bayangan, selalu mengikuti tanpa ia sadari. Apa yang dia minum juga kuminum. Apa yang dia rasa aku pun merasakannya. Juga mendengar semuanya : sumpah serapah ibu dan ayah di setiap pagi, caci dan maki di setiap siang dan sore. Ditutup dengan hingar-bingar dan musik yang menghentak-hentak di malam hari. Kemudian di esok pagi ibu dapati matanya lebam membiru dan lekuk tubuhnya tak indah lagi. Tapi kenapa ibu masih tak peduli? Esoknya dia ulangi lagi, kali ini dengan pria yang berbeda.

Kata ibu chandelier itu sebenarnya berfungsi untuk menaruh lilin. Ah, aku tak mau menjadi tempat lilin. Untuk apa menerangi orang lain bila diri kita harus terbakar? Tapi dia tak peduli. Ibu terus saja membakar tenggorokan dan organ-organ dalam tubuhnya dengan minuman keras segala rupa. Mungkin itulah caranya melarikan diri dari luka.

Kata ibu chandelier di ruang tamu kami sangat indah. Besar dan menyala terang sekali. Puluhan lampu terbuat dari kristal menghiasinya. Syukurlah tak perlu ada lilin. Kau tahu aku tak suka lilin, panasnya mengingatkanku pada saat minuman keras itu membakar sarafku, juga organ-organ dalamku. Membuatku merasa leleh dan tenggelam dalam duka ibu.

Kau tahu, aku selalu ingin melihat chandelier itu. Sayangnya ibu tak memberiku cukup waktu. Usiaku belum genap enam bulan ketika itu. Tubuhku luruh bersama semua keinginanku untuk menghapus duka ibu.

Sumber



Jumlah kata : 291 kata


Notes : prompt yang benar-benar cetar membahana *lap keringet di jidat*

BIG SECRET



Bagian ke-9 bisa dibaca di sini.

Kuedarkan pandangan yang buram ke sekeliling ruangan. Para pengawalku sudah pergi. Mungkin orang tua itu yang menyuruh mereka pergi. Antara lena dan jaga samar kudengar suaranya yang serak.

“Sudah sadar kau rupanya. Beruntung tubuhmu masih bisa merespon mantraku dengan baik.”

Sosok berjubah hitam itu bergerak-gerak, menimbulkan bayangan mengabur di mataku yang belum sepenuhnya normal. Bau tubuhnya yang renta seperti kayu lapuk, membuatku semakin mual.

“Kalau ingin muntah keluarkan saja. Kemungkinan besar sinar biru itu merusak sebagian sirkuit hologram di saraf pusatmu. Beruntung darah setengah Ennearhg masih mengalir di darahmu. Sebuah kutukan dan anugerah memang kadang tak jauh berbeda…,” bisiknya lagi. Bunyi tongkatnya sesekali terdengar, mengetuk-ngetuk lantai putih yang dingin, menimbulkan ketidaknyamanan di jaras dengarku.

Tunggu, sinar biru? Bagaimana dia…tahu?

“Kau lupa akulah yang diberkahi, yang bisa melihat masa depan, dan membaca apa yang tersirat dari mata seseorang. Sebuah berkah dan kutukan bagiku, karena tiap apapun keputusan yang kuambil, selalu ada korban di situ, yang tak mampu kuhindari, bahkan terhadap orang yang kukasihi sekalipun,” racaunya lagi.

Ah, dia selalu begitu. Ucapannya selalu terlampau dalam, terlalu tinggi untuk kucerna. Membuatku semakin pusing saja.

“Sudah kubilang untuk menghentikan ini semua. Dendam apa yang ingin kau balaskan Peter? Dari awal aku sudah mencegahmu menikahinya. Bahkan dari awal sudah kularang untuk mendekatinya. Tapi sifat keras kepalamu ini memang sepertinya sudah digariskan mengalir dalam darahmu. Setengah Ennearhg….”

“Diaaaaam! Jangan teruskan lagi! Jangan sebut aku setengah lagi! Aku Bjork murni! Aku tak terkalahkaaan!” tubuhku gemetar, kepalaku berdenyut-denyut.

“Sudah cukup semua penghinaan ini! Seumur hidup aku tak pernah diakui. Tidak sebagai Bjork, tidak juga sebagai Ennearhg. Mereka menciptakanku, tapi juga menistakanku! Setelah fajar ketujuh akan kubuktikan bahwa akulah Bjork sejati, yang terkuat dan akan menjadi pemimpin yang abadi. Semua legiun akan bertekuk lutut padaku. Terutama Tuan Muffrowl terkutuk itu. Akan kumusnahkan hingga seluruh klannya!” sumpahku bergema.

Sosok bungkuk itu mendekatiku pelan dan mendesis, “Bagaimana mungkin kau musnahkan akar dari kehidupanmu sendiri?”

Aku tercekat. Tudung kepala hitam yang terus menunduk itu lalu mendongak, memamerkan wajah setengah hangus setengah tak berbentuk yang menyeringai.

“Katakan! Katakan padaku wahai Slakve tua! Apa yang harus kulakukan untuk memenangkan pertarungan ini? Semua akan lebih mudah bila sebelum fajar ketujuh kuhabisi Keyra dan semua kroninya. Sayangnya kekuatanku masih lemah sedangkan waktuku semakin sempit. Bila sihir putih sepenuhnya sudah menyelimuti seluruh ibukota maka aku tak punya kesempatan lagi untuk memimpin Hepzeba. Semuanya akan direnggut oleh sang Komandan,” keluhku.

Tubuh Slakve tua itu lalu berlutut. Tangannya yang keriput bergetar ketika mengunjukkan sesuatu. Sebilah pedang laser berwarna biru.

“Hanya ada satu cara. Terimalah balas budiku kali ini.”

“Tidak. Sekarang belum saatnya kau mati. Aku masih memerlukan visi-visimu. Karena itulah aku dulu menyelamatkanmu. Kau tahu seharusnya aku menghabisimu karena telah membocorkan rencana-rencana kami…,” tolakku. Ingatan hari itu berkelebat di mataku. Tubuh baru Stephania  yang terbujur kaku, masih dalam pengaruh mantra Feamremorphia. Mantra itu harusnya memusnahkan jiwa Slakve tua itu juga. Tapi kuputuskan untuk menyelamatkannya, merekonstruksi ulang tiap kepingan tubuh dan jiwa yang bisa kutemukan. Satu hutang budi lagi yang harus dia balas di kemudian hari, tiap kali aku memintanya.

“Karena itulah aku tak ingin hidup lebih lama lagi. Terbelah-belah tanpa pernah kutahu berdiri di pihak mana. Terjebak dalam sumpah pengabdianku pada klan Muffrowl dan sumpahku untuk selalu menjagamu. Menyedihkan, aku bahkan tak kuasa menjaga putraku sendiri,” ujarnya getir.

“Tak cukupkah janjiku untuk selalu melindungi Zyreth sampai kapanpun juga? Tak cukupkah itu untuk ditukar dengan penglihatanmu?” 

Slakve tua itu lalu menghela napas, berat. Tubuhnya yang bungkuk seperti bergerak-gerak tak tentu arah.

“Kau tahu Peter, tak semudah itu menghancurkan Bjork Hybrida sepertimu. Kaummu adalah generasi baru, hasil teknologi rekayasa pendahulumu, para Bjork murni. Mereka sepertinya sudah membaca ramalan purba tentang kelahiran sang Putri Tunggal, juga eksistensi mereka yang di ambang kehancuran. Maka langkah antisipasi terakhir telah mereka tempuh. Malam dimana anak buah Tuan Muffrowl melepaskan tubuh mereka demi mencipta sihir itu, adalah malam dimana mereka melepaskan partikel hologram inti, untuk mengaktifkan kehidupan baru. Rezim lama musnah melebur menjadi peradaban baru. Bjork memang tak tertandingi. Dan kau satu…teristimewa karena darah yang mengalir di tubuhmu. Dengan suatu tipu daya mereka memperdayai Jenderal Muffrowl dan mensintesa nutfahnya. Itu membuatmu menjadi Hybrida terkuat, tentu saja selain Hybrida keturunan Jenderal Seringr yang lain –sang Komandan….”

“Tentu saja aku tahu semua itu. Jangan ceramahi aku lagi. Bosan aku mendengarnya. Siapa aku sebenarnya tak penting lagi. Dan jangan menyebut-nyebut sainganku itu…,” potongku tak sabar. Hatiku selalu kesal tiap kali Slakve tua bangka itu menyebut-nyebut sejarah itu.

“Kali ini kau harus dengar. Karena akarmu menentukan bagaimana ajalmu datang. Melepaskan tubuh Ennearhg takkan mempan lagi untuk membunuhmu. Satu-satunya cara adalah dengan memusnahkan Tuan Muffrowl. Jadi kuberi tahu satu hal, jangan pernah bunuh Tuan Muffrowl atau kau akan mati….”

Kali ini mulutku benar-benar ternganga. Sial! Tak kukira sepelik ini.

Tiba-tiba sebuah pencerahan terbersit di kepalaku, “Aku tak boleh membunuhnya, tapi aku bisa menjadikannya budakku. Sekarang tinggal bagaimana caranya memasuki benteng itu…,” otakku berpikir keras mencari jalan bagaimana caranya agar aku bisa memusnahkan Keyra dan kroninya tanpa melukai Tuan Muffrowl.

Tercipta jeda cukup lama. Hingga tiba-tiba sebuah panggilan masuk. Sebuah suara yang dulunya sering kudengar. Mengajakku untuk bertemu di sebuah tempat dimana dulu kami sering bertemu. Bukan, aku yang menemuinya ketika dia sedang sendiri, tanpa ada yang menemaninya. Hatiku ragu untuk membuka kanal saraf sensorikku, curiga bila ini jebakan. Namun akhirnya kuputuskan untuk membukanya juga, lebih karena meyakini intuisi bahwa inilah caraku menyusup ke dalam benteng mereka.

“Baiklah…aku segera ke sana,” ujarku menutup pembicaraan. Slakve tua menatapku curiga.

“Kau menjerumuskan dirimu lagi? Sia-sia semua yang kulakukan untuk menjauhkanmu dari kehancuran. Bukan visi-visiku yang sebenarnya bisa menyelamatkanmu Peter, tapi kebijaksanaanmu. Sayangnya tak bisa kuharapkan itu. Tidak dulu, tidak sekarang….”

“Hey, dia yang lebih dulu menghubungiku! Mungkin dia pikir aku masih mencintainya seperti dulu. Atau mungkin dia pikir bisa memperdayaku dan membunuhku dengan tipu muslihatnya. Dia masih saja naïf seperti dulu.”

“Bahkan bila kau tahu dia akan menggiringmu dalam kematian apakah kau akan mempersembahkan jiwamu di atas nampan?”

Cukup. Kali ini ucapan Slakve tua itu kelewatan. “Tua bangka!!”

“Kukira sampai di sini pengabdianku, Peter. Tak sanggup kuteruskan hidup untuk melihat kehancuran akibat keserakahanmu. Kutuntaskan semua hutangku padamu. Hutang untuk melindungi keluargaku dari kekejaman Bjork di masa pemberontakan dulu. Hutang untuk menjaga Zyreth. Juga hutang telah menyelamatkanku dari mantra Feamremorphia. Kukembalikan semua yang kupinjam darimu, agar tubuhmu yang lemah segera pulih dan mampu menghadapi perang besar itu sendiri. Tiada gunanya semua visiku bila itu tak bisa mengubah takdirmu,” ujarnya sendu.

Lalu kilatan-kilatan biru berkelebatan di hadapanku. Butuh beberapa detik saja untuk menjadikan dia abu.

“Zorphaaaaaaaaan!!” Teriakanku bergaung ke seluruh ruangan. Mataku nanar memandang pedang yang tergeletak di atas tumpukan debu. Sinarnya yang berwarna biru berpendar semakin terang, menandakan kekuatanku telah pulih seperti sediakala. Ah, apapun yang terjadi kini harus kuhadapi sendiri. Dasar Slakve tua bangka siaaaaal!!!


Credit

Tempat itu bernama Lembah kematian. Sebuah tempat yang sempurna untuk pembantaian. Kuyakini benar bukan hari ini akhir dari hidupku. Slakve tua itu benar, bukan visinya yang bisa menyelamatkanku, melainkan diriku sendiri. 

Udara di sini masih terasa ringan, tanda aman dari pengaruh sihir putih. Latar semburat warna-warni menghiasi langit di ujung dini hari, menambah sikap awasku. Kutegakkan badan dan kujejakkan kaki bersiaga ketika kutangkap sesosok tubuh wanita mendekat dari balik asap. Akhirnya dia datang juga, wanita yang dulu selalu kurindukan….

“Stephania”

Wajahnya yang cantik seperti ditelan murka. Inilah wajah sang Ruh yang dulu memikatku dan menjatuhkanku dalam luka. Luka karena dia memilih setia pada jiwa yang didampinginya. Luka yang membakar dendamku dan membuatku gelap mata.

“Sudah kuduga kau akan memakai segala cara untuk menghancurkan Keyra. Rupanya begitu kronisnya kebusukan hatimu menjalar. Aku tak peduli kau dari jenis Bjork atau Ennearhg. Tujuanku kali ini untuk mengakhiri semuanya. Semuanya Peter!”

Seulas senyum licik tersungging di bibirku. Datanglah cinta, menjemput mautmu. Tak ada yang tahu bahwa ada sebuah rahasia tentang mantra Feamremorphia. Sebuah rahasia yang kutahu dari Zorphan, dan kupegang erat sebagai kunci untuk memusnahkan wanita yang dulu kupuja ini.



Bagian ke-11 bisa dibaca di sini.



Bagian ke-12 bisa dibaca di sini.