Aku tak pernah tahu apa yang ada di ruangan
itu. Aku tak pernah tahu apa yang dia lakukan di ruangan itu. Aku tak pernah
tahu apa yang membuatnya histeris, menangis, bahkan kadang tertawa sekencang
itu. Aku bahkan tak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya. Meski kami hidup
serumah tetapi rasanya seperti orang asing, bertemu dan berlalu begitu saja.
Interaksi kami hanya ketika waktu makan tiba, saat
aku menyajikan hidangan untuknya. Dia bahkan tak memperbolehkanku mengambilkan
nasi dan lauk di piringnya. Cih! Suami macam apa itu? Awalnya aku merasa
tersinggung tapi lama kelamaan merasa lega karena merasa bebanku terangkat. Dari
awal aku memang tidak menyukai perjodohan ini. Setelah menjalani hampir setahun
rasanya tak perlu mengharapkan apa-apa lagi. Jangankan perhatian, obrolan
hangat pun tak pernah kudapatkan. Sepanjang kebutuhanku dan keluargaku
terpenuhi, sepertinya aku tak perlu merasa rugi.
Malam itu aku bersiap ke peraduanku, ketika tiba-tiba....
Brakk! Brukk! Seperti suara sesuatu yang dibanting!
Instingku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Gegas aku berlari ke arah ruangan itu. Kugerak-gerakkan kenop pintu. Mendengar tak ada suara lalu kugedor-gedor daun pintunya.
Brakk! Brukk! Seperti suara sesuatu yang dibanting!
Instingku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Gegas aku berlari ke arah ruangan itu. Kugerak-gerakkan kenop pintu. Mendengar tak ada suara lalu kugedor-gedor daun pintunya.
“Mas! Mas!”
Tetap tak ada suara. Aku bertambah panik. Gedoranku
semakin kuat.
“Maaaas! Buka Mas!!”
Aku ingat ada kunci cadangan di laci lemari! Tubuhku
melesat kembali ke kamar.
Gemetar tanganku tak berhasil mencari kunci
kamar itu. Aku lupa itu kamar rahasia, jadi bisa saja tak ada kunci cadangan. Segera
kucari linggis di ruang penyimpanan perkakas. Ah, ini dia!
Butuh waktu agak lama bagiku mencongkel daun
pintu. Berkali-kali kucoba hingga akhirnya berhasil! Pintu besar itu terbuka
perlahan. Pemandangan di baliknya membuatku ternganga….
Meja dan kursi yang terbalik. Barang-barang berantakan : palet, kuas, kayu penyangga lukisan yang patah, dan lukisan-lukisan! Semuanya lukisan wajah seorang wanita yang sama. Lukisan-lukisan itu terserak dengan bingkai yang hancur. Yang membuatku lebih heran adalah sosok
tubuh itu. Sesosok tubuh yang terdiam di belakang jendela. Pandangannya mengarah
ke luar, melewati kaca yang buram.
“Akhirnya kau berhasil masuk juga,” suaranya
dingin memecah jeda.
Aku menghela napas. Tak berani menjawab. Aku sadar
telah melanggar janjiku dulu untuk menjauhi ruangan ini.
“Sudah kupenuhi semua kebutuhanmu. Apakah membiarkanku
sendiri di ruangan ini pun tak bisa kau penuhi?” nada suaranya sinis mengiris
hatiku.
Aku tak tahan lagi. “Kau pikir aku bahagia
selama ini Mas? Jadi patung di rumahku sendiri? Melewati malam sepi di atas
ranjang yang dingin? Hampir setahun dan bahkan aku masih tetap perawan!”
akhirnya kumuntahkan semua kebencianku padanya.
“Tinggalkan aku sendiri,” titahnya dingin.
“Apakah karena kau belum bisa melupakannya Mas?
Cinta pertamamu itu? Itukah kenapa setiap malam kau selalu menghabiskan waktu
di sini? Melukis wajahnya dan mencumbui bayangnya setiap waktu? Tak adakah
sedikit ruang hatimu untukku?” teriakku getir.
“Kau takkan bisa menggantikannya. Takkan ada
yang bisa. Dia menerimaku saat dulu mataku buta dan tak seorangpun rela
menerima. Dia bahkan melengkapiku ketika ajalnya tiba dengan mendonorkan
matanya. Ya, mataku ini adalah matanya! Wanita yang kau cemburui itu.”
“Baik Mas, kalau begitu tak perlu aku melihat
mata itu lagi. Agar tak perlu seumur hidup ku membenci….”
Kuhunjamkan linggis ke kedua mataku. Semburan darah
mengucur dari situ.
Sumber |
Jumlah kata : 499 kata
duh, ngeriiiiii....
BalasHapusbtw, linggis kan berat ya. ujungnya pun melengkung. apa gk susah untuk ditancapkan di mata sendiri?
apalagi jika di kedua mata, itu berarti menancapkannya bergantian begitu?
setuju sama Anin. sekalipun linggis yang ukuran kecil, rasanya ujungnya terlalu tumpul buat ditancapkan di mata. agak aneh kalau bisa langsung ada semburan darah mengucur.
HapusMbak Anin dan Mbak Vanda, setelah saya gugling ternyata bentuk linggis itu ada yang ujungnya lurus dan tajam sehingga dia punya dua bentuk ujung yang beda dan keduanya tajam. Jadi saya tidak edit ya, heheee
Hapuswkwkkwkw..ceritanya lucu mbak..
BalasHapusLoh, malah lucu? Hehehe.... >.<
HapusEw...syerem sekaliii....
BalasHapusTrims sudah baca dan komen :)
HapusDari awal ceritanya menurut Bunda sudah bagus, bikin pertanyaan bergelayut "kenapa ya". Tapi ketika linggis berbicara? Yah, jadi sedikit aneh aja, Ummu. Kenapa begitu bodoh itu perempuan ya. Udah tau hati lelaki itu ltidak ada padanya, tinggallin aja dia. Beres! hehe... Atau mungkin supaya bikin hati si lelaki jadi gusar, kecewa dan panik, ya 'commit a suicide' aja di depannya. Ini sekedar komentar ya.
BalasHapusBetul sekali Bunda...itu maksud saya. Komentarnya tepat sekali bisa menangkap maksud saya. Cuma soal linggis itu saya memang tidak yakin benar setelah membaca komen2 di atas. Hehehe
HapusTrims sudah singgah ya :)
kirain si linggis akan berakhir di lambung. entah lambung si suami atau si istri.
BalasHapusSepertinya itu lebih sadis yah, saya tak tega :)
HapusLagipula saya harus menulis dengan image ini, yang mana jelas melibatkan mata
Trims sudah komen dan singgah ya :)
pernikahannya dijodohkan ya? tak ada cinta kenapa ga cari yang lain? knp melukai diri sendiri?
BalasHapusSepertinya begitu. Inilah tipe orang yang tak mau usaha berjuang mengubah hidupnya. Oportunis dan mudah tersulut emosi sesaat.
HapusTrims sudah mampir dan komen ya :)
suka sama ceritanya mbak. :)
BalasHapusBenarkah? Padahal saya tak terlalu yakin dengan cerita ini, hehe. Trims mbak, saya juga selalu suka sama cerita2 mbak gloria :)
HapusSelalu inspiring....
Salam kenal ya :)
wah mbak , agak serem membayangkan linggis mencongkel matanya >_<
BalasHapusJangan dibayangkan mbak, saya aja gak berani :)
HapusTrims sudah singgah ya!