Minggu, 13 September 2020

Memintal PPN dari Ekonomi Digital

Per 1 Juli 2020, pemerintah mengenakan PPN atas pemanfaatan produk dan/atau jasa digital dari luar negeri sebesar 10% dari nilai yang dibayarkan oleh konsumen dalam negeri. PPN jenis barukah ini?

Selain menganut negatif list, negara kita juga menganut prinsp destinasi yang berarti PPN dipungut atas konsumsi yang dilakukan di dalam yurisdiksi negara tempat terjadinya konsumsi.

Dalam Pasal 3A angka (3) UU PPN, tanggung jawab pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN diamanatkan kepada orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau jasa dari luar daerah pabean. Aturan teknisnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40/PMK.03/2010 dan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010.

Penetrasi internet yang tinggi merupakan pemicu meluasnya penggunaan barang dan jasa digital dari luar negeri. Sayangnya, tak semua konsumen Indonesia memahami dan melaksanakan kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN tersebut. Kondisi ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara. Dikutip dari media massa, potensi ekonomi digital di Indonesia bisa mencapai Rp10,4 triliun.

Seiring dengan perkembangan zaman, jenis produk dan jasa digital semakin beragam. Aturan di atas belum memerinci jenis BKP tidak berwujud dari luar negeri, serta belum memberikan penegasan atas objek pajak berupa produk dan jasa digital. Padahal terdapat isu terkait keadilan dalam berusaha (level of playing field) antara pengusaha produk dan/atau jasa digital dari dalam dan luar negeri sehingga perlu diterbitkan regulasi agar tercipta kesetaraan dalam berbisnis sekaligus menutup celah kebocoran potensi PPN.

Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020, pemerintah memberikan amanat kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pengusaha luar negeri yang memenuhi syarat sebagai Pemungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Melalui PMK Nomor 48/PMK.03/2020, Menteri Keuangan melimpahkan wewenang penunjukan Pemungut PPN PMSE kepada Direktur Jenderal Pajak, sekaligus menentukan kriteria dan syarat bagi pengusaha luar negeri untuk ditetapkan sebagai Pemungut PPN PMSE. 

Kriteria tersebut tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor 12/PJ/2020, yakni nilai transaksi konsumen Indonesia melebihi Rp600 juta dalam dua belas bulan atau Rp50 juta dalam sebulan dan/atau jumlah pengakses dari dalam negeri melebihi 12 ribu dalam dua belas bulan atau seribu dalam satu bulan.

Kriteria ini bukan tanpa sebab, selain pertimbangan efektivitas biaya kepatuhan pajak dibandingkan dengan potensi pajak, terdapat juga alasan kemudahan berusaha bagi pengusaha luar negeri yang masih berstatus perintis dan belum melewati ambang batas yang ditetapkan.

Namun, jika pengusaha luar negeri yang belum ditunjuk melakukan pemberitahuan ke DJP, maka pengusaha tersebut dapat ditetapkan sebagai Pemungut PPN PMSE.

Untuk menarik minat calon Pemungut PPN PMSE dan meningkatkan kepatuhan Pemungut PPN PMSE yang ditunjuk, kemudahan dan simplifikasi adalah semangat yang diusung beleid tersebut.

Pemungut PPN PMSE tidak perlu menerbitkan faktur dan cukup menggunakan format yang selama ini digunakan sebagai bukti pungut PPN. Pemungutan dilakukan mulai awal bulan berikutnya setelah Pemungut PPN PMSE mendapat surat penunjukan.

Terkait dengan pelaporan dilakukan secara elektronik per tiga bulan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir. Laporan paling sedikit memuat jumlah pembeli, jumlah pembayaran, jumlah PPN yang dipungut, dan jumlah PPN yang telah disetor untuk setiap Masa Pajak. Apabila diperlukan, DJP dapat meminta Pemungut PPN PMSE untuk menyampaikan laporan rincian transaksi yang dipungut untuk setiap periode satu tahun kalender. 

Dalam hal pelaku usaha luar negeri bertransaksi melalui Penyelenggara PMSE (PPMSE) baik luar maupun dalam negeri, PPN dapat dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh PPMSE luar atau dalam negeri yang telah ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE.

Istilah PPMSE sebelumnya telah diatur dalam PP 80 Tahun 2019 yaitu pelaku usaha penyedia jasa komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. Model bisnis PPMSE antara lain, ritel daring atau pedagang yang memiliki sarana PMSE sendiri; marketplace atau penyedia platform; iklan baris daring; platform pembanding harga; dan daily deals

Dengan demikian, regulasi ini mengatur bukan hanya untuk skema bisnis ke konsumen (B2C) tetapi juga bisnis ke bisnis (B2B). Salah satu implikasinya adalah bukti pungut yang diterbitkan Pemungut PPN PMSE merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak.

Menariknya, dalam Perdirjen Nomor 12/PJ/2020 dinyatakan bahwa apabila telah dilakukan pemungutan PPN oleh Pemungut PPN PMSE sedangkan konsumen domestik telah memungut dan menyetorkan PPN yang terutang sesuai ketentuan UU PPN, maka atas PPN yang disetor sendiri tersebut dapat diajukan permohonan pemindahbukuan, diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, dikreditkan dengan Pajak Keluaran bila memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan, atau dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan yang mengatur penghitungan kena pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan.

Ada kutipan masyhur yang menyebutkan “Setan tersembunyi di celah-celah detil,” kita tak boleh lengah dari hal renik yang kadang terlupa. Masih tersemat tugas mengedukasi konsumen dalam negeri yang memanfaatkan produk dan/atau jasa digital yang sebenarnya terutang PPN namun belum dilakukan pemungutan karena bertransaksi dengan pengusaha luar negeri nonpemungut PPN PMSE. Hal ini tetap perlu dilakukan untuk memintal pajak dari potensi ekonomi digital, tentu saja agar semakin optimal.

Editor:Ilham Fauzi

Catatan: Artikel ini telah tayang perdana di Majalah Digital Intax DJP Edisi 2/2020.

Selasa, 08 September 2020

Prolegomena

Tak pernah ada yang menyangka bahwa kapal-kapal dari Genoa yang berlabuh di hulu Sungai Don, tepi Laut Hitam itu dihuni oleh penumpang gelap yang tak kasat mata: kutu-kutu di tubuh tikus geladak. Mereka menyebarkan wabah mematikan yang belum pernah melanda Eropa pada awal abad ke-14. Ditemukan bercak hitam dan memar-memar di lengan, paha, dan bagian tubuh lain para penderita.

Hal itu seketika menjadi momok yang menghantui masyarakat. Separuh dari total populasi penduduk Inggris lenyap dalam waktu singkat mengakibatkan kelangkaan tenaga petani. Kala itu, para tuan tanah Inggris mengandalkan pengelolaan lahannya pada mereka. Para pekerja yang masih hidup merasa memiliki posisi tawar yang tinggi dan berani menuntut perubahan.

Wabah yang dikenal sebagai “Black Death” itu bukan hanya menewaskan pesakitan, tetapi juga kelanggengan sistem feodalisme. Para petani di Eynsham Abbey menuntut agar sistem kerja tanpa upah dan berbagai pungutan yang dibebankan pada mereka dikurangi. Walhasil, mereka menang dan gerakan ini menular ke seluruh Inggris. Hanya butuh beberapa tahun hingga Revolusi Petani meletus pada tahun 1381.

Menariknya, wabah yang sama rupanya memberikan dampak yang berbeda di Eropa Timur. Kelangkaan tenaga kerja menyebabkan para tuan tanah memperluas lahan dan menambah pungutan pajak bagi kaum petani. Penderitaan mereka makin menjadi-jadi sebab kaum feodal di Eropa Timur justru bersatu dalam mengantisipasi gerakan kaum pekerja.

Sejarah punya caranya sendiri untuk memilin takdir. Sebuah bencana yang melanda suatu wilayah ternyata memberikan akhir kisah yang berbeda antara satu kaum dengan kaum lain. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Hebat Itu Luka

Tak banyak yang tahu, wabah itu menyebabkan seorang pemuda tujuh belas tahun menjadi yatim piatu. Bapak ibunya termasuk di antara dua ratus juta orang yang terenggut nyawanya, saat populasi penduduk dunia tak sampai lima ratus juta.

Tak lama kemudian, kakaknya yang bernama Yahya Khaldun dibunuh oleh pesaingnya dalam sebuah intrik yang kotor. Kemalangan itu seakan belum cukup, kakak ipar dan keponakannya tewas dalam kecelakaan kapal laut menuju Mesir.

Yang menakjubkan, pemuda itu tetap kokoh layaknya batu karang. Ia tumbuh bersama hapalan kitab suci yang menghunjam dalam dada sejak berumur enam tahun. Dengan bekal itu ia mengabdi pada Sultan Mamluk sebagai hakim dan guru.

Posisinya yang penting membukakan jalan untuk menjadi birokrat sekaligus ilmuwan. Ia piawai memotret sejarah yang disaksikannya selama memangku jabatan dan menuangkannya dalam kitab Al-‘Ibar yang bercorak sosiologis-historis dan filosofis. 

Bab yang sering dirujuk oleh para ekonom adalah Muqaddimah atau Pendahuluan. Salah satu sumbangsihnya pada ilmu perpajakan modern adalah Kurva Laffer. Arthur Laffer sendiri tak segan-segan menyebut nama cendekiawan bernama asli Abd Ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun itu sebagai sumber inspirasinya.

Ia menyatakan bahwa di awal lahirnya sebuah negara, penerimaan pajak besar didapatkan dari tarif yang rendah. Namun, menjelang kehancurannya, penerimaan pajak kecil didapatkan dari tarif yang tinggi. “Bila pajak rendah, rakyat akan lebih aktif berusaha,” adalah kutipannya yang mahsyur dan memberikan pondasi bagi kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada sisi pasokan (supply side economy).

Selain meninggalkan warisan ilmu di bidang perpajakan, ekonomi, sosial, politik, kependudukan, dan pemerintahan, Ibnu Khaldun juga meletakkan pondasi studi filsafat sejarah modern. Ia berpendapat bahwa bilamana perasaan senasib dan sepenanggungan telah hilang dari sebuah negara, maka hanya menunggu waktu menuju kehancurannya.

Kekuatan Persatuan

Perasaan senasib dan sepenanggungan adalah salah satu modal dasar kelanggengan sebuah negara. Sejarah negara terbangun tak hanya dari sisi lahiriah saja melainkan juga sisi batiniah. Hal-hal semacam watak masyarakat, tingkatan dalam masyarakat, pemberontakan, revolusi, dan solidaritas antargolongan merupakan konsep-konsep yang dikenalkannya kepada dunia.

Konsep itu -berabad-abad kemudian- mampu membuka tabir kenapa sebuah peristiwa dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada beberapa kaum dalam sebuah bangsa. Dalam contoh wabah Maut Hitam misalnya, di Eropa Barat kaum proletar bersatu melawan hegemoni kaum borjuis, sedangkan di Eropa Timur sebaliknya, tuan tanah saling bersekutu sehingga tirani semakin melestari.

Dalam tatanan global, sebuah katastrofe atau bencana besar dapat menyebabkan percabangan sejarah yang menumbuhkan perbedaan watak sebuah bangsa atau bahkan meletusnya sebuah revolusi. Dalam lingkup seorang anak manusia, bencana itu bisa jadi sebuah kiamat yang mengakhiri semangat hidupnya dalam melanjutkan kehidupan.

Kecuali bagi mereka yang bersabar dan teguh menanti hikmah di balik setiap kehilangan. Ibnu Khaldun telah kehilangan segalanya. Namun, pada akhirnya ia mampu memberikan warisan ilmu yang tak terpermanai sebagai hadiah peradaban.

Mungkin memang benar perkataan seorang bijak, orang hebat tidak lahir dalam kemudahan dan kenyamanan melainkan dibentuk dari tempaan kehilangan, kesulitan, dan air mata.

Editor: Devi Isnantiyasari

Catatan: Artikel ini telah tayang perdana di Majalah Digital Intax DJP Edisi 2/2020.

Jumat, 07 Agustus 2020

Aplikasi e-Bupot 23/26: Mendorong Transformasi Digital Perpajakan

Mulai Agustus 2020, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama wajib menggunakan aplikasi e-Bupot 23/26 untuk membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26. Aplikasi ini adalah salah satu inovasi di bidang teknologi informasi yang bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak, menjamin kepastian hukum, mengawal akurasi data perpajakan, dan meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak.

Tahap pertama aplikasi e-Bupot 23/26 dimulai pada September 2017 yang diujicobakan pada 15 wajib pajak terpilih. Sejak itu, penggunaan aplikasi ini terus bertambah dan memasuki Tahap VI per Agustus 2020. Menurut rencana, pada September 2020 nanti implementasinya akan diperluas untuk seluruh Pemotong PPh Pasal 23/26 non-PKP yang terdaftar di KPP se-Indonesia.

Selama ini, pelaporan elektronik SPT PPh Pasal 23/26 belum diakomodasi oleh laman DJP sehingga sebagian besar wajib pajak masih perlu mengantre di KPP untuk melaporkannya secara langsung atau mengirimkan via pos. Kini, dengan aplikasi yang berbasis web, wajib pajak dapat mengaksesnya di mana pun selama terhubung dengan internet. Aplikasi ini didesain untuk memudahkan Pemotong Pajak dalam menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23, membuat kode billing pembayaran pajaknya, sekaligus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 dalam satu program.

Sistem ini juga menjamin kepastian hukum terkait status dan keandalan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26. Dengan pembuatan Bukti Pemotongan melalui aplikasi, data akan lebih mudah divalidasi dan akurasinya makin meningkat.

Sebagai contoh, bila Pemotong Pajak bertransaksi dengan lawan transaksi yang tidak mempunyai NPWP maka wajib memasukkan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada aplikasi untuk dilakukan validasi. Apabila NIK tersebut tidak valid, maka Bukti Pemotongan tidak dapat dibuat. Dengan demikian, data dipastikan akurat dan mencegah praktik penghindaran pajak dengan modus penggelapan omzet.

Ini merupakan komitmen Kementerian Keuangan dalam melakukan proses transformasi digital di bidang perpajakan. Ciri dari transformasi digital sendiri adalah bagaimana sebuah sistem dibangun secara natural mengikuti masa transaksi yang sebenarnya, sehingga dapat diketahui lebih awal berapa nilai transaksi yang menjadi dasar pengenaan pajak dan nilai pajak yang telah dipotong.

Selain itu, dapat segera diketahui berapa nilai pajak yang seharusnya dipotong dan apakah perhitungannya sudah benar. Sistem yang baik seharusnya mampu mendeteksi apakah nilai yang disetorkan telah sesuai dengan hal tersebut sehingga apabila terdapat kesalahan dalam pembayaran atau terjadi kecurangan dapat segera diambil tindakan.

Dengan adanya konsep sistem digital, jeda dalam pengumpulan data perpajakan yang sering ditemui dalam sistem manual akan semakin menipis, tergantikan dengan data akurat yang dapat diakses secara riil baik oleh wajib pajak maupun oleh otoritas pajak.

Selain mendorong pemenuhan prinsip kepastian hukum, sistem digital juga membantu memenuhi prinsip kelayakan dalam membayar. Sebab, data yang dikumpulkan lebih awal dapat memberikan gambaran nyata terkait kondisi bisnis wajib pajak sehingga tindakan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan pajak dapat dilakukan secara optimal, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai kemampuan membayar.

Tiga Karakteristik Sistem Digital

Aplikasi e-Bupot 23/26 sebagai salah satu produk transformasi digital berupaya untuk menangkap transaksi wajib pajak dengan aman dan data yang kredibel. Isu kredibilitas ini begitu penting sebab digitalisasi perpajakan berjalan baik apabila memenuhi tiga karakteristik.

Pertama, bagaimana sebuah sistem dapat melakukan autentikasi atau identifikasi wajb pajak yang sesungguhnya mempunyai kewenangan perpajakan. Pada sistem manual, hal ini ditandai dengan tanda tangan basah dan/atau cap stempel yang tertera pada dokumen. Namun, dalam e-Bupot 23/26, peranan tersebut digantikan oleh sertifikat digital sehingga memastikan pengajuannya dilakukan oleh yang berhak adalah sebuah keharusan.

Selain autentikasi, sistem harus dapat memastikan aplikasi dijalankan oleh pihak yang benar-benar memperoleh otorisasi penggunaan. Dalam hal ini, sistem otorisasi diwakili oleh tanda tangan digital atau passphrase yang dibuat sendiri oleh wajib pajak dan bersifat rahasia. Hal ini menutup celah terjadinya penyangkalan terhadap produk aplikasi (Bukti Pemotongan dan/atau SPT Masa PPh Pasal 23/26) yang dapat dilakukan wajib pajak di kemudian hari. Dengan demikian, konflik antara wajib pajak dengan aparat fiskus akibat keraguan terhadap kredibilitas pengguna aplikasi dapat dihindari.

Kedua, otomatisasi yang optimal sehingga tidak terjadi salah input data nilai, tarif, perhitungan, identitas lawan transaksi, dan menjamin kualitas data yang direkam. Wajib pajak tidak akan dapat menerbitkan Bukti Pemotongan atau melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 apabila terdapat pengisian kolom atau kelengkapan dokumen yang belum dipenuhi. Aplikasi e-Bupot23/26 juga dapat mengidentifikasi bilamana nomor Surat Keterangan Bebas atau Surat Keterangan Domisili yang direkam tidak valid sehingga wajib pajak harus mengecek keabsahan dokumen tersebut.

Ketiga, mampu membantu otoritas pajak dalam memutuskan tindakan terhadap wajib pajak secara kondisional atau sesuai dengan kondisi wajib pajak yang sebenarnya. Hal ini bergantung pada penggunaan aplikasi yang meluas, sehingga perbedaan data Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26 antara wajib pajak dengan petugas pajak dapat semakin diminimalkan.

Kesuksesan fase implementasi aplikasi ini membutuhkan komitmen banyak pihak dan bukan semata-mata pekerjaan otoritas pajak. Wajib pajak juga perlu menyadari bahwa serangkaian prosedur yang disyaratkan dalam penggunaan aplikasi bertujuan untuk melindungi data wajib pajak sendiri.

Selain itu, kemudahan yang ditawarkan menghindarkan wajib pajak dari pemborosan waktu menanti antrean. Jaminan kepastian hukumnya juga menyelamatkan wajib pajak dari potensi konflik baik dengan lawan transaksi maupun dengan otoritas pajak di kemudian hari.

*)Artikel ini telah ditayangkan pada APBN KiTa edisi Juli 2020.

Rabu, 29 Juli 2020

Toko Ritel Online, Wajibkah Membuat Faktur Pajak?

Saat ini, transaksi perdagangan elektronik telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Data Bank Indonesia mencatat, di tahun 2019 jumlah transaksi perdagangan daring setiap bulannya mencapai Rp13 triliun.

Bahkan, menurut McKinsey, nilai total belanja daring di Indonesia diprediksi mencapai USD65 miliar pada tahun ini atau setara dengan kurang lebih Rp910 triliun. Ini tentu sebuah angka yang fantastis mengingat besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan III 2019 mencapai Rp4.067,8 triliun. Artinya, transaksi perdagangan elektronik mempunyai peranan yang sangat penting dalam menopang dan menggerakkan perekonomian negara kita.

Dalam bahasan terkait perpajakan, terdapat empat model transaksi perdagangan elektronik, yaitu online marketplace, classified ads, daily deals, dan online ritel. Dalam lingkup kegiatan online ritel atau toko ritel daring sendiri terdapat empat elemen yang terkait yaitu: situs toko ritel, penyelenggara situs toko ritel, pembeli atau pelanggan, dan sistem pembayaran yang ditetapkan oleh penyelenggara situs.

Untuk menjamin keadilan usaha (level of playing field), wajib pajak penyelenggara situs toko ritel yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga mempunyai kewajiban untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pembeli sama seperti dalam perdagangan konvensional. Namun, dalam praktiknya, timbul pertanyaan terkait ketentuan yang mengatur tata cara penerbitan dan penatausahaan Faktur Pajak (FP) pajak pada toko ritel daring.

Aturan PKP Pedagang Eceran Konvensional

Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang ritel dan mempunyai klasifikasi usaha sebagai pedagang eceran ketika mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) disebut sebagai Pedagang Eceran (PE) apabila dalam kegiatan usahanya melakukan kegiatan dengan karakteristik tertentu. 

Karakteristik ini disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 20 ayat (2) yaitu: melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya; dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.

Akibat karakteristik tersebut, jumlah transaksi penyerahan barang yang dilakukan oleh PKP PE relatif banyak dengan nilai relatif kecil sehingga PE mengalami kesulitan apabila diperlakukan sama seperti PKP lainnya dalam pembuatan dan penatausahaan FP. Oleh karena itu, untuk memberikan kemudahan dalam berusaha dan kepastian hukum, PKP PE diberikan aturan khusus dalam membuat dan menatausahakan FP.

Peraturan yang secara khusus mengatur hal tersebut adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-58/PJ/2010 tentang Bentuk dan Ukuran Formulir Serta Tata Cara Pengisian Keterangan Pada Faktur Pajak Bagi PKP Pedagang Eceran. Dalam Pasal 2 Perdirjen tersebut disebutkan bahwa PKP PE wajib membuat FP untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). 

Selanjutnya, diatur tentang jenis FP yang dibuat oleh PKP PE dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Bentuk dan ukuran formulir FP tersebut disesuaikan dengan kepentingan PKP PE dan pengadaannya dilakukan oleh PKP PE.

Sejak 1 Januari 2011, FP yang dibuat oleh PKP PE ini dilaporkan di SPT Masa PPN Formulir 1111 AB di kolom I.B.2 yaitu di kolom Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak yang Digunggung. Faktur Pajak yang Digunggung adalah FP yang tidak diisi dengan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka (2) UU KUP. 

Khusus untuk PE, dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 20 ayat (1) diatur bahwa PE yang membuat FP tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 UU KUP.

Bagaimana dengan PKP PE Daring?

Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat sistem perdagangan berubah drastis. Jarak antara penjual dan pembeli hanya berbatas gawai dan kuota internet. Pengelola toko ritel daring yang berstatus PKP PE kini lebih dimudahkan dalam membuat FP sebab data yang dibutuhkan untuk membuat FP sebagaimana dimaksud dalam PER-58/PJ/2010 telah disediakan oleh sistem daring yang canggih. 

Kini, untuk pelaporan nilai Faktur Pajak yang Digunggung pada SPT Masa PPN Formulir 1111 AB di kolom I.B.2 pun dapat dilakukan dengan lebih mudah. Wajib pajak hanya perlu merekapitulasi data transaksi dari sistem data FP yang dibuat oleh PKP sendiri dan menjumlahkan nilainya untuk dilaporkan pada aplikasi efaktur.

Sejauh ini belum ada peraturan teknis yang secara eksplisit mengatur tentang kewajiban PKP PE daring ini. Petunjuk khusus terkait pembuatan faktur dan penatausahaan PKP PE yang berlaku masih merujuk pada bentuk PE konvensional yang mensyaratkan adanya keberadaan fisik seperti toko atau kios yang mempertemukan antara penjual dengan konsumen akhir.

Selain itu, cara penjualan eceran konvensional yang tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang, dan dilakukan secara tunai, kemungkinan besar tidak selalu terpenuhi dalam sistem transaksi daring. Saat ini, pembeli dapat memesan barang melalui situs atau aplikasi sosial media dan pembelian dapat dilakukan melalui kartu kredit, transfer melalui rekening yang ditunjuk oleh pengelola situs, atau penyedia jasa layanan keuangan daring lainnya. 

Menurut penulis, sebaiknya aturan teknis yang mengatur penerbitan dan penatausahaan FP bagi toko ritel daring perlu diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dibutuhkan untuk menjamin kepastian hukum dan kesetaraan level dalam berusaha. Sehingga, para pemilik toko ritel daring akan makin terdorong untuk lebih patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.


*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. Artikel ini sebelumnya telah tayang di sini.


Sabtu, 18 Juli 2020

Rahasia yang Bukan Rahasia Lagi

Mengapa saya menulis? Ini pertanyaan menarik sebab membuat ingatan saya terlempar ke beberapa tahun silam saat mula-mula menulis di blog ini. Setelah menengok rekam jejak digital, rupa-rupanya saya mulai jadi pengeblog sejak tahun 2013.

Kala itu saya sedang giat-giatnya ikut Monday Flash Fiction, sebuah komunitas penulis fiksi mini. Saya tak mahir menulis fiksi, nonfiksi pun tidak. Saya gabung di grup itu karena kagum dengan karya para anggotanya. 

Menulis cerita fiksi yang dibatasi ketentuan tak lebih dari seribu karakter sungguh menantang. Apalagi, grup itu memberikan tantangan tiap pekan dengan tema yang beragam. Saya jadi mengenal beberapa genre fiksi.

Singkat cerita, di tahun 2015 komunitas itu menggelar kompetisi bertajuk Monday Flash Fiction Idol 2. Di ajang itu, alhamdulillah saya menyabet posisi runner-up. Karya sepuluh besar finalis lalu dibukukan dan terbit setahun kemudian. Saya dan dua kawan lain mendapat kesempatan menjadi ilustrator antologi itu.

Menulis dan menggambar adalah dua hal yang saya sukai. Selain fiksi, saya juga suka menulis puisi. Maka, blog saya seperti gado-gado. Fiksi, gambar, dan puisi tercecer di situ. Benar-benar menunjukkan kepribadian saya yang tak teratur.

Selain karya di atas, saya sesekali bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Karena punya dasar menulis fiksi, saya lebih nyaman menulis feature daripada opini. Beberapa kejadian yang menyentuh atau kegiatan kantor yang menarik saya abadikan dalam bentuk artikel.

Awalnya untuk catatan pribadi saja. Namun, ada satu momentum yang mengubah dominasi tema tulisan saya. Momentum itu bernama Amnesti Pajak. Saya pernah menulis artikel sederhana bertema ini. Ternyata pembacanya menembus angka tiga puluh ribu, yang komentar juga banyak.

Saya baru menyadari bahwa warganet sangat haus informasi tentang hal ini. Waktu itu saya belum tahu kalau ada sistem SEO (search engine optimization). Yang saya pahami, bila kita menulis suatu tema yang banyak dicari peselancar dunia maya, secara organik blog akan banyak dikunjungi.

Sejak itu saya banyak menulis tentang pajak, terutama tema-tema baru yang belum populer diketahui masyarakat. Pengunjungnya lumayan, kadang bisa di atas seribu. Menurut saya ini lebih efektif daripada harus konsultasi atau sosialisasi langsung yang target audiensnya terbatas.

Suatu ketika, saya nekat menemui salah seorang pejabat pengelola situs web pajak, Pak Riza Almanfaluthi. Kebetulan sekali, beliau juga pengeblog dan penulis andalan institusi tempat saya bekerja. Saya sering belajar dari blognya cara menulis yang baik.

Dari pertemuan itu, beliau mengundang saya untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Pelatihan pertama berlangsung di bulan September 2017. Saat itu, saya belajar cara menulis berita dan opini. Salah satu pembicaranya adalah jurnalis senior bernama Wiyoso Hadi. Sampai sekarang, dua nama itu adalah guru yang sangat berjasa dalam perjalanan menulis saya.

Sejak itu pula saya mulai rajin menulis di web pajak. Belakangan, saya suka mengirim artikel opini di koran. Menulis opini mempunyai tantangan tersendiri, selain pondasi argumentasi harus kokoh, riset yang kuat juga menjadi nilai plus. Maka, menulis satu artikel bisa menguras energi beberapa hari.

Kadang kelelahan itu saya imbangi dengan menggambar atau berpuisi. Menulis fiksi kadang masih saya lakukan, tapi sudah sangat jarang. Ada yang bilang kalau sudah terbiasa menulis nonfiksi maka akan kesulitan menulis fiksi, sebab kehilangan feel-nya.

Haha. Bisa jadi. Seperti pisau, kalau tidak diasah maka kemampuan menulis fiksi akan tumpul. Menulis mau tak mau menjadi kebutuhan, bukan sebuah kewajiban. Menulis karena ingin, bukan karena harus. Agar tulisan itu jernih menggambarkan pikiran sang penulis, sekaligus jujur mengisahkan pandangannya terhadap dunia.

Perjalanan blog ini sendiri menggambarkan perubahan tujuan menulis saya. Yang tadinya menulis hanya untuk kesenangan pribadi, tempat menumpahkan ekspresi, kini jadi kanal informasi bagi lebih banyak orang. 

Meski masih seperti gado-gado, saya belum terpikir untuk merapikannya. Mungkin karena saya ingin dikenal apa adanya, atau karena malas saja. Yang jelas saya belum malas kok untuk mencurahkan pikiran. Sebab menurut saya, berpikir saja tak cukup menunjukkan keberadaan kita.

Akan ada masa nama kita tak lagi dikenang, jasad menjadi debu, dan perbuatan kita dilupakan. Tapi yang tertulis dan menginspirasi, akan selalu abadi. Lalu, mengapa tak mulai menulis?

*Tulisan ini disertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Insitute

Tips berbicara daring? Baca di sini ya!

Minggu, 12 Juli 2020

Menoreh Asa di Bumi Moluku Kie Raha


Di tahun 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Anies Baswedan, pernah berkata, “Sebagai orang tua jangan tanya sama anak ‘nanti mau jadi apa?’ tapi tanyakan, ‘kalau besar nanti mau membuat apa?’”

Mengubah paradigma generasi penerus bahwa impian dan cita-cita adalah sebuah kesempatan berkarya alih-alih sebuah peran atau posisi semata, tentu memerlukan sebuah upaya berkesinambungan dan terencana. Untuk itulah Gerakan Indonesia Mengajar hadir di tahun 2010 dengan Kelas Inspirasi sebagai salah satu lini yang diinisiasi pada tahun 2012. Di Ternate sendiri, kegiatan Kelas Inspirasi Ternate (KIT) tahun ini merupakan yang kedua setelah dilaksanakan pertama kali di tahun lalu.

Hari Inspirasi KIT 2 dilaksanakan pada tanggal 8 September 2018 secara serentak di 5 Sekolah Dasar (SD) Negeri di Ternate. Para relawan berjumlah lebih dari 70 orang yang berasal dari berbagai daerah di dalam maupun luar Ternate dan berlatar belakang dari beragam profesi. Mereka telah mendaftar sebagai inspirator atau dokumentator dan terpilih melalui seleksi. Kegiatan dilaksanakan selama setengah hari, namun koordinasi dan persiapan matang dilakukan selama berbulan-bulan oleh panitia dan relawan. 

Selama kegiatan, para inspirator bertugas membagi kisah seputar profesi yang digeluti dan memotivasi para siswa. Sedangkan relawan dokumentator akan mendokumentasikan momen-momen yang berkesan dan mengabadikannya dalam bentuk gambar dan video.

Uniknya, kali ini hampir semua SD di Ternate itu didatangi oleh inspirator dari profesi fiskus atau petugas pajak. Profesi ini memang tak sepopuler dokter, guru, atau tentara. Mengenalkan kata pajak sendiri cukup menantang, apalagi menjelaskan proses mengumpulkan uang negara.

Dok. Panitia KIT2

Tips dan Trik Mengajar

Mengajar anak SD tentu memerlukan strategi khusus dibandingkan orang dewasa. Satu hari sebelum hari H seluruh relawan dan panitia melakukan briefing dan koordinasi terkait perlengkapan dan membahas metode apa yang akan dipakai untuk mengajar.

Dua narasumber hadir untuk memberikan pembekalan. Teknik-teknik ice breaking untuk mencairkan suasana, teknik signaling untuk mengembalikan fokus audiens yang mulai terpecah, dan berbagai macam kreasi tepuk tangan yang menarik perhatian siswa, dibagikan kepada calon inspirator. Narasumber juga berpesan agar inspirator membuat aturan sederhana yang disepakati dengan murid sebelum memulai menyajikan materi.

Pada Hari Inspirasi, para inspirator diminta memakai seragam untuk memperkuat citra profesi yang dilakoni. Karena pegawai pajak adalah bagian dari Kementerian Keuangan, maka seragam atasan berwarna biru muda dan bawahan biru tua yang dipakai di hari Rabu menjadi pilihan utama. Penggunaan alat peraga dan properti terkait pekerjaan yang ditekuni akan mendukung proses pembelajaran.

Mengubah susunan bangku menjadi berbentuk U dan membagi murid dalam beberapa kelompok adalah tips lain agar suasana lebih dinamis dan tidak monoton. Untuk siswa kelas 1-3 SD, materi disampaikan tidak terlalu panjang dan dikemas dengan cara menyenangkan. Bernyanyi, bermain games, atau tebak-tebakan cenderung lebih disukai daripada penjelasan panjang lebar.

Untuk murid kelas 4-6 SD, siswa mulai dapat diajak berkomunikasi dua arah dan dijelaskan melalui tulisan atau gambar. Pada anak dengan umur menjelang remaja, terkadang membutuhkan kesabaran ekstra dalam mengendalikan suasana kelas terutama bagi beberapa anak yang sudah memiliki kelompok sendiri.

Pemberian pujian dan hadiah sebagai apresiasi kepada siswa yang berpartisipasi aktif dan mau mengikuti instruksi selama proses belajar perlu dilakukan. Peserta belajar yang baik harus dijadikan role model bagi temannya. 

Yang menarik, narasumber menyampaikan bahwa bila ada satu-dua anak yang tidak mematuhi aturan yang telah disepakati maka disarankan untuk tidak memberikan perhatian lebih. Jangan menghabiskan waktu dan emosi karena akan memecah konsentrasi teman lainnya dan akan semakin berulah. Ini agak berbeda dengan teori yang pernah penulis baca yaitu agar berdamai dengan si pencari perhatian dan mengubahnya jadi pengikut pengajar.

Terakhir, berikan pertanyaan kepada peserta didik untuk mengukur seberapa jauh pemahaman terhadap materi yang disampaikan.

Pengalaman Penulis sebagai Relawan Inspirator

Menjelaskan pekerjaan fiskus kepada siswa SDN 62 Takome, penulis lakukan sesuai teori yang disampaikan narasumber. Penulis tidak menggunakan metode menulis di papan sebab ingin mengajar dengan metode yang tak biasa. Perbanyak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan untuk membangkitkan semangat nasionalisme pelajar dan mulai memperkenalkan fasilitas umum yang dibiayai dari pajak menjadi strategi pertama.

Selanjutnya, penulis memperkenalkan beberapa profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang digaji dari APBN atau APBD. Contohnya profesi guru, dokter pemerintah, polisi, dan TNI. Bahkan presiden dan para menteri. Penulis juga menjelaskan bahwa dari penghasilan tersebut juga dibayarkan pajaknya ke negara. 

Penulis meminta kesediaan beberapa murid untuk berperan sebagai presiden dan menteri. Mereka berpura-pura menjalankan roda pemerintahan dan menggunakan uang pajak yang telah dikumpulkan. Dengan metode ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata tentang penggunaan uang pajak dan menggambarkan peran profesi fiskus. Tak lupa penulis memberikan hadiah kecil kepada peserta didik yang sudah berpartisipasi.

Satu hal yang terlewatkan, penulis lupa membawa mainan uang-uangan sebagai alat peraga. Namun kekurangan itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan sebab di akhir pelajaran para murid telah mendapatkan gambaran tentang pajak dan profesi petugas pajak.

Tak lupa penulis sisipkan pesan kepada para murid untuk bersemangat menggapai cita-citanya. Apabila kelak menemui kendala dan belum berhasil mendapatkan apa yang diinginkan maka masih banyak alternatif profesi yang bisa dicoba. Ketika ditanyakan profesi apa yang jadi cita-citanya, sebagian besar murid memang masih memilih pekerjaan yang populer seperti dokter, guru, atau TNI/polisi. Semoga dengan kegiatan Kelas Inspirasi ini dapat menambah referensi siswa dan meluaskan pandangan mereka.

Satu hal yang pasti, sebagai petugas pajak penulis menyisipkan pesan moral tentang betapa pentingnya bersikap amanah dalam semua profesi dan taat dalam menjalankan kewajiban kepada negara, termasuk membayar pajak. Generasi muda adalah generasi yang masih bersih dari prasangka dan pengaruh negatif lingkungan. Alangkah elok bila yang terpatri dalam ingatannya adalah nilai-nilai kebajikan dan semangat berkorban untuk negara.

Dengan mengenal manfaat pajak dan mengetahui profesi fiskus sedini mungkin, bukan tak mungkin di antara mereka akan ada yang tertarik berprofesi sebagai petugas pajak. Dan kalaupun tidak ada, itu bukan sebuah masalah, sebab yang terpenting adalah mereka telah berani bermimpi dan membumbungkan asanya ke langit yang tinggi.(*)

* Tulisan ini telah tayang di www.pajaki.go.id pada tanggal 25 September 2018.

Menjaga Api Sang Penyuluh


Kalau sebelumnya kita sudah membahas tips berbicara daring dan takaran komunikasi dalam penyuluhan, sekarang kita mengupas cara membangkitkan dan menjaga motivasi penyuluh. 

Layaknya lentera, seorang penyuluh bertugas menerangi audiens hingga mendapatkan pencerahan dan itu bukan perkara mudah. Menggerakkan hati manusia adalah sebuah seni yang penuh misteri. Pertama, hati manusia bukan milik manusia itu sendiri yang mudah berubah dalam satu atau dua pertemuan. Memerlukan teknik khusus dan jam terbang menjadi pembicara agar kemampuan memengaruhi orang dapat makin berkembang.

Kedua, secara fitrah, hati manusia akan tergetar bila dalam kondisi frekuensi yang sama. Maka, penting bagi seorang penyuluh untuk memancarkan kebaikan dan ketulusan batin sehingga bisa menggetarkan hati banyak orang.

Ketiga, sebagai manusia yang mempunyai rasa lelah, menjaga konsistensi dan antusiasme dalam berbicara juga bukan hal yang gampang, terlebih bila menyuluh adalah tugas tambahan di luar pekerjaan pokok. Tak semua penyuluh mempunyai passion menyuluh.

Tulisan ini bertujuan untuk membantu menemukan keindahan menjadi penyuluh. Bila belum juga menemukannya, setidaknya tugas penyuluh tetap dapat optimal dilaksanakan sebab telah mengenali ruh dari kegiatan penyuluhan.

Mengenal Konsep Ikigai

Di sesi diklat penyuluh kemarin saya menunjukkan sebuah konsep yang berasal dari Jepang.


Source: Google image
Ada yang mengartikan Ikigai sebagai “reason for being” meski buat saya kurang pas. Ada juga yang menerjemahkan sebagai alasan ketika bangun pagi untuk bersemangat melanjutkan hari. 

Dalam hidup, tak semua orang mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan ada yang belum mengetahui apa tujuan hidupnya. Konsep ini membantu merumuskan hal-hal yang menumbuhkan kebahagiaan dalam diri manusia.

Dari gambar di atas diketahui bahwa Ikigai adalah sebuah area hasil dari perpotongan empat lingkaran, yaitu:
1. Apa yang disukai
2. Apa yang dunia butuhkan
3. Apa yang bisa membuat kita dibayar
4. Apa yang kita kuasai (keahlian)

Empat hal itu mewakili apa yang membuat seseorang merasa berharga. Ada yang hidup untuk mengejar cinta. Ada pula yang mengejar kemakmuran semata. Ada yang mencari arti keberadaannnya di dunia. Ada pula yang puas ketika telah menguasai keahlian tertentu.

Ada manusia yang sudah menemukan apa yang disukai dan sekaligus ahli di bidang itu, misalnya seseorang yang hobi bermusik lalu menjadi musisi handal, disebut menemukan passion. Atau seorang musisi yang dibayar mahal, namanya profesi.

Ada juga yang menyukai sesuatu dan mampu memenuhi yang dunia butuhkan, disebut misi. Misalnya seseorang yang menyukai organisasi lalu membuat kegiatan sosial, atau seseorang yang hobi bermusik melakukan konser amal. 

Mempunyai misi dalam hidup menjadikan manusia merasa berharga namun ada potensi kurang sejahtera. Bila keberadaan seseorang berguna dalam masyarakat dan mendapatkan bayaran maka disebut vokasi. Dalam hal ini, manusia merasa puasa karena mendapatkan kompensasi finansial.

Bila seseorang bisa menemukan profesi yang sesuai dengan hasrat, keberadaannya dibutuhkan banyak orang, dan mendapatkan penghasilan dari itu, maka Ikigai akan mudah diraih. 

Kaitannya dengan penyuluhan, bila seseorang mengetahui konsep ini, dia bisa mengoptimalkan area mana yang akan dikembangkan dan mana yang perlu ditumbuhkan untuk mendapatkan Ikigai.

Misalnya seorang penyuluh tidak mempunyai minat dalam menyuluh, maka setelah mengetahui konsep ini dia masih bisa mengembangkan keahlian menyuluh dan menanamkan kesadaran bahwa keberadaannya sangat dibutuhkan organisasi. Dia juga bisa menumbuhkan ketertarikan dalam dunia menyuluh. 

Ada pepatah Jawa yang mengatakan “Witing tresno jalaran soko kulino” alias “Rasa cinta berpangkal mula karena terbiasa”. Atau misalnya dia belum ahli menyuluh maka rasa suka dan arti keberadaan sebagai penyuluh akan mendorong untuk terus mengembangkan diri dan memperdalam keahlian menyuluh, dst.

Dimensi Manusia dalam Kehidupan

Konsep Ikigai yang berasal dari Jepang menurut saya masih perlu disempurnakan dengan konsep dimensi manusia secara utuh, sebab belum memasukkan nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan manusia. 



Gambar ini saya ambil dari tulisan M. Andhis Abdillah, S.Pd. yang  mengutip konsep hakikat dimensi manusia oleh Prayitno (2009:13-16). Dari gambar di atas, diketahui bahwa dimensi yang menjadi inti dari kehidupan manusia adalah kefitrahan. 

Dimensi ini mewakili nilai spiritualitas yang menjadi pondasi kehidupan manusia. Menurut saya, konsep Ikigai berada di kuadran dimensi keindividuan dan belum mencakup dimensi lainnya. 

Nilai spiritualitas berada di kuadran tengah karena sangat penting dan menjadi penentu kebahagiaan. Ketika seseorang menggunakan konsep keindividuan saja tanpa menyertakan nilai spiritualitas, maka hidup akan terasa hampa meski secara fisik, psikis, dan materi terpenuhi.

Ada salah satu pertanyaan peserta diklat tentang bagaimana cara mengelola perasaan ketika tiba-tiba ada audiens yang bereaksi negatif bahkan menyudutkan penyuluh. Menurut saya inilah fungsi dari dimensi kefitrahan dan nilai spiritualitas untuk menjaga kebeningan hati. 

Dengan hati yang terjaga dalam kondisi fitrah, tak peduli bagaimana reaksi dari lingkungan maka tidak akan merusak hati kita. Bila hati diibaratkan air dan masalah adalah batu, maka keluasan hati akan memengaruhi gejolak yang muncul. 

Ketika batu dilempar ke dalam gelas akan menimbulkan gejolak yang lebih hebat dibandingkan bila batu dilemparkan ke dalam danau, apalagi samudera. Maka, hati yang sempit akan mudah sekali rapuh dan bereaksi negatif, sedangkan hati yang lapang dan jernih karena spiritualitas yang terjaga akan tetap memancarkan energi positif.

Dengan berbekal pemahaman ini, ditambah dengan dimensi sosial, susila, dan keberagaman yang lebih luas, seorang penyuluh akan mampu mengatasi masalah yang timbul. Menjadi penyuluh bukan berarti mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan, namun malah memperdalam pemahamannya. Sebab, menerangi jiwa seseorang tidak akan bisa dilakukan kecuali penyuluh mampu menjaga api yang menyala di dalam dirinya.

Bila menjadi lilin adalah pilihan dan semangat adalah parafinnya, maka menjaga spiritualitas penting agar sumbu lilin tetap tegak meski dalam terjangan angin dan badai.

Baca juga:
- Pengalaman menjadi relawan pengajar di Ternate
- Pengalaman satu jam menjadi penyiar radio
- Pengalaman Pajak Bertutur