Minggu, 12 Juli 2020

Menjaga Api Sang Penyuluh


Kalau sebelumnya kita sudah membahas tips berbicara daring dan takaran komunikasi dalam penyuluhan, sekarang kita mengupas cara membangkitkan dan menjaga motivasi penyuluh. 

Layaknya lentera, seorang penyuluh bertugas menerangi audiens hingga mendapatkan pencerahan dan itu bukan perkara mudah. Menggerakkan hati manusia adalah sebuah seni yang penuh misteri. Pertama, hati manusia bukan milik manusia itu sendiri yang mudah berubah dalam satu atau dua pertemuan. Memerlukan teknik khusus dan jam terbang menjadi pembicara agar kemampuan memengaruhi orang dapat makin berkembang.

Kedua, secara fitrah, hati manusia akan tergetar bila dalam kondisi frekuensi yang sama. Maka, penting bagi seorang penyuluh untuk memancarkan kebaikan dan ketulusan batin sehingga bisa menggetarkan hati banyak orang.

Ketiga, sebagai manusia yang mempunyai rasa lelah, menjaga konsistensi dan antusiasme dalam berbicara juga bukan hal yang gampang, terlebih bila menyuluh adalah tugas tambahan di luar pekerjaan pokok. Tak semua penyuluh mempunyai passion menyuluh.

Tulisan ini bertujuan untuk membantu menemukan keindahan menjadi penyuluh. Bila belum juga menemukannya, setidaknya tugas penyuluh tetap dapat optimal dilaksanakan sebab telah mengenali ruh dari kegiatan penyuluhan.

Mengenal Konsep Ikigai

Di sesi diklat penyuluh kemarin saya menunjukkan sebuah konsep yang berasal dari Jepang.


Source: Google image
Ada yang mengartikan Ikigai sebagai “reason for being” meski buat saya kurang pas. Ada juga yang menerjemahkan sebagai alasan ketika bangun pagi untuk bersemangat melanjutkan hari. 

Dalam hidup, tak semua orang mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan ada yang belum mengetahui apa tujuan hidupnya. Konsep ini membantu merumuskan hal-hal yang menumbuhkan kebahagiaan dalam diri manusia.

Dari gambar di atas diketahui bahwa Ikigai adalah sebuah area hasil dari perpotongan empat lingkaran, yaitu:
1. Apa yang disukai
2. Apa yang dunia butuhkan
3. Apa yang bisa membuat kita dibayar
4. Apa yang kita kuasai (keahlian)

Empat hal itu mewakili apa yang membuat seseorang merasa berharga. Ada yang hidup untuk mengejar cinta. Ada pula yang mengejar kemakmuran semata. Ada yang mencari arti keberadaannnya di dunia. Ada pula yang puas ketika telah menguasai keahlian tertentu.

Ada manusia yang sudah menemukan apa yang disukai dan sekaligus ahli di bidang itu, misalnya seseorang yang hobi bermusik lalu menjadi musisi handal, disebut menemukan passion. Atau seorang musisi yang dibayar mahal, namanya profesi.

Ada juga yang menyukai sesuatu dan mampu memenuhi yang dunia butuhkan, disebut misi. Misalnya seseorang yang menyukai organisasi lalu membuat kegiatan sosial, atau seseorang yang hobi bermusik melakukan konser amal. 

Mempunyai misi dalam hidup menjadikan manusia merasa berharga namun ada potensi kurang sejahtera. Bila keberadaan seseorang berguna dalam masyarakat dan mendapatkan bayaran maka disebut vokasi. Dalam hal ini, manusia merasa puasa karena mendapatkan kompensasi finansial.

Bila seseorang bisa menemukan profesi yang sesuai dengan hasrat, keberadaannya dibutuhkan banyak orang, dan mendapatkan penghasilan dari itu, maka Ikigai akan mudah diraih. 

Kaitannya dengan penyuluhan, bila seseorang mengetahui konsep ini, dia bisa mengoptimalkan area mana yang akan dikembangkan dan mana yang perlu ditumbuhkan untuk mendapatkan Ikigai.

Misalnya seorang penyuluh tidak mempunyai minat dalam menyuluh, maka setelah mengetahui konsep ini dia masih bisa mengembangkan keahlian menyuluh dan menanamkan kesadaran bahwa keberadaannya sangat dibutuhkan organisasi. Dia juga bisa menumbuhkan ketertarikan dalam dunia menyuluh. 

Ada pepatah Jawa yang mengatakan “Witing tresno jalaran soko kulino” alias “Rasa cinta berpangkal mula karena terbiasa”. Atau misalnya dia belum ahli menyuluh maka rasa suka dan arti keberadaan sebagai penyuluh akan mendorong untuk terus mengembangkan diri dan memperdalam keahlian menyuluh, dst.

Dimensi Manusia dalam Kehidupan

Konsep Ikigai yang berasal dari Jepang menurut saya masih perlu disempurnakan dengan konsep dimensi manusia secara utuh, sebab belum memasukkan nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan manusia. 



Gambar ini saya ambil dari tulisan M. Andhis Abdillah, S.Pd. yang  mengutip konsep hakikat dimensi manusia oleh Prayitno (2009:13-16). Dari gambar di atas, diketahui bahwa dimensi yang menjadi inti dari kehidupan manusia adalah kefitrahan. 

Dimensi ini mewakili nilai spiritualitas yang menjadi pondasi kehidupan manusia. Menurut saya, konsep Ikigai berada di kuadran dimensi keindividuan dan belum mencakup dimensi lainnya. 

Nilai spiritualitas berada di kuadran tengah karena sangat penting dan menjadi penentu kebahagiaan. Ketika seseorang menggunakan konsep keindividuan saja tanpa menyertakan nilai spiritualitas, maka hidup akan terasa hampa meski secara fisik, psikis, dan materi terpenuhi.

Ada salah satu pertanyaan peserta diklat tentang bagaimana cara mengelola perasaan ketika tiba-tiba ada audiens yang bereaksi negatif bahkan menyudutkan penyuluh. Menurut saya inilah fungsi dari dimensi kefitrahan dan nilai spiritualitas untuk menjaga kebeningan hati. 

Dengan hati yang terjaga dalam kondisi fitrah, tak peduli bagaimana reaksi dari lingkungan maka tidak akan merusak hati kita. Bila hati diibaratkan air dan masalah adalah batu, maka keluasan hati akan memengaruhi gejolak yang muncul. 

Ketika batu dilempar ke dalam gelas akan menimbulkan gejolak yang lebih hebat dibandingkan bila batu dilemparkan ke dalam danau, apalagi samudera. Maka, hati yang sempit akan mudah sekali rapuh dan bereaksi negatif, sedangkan hati yang lapang dan jernih karena spiritualitas yang terjaga akan tetap memancarkan energi positif.

Dengan berbekal pemahaman ini, ditambah dengan dimensi sosial, susila, dan keberagaman yang lebih luas, seorang penyuluh akan mampu mengatasi masalah yang timbul. Menjadi penyuluh bukan berarti mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan, namun malah memperdalam pemahamannya. Sebab, menerangi jiwa seseorang tidak akan bisa dilakukan kecuali penyuluh mampu menjaga api yang menyala di dalam dirinya.

Bila menjadi lilin adalah pilihan dan semangat adalah parafinnya, maka menjaga spiritualitas penting agar sumbu lilin tetap tegak meski dalam terjangan angin dan badai.

Baca juga:
- Pengalaman menjadi relawan pengajar di Ternate
- Pengalaman satu jam menjadi penyiar radio
- Pengalaman Pajak Bertutur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^