Kamis, 19 Mei 2016

Prompt #116 - Perempuan di Suatu Malam



Sumber


Aku takut ketika malam datang
Dan mimpi-mimpiku direnggut bayang-bayang kelam
Esok terasa gelap dan sesak
Rasa jiwa mati tak tertahankan
Aku batuk pun nyawa serasa lepas
Aku bersin pun sirna itu napas
Aku jatuh pun bumi bersekongkol menyandera jasadku
Sementara itu arwahku terpasung dan masih saja tak bisa bebas
Berusaha menjalani hari yang sama
seperti mayat hidup tak bernyawa
Aku takut
Tanpa bisa berbuat apa-apa


Bait-bait puisi yang baru dibacanya di toko buku tadi masih terngiang-ngiang di benak Ruby. Matanya berkaca-kaca. Rinai hujan yang turun mengaburkan pandangannya, sebagaimana titik air yang jatuh dari sudut matanya. Ruby mengumpat dalam hati, mengutuk si penulis puisi berkali-kali, kenapa hatinya jadi membiru begini.

Sebuah sms tiba-tiba masuk.

Bu, susu Adek dan popoknya sudah mau habis.

Iya, ini baru mau pulang, Mbak. Sudah beli barusan, balasnya.

Bu, tadi ada orang yang menagih utang datang lagi. Serem....

Ruby menghela napas. Tak sanggup membaca lanjutan pesan dari ART-nya.

Ruby mempercepat langkahnya ketika bunyi sirene penutup palang kereta semakin menggema.

Di kepalanya mulai terbayang wajah teduh suaminya yang sedang dikarantina di Rumah Sakit Jiwa, dan vonis dokter yang menyatakan bahwa setelah masa karantina selesai dialah yang harus mengawasi pengobatannya.

Ruby menghela napas, siap-siap melompat ketika mendengar bunyi klakson KRL itu makin mendekat.

"Astaghfirullah! Awas, Bu!" Sebuah tangan kekar menahan laju tubuhnya. Dia merasa mendengar suara dari langit. Dia merasa itu tangan dari surga.

Allah! Lamat-lamat dia ingat telah lama melupakan nama itu.

Brakk! 

Ruby terjengkang. Barang belanjaannya berserakan. 

Ah, hampir saja dia lupa membawa pulang susu untuk anaknya.

Jumlah kata: 250 kata.

Rabu, 18 Mei 2016

JANGAN TANYAKAN CINTA HARI INI

Sketch by Me


Jangan tanyakan cinta hari ini

Tanyakanlah nanti

Di saat tanganku mulai gemetar saat membelai

pipimu yang keriput

Atau di saat kupapah lenganmu yang kelelelahan

Ditopang tongkat yang tak lagi mampu

menahan tumpuan badan

Atau ketika senja tiba

dan yang bisa kita lakukan hanyalah

menatapnya dari balik jendela

Sebab kaki renta kita sudah tak mampu lagi melangkah

Atau ketika hanya berkas wajahmu

yang mampu tertangkap di sayup mataku

sesaat sebelum kumeregang nyawa


Maka hari ini jangan tanyakan cinta

Sebab tak banyak waktu yang tersisa


untuk kita jalani berdua

Dengan atau tanpa tanda tanya


Jakarta, 15 05 2016

Senin, 09 Mei 2016

PUISI ENTAH

Sketch by Me





Sayapku patah
Hatiku terbelah
Ada laba-laba menyulam jaring-jaring perak
di sudut mataku
Sakit
Perih
Mengabur
Kerinduanku bertumbuh subur
Pada siapa entah
Sampai kapan entah
Bila kubawa ke liang kubur?

Jakarta, 05 05 2016

Minggu, 08 Mei 2016

Prompt #114 - Nyala untuk Yuyun



Seorang gadis bernyanyi-nyanyi riang menelusuri jalan setapak yang lengang. Jalan itu membelah perbukitan landai penuh kebun dan semak belukar rimbun yang menutupi jurang nan curam. Tak pernah sekalipun terbersit rasa takut di hatinya, sebab daerah itu setiap hari dilaluinya untuk pulang-pergi ke sekolah. Meskipun sore itu langit mendung dan saudara lelakinya tak menemaninya, dia santai saja. Toh beberapa kali dia pulang sendiri di waktu seperti itu tak pernah ada masalah.

Gadis itu begitu riang sebab hari ini lagi-lagi dia mendapat nilai sempurna. Hatinya tak sabar hendak menunjukkan kepada ibu-bapaknya. Karena nilai yang sempurna itu, dia tak perlu mengerjakan tugas tambahan seperti saudara kembarnya yang sekelas dengannya. Kepalanya sibuk membayangkan rencana-rencana apa yang mengasyikkan sesampainya di rumah.

“Ehemm!”

Gadis itu terkejut. Kepalanya seketika mencari-cari sumber suara itu. Bulu kuduknya meremang.

“Si-siapa....”

Sesosok pemuda bertubuh kerempeng mendekat.

“Ini aku, Dik. Kakak kelasmu. Lupa?”

Gadis itu memicingkan matanya, mencoba mengingat.

“Ah, Kak.... Apa kabar?” dia bertanya sopan sambil mencoba mengingat-ingat nama pemuda itu. 

Pria itu berjalan gontai ke arahnya setengah sempoyongan. Gadis itu mengerutkan alisnya. Dadanya tiba-tiba berdebar.

“Bisa bantu Kakak sebentar? Ada hal yang mau Kakak bicarakan.”

Gadis itu meragu. Aroma tuak yang menguar dari kemeja pemuda itu menggentarkan hatinya.

“Maaf ya, Kak, aku hendak pulang. Ini sudah mau maghrib.”

Gadis itu sudah akan membalikkan tubuhnya ketika tiba-tiba pemuda itu menangkap lengannya dan terkekeh.

“Mau kemana Adik manis?”

Ditepiskannya tangan pemuda itu, tapi tak kuasa. Cengkeramannya begitu kuat. Gadis itu bergidik melihat tatapan pemuda yang penuh berahi dan tubuhnya semakin gemetar.

Tidak...tidak...ini tidak mungkin! Gusti, tolong aku! Bapak....Ibu!

Lalu terdengar suara-suara lain. Suara pria-pria terkekeh dari balik pohon dan perdu. Lalu muncullah mereka satu per satu.

Wajah-wajah penuh nafsu. 

Melihat bahaya di depan matanya, gadis itu seketika mendorong pemuda yang pertama. Dia terus berlari ke arah puncak bukit. Dia tak peduli meski mereka semua mengejarnya. Napasnya terengah-engah, seragamnya koyak menerjang semak berduri. Kulitnya berdarah tergores di sana-sini. Tapi dia tak peduli. Lebih baik dia mati melindungi kehormatannya daripada menjadi santapan binatang-binatang buas itu.
 
“Ha! Mau lari kemana Adik kecil?” Seorang pria bertubuh kekar menghalangi jalannya. Gadis itu jatuh terjengkang. Lalu entah dari mana sebuah balok kayu terayun ke arahnya.

Bukk!

Setelah itu gelap. Dan binatang-binatang itu berpesta pora di atas tubuhnya.

* * *

Sumber


“Kau yakin sudah menutupi mayatnya dengan dedaunan?” bisik temannya pada pemuda pertama beberapa hari kemudian.

“Sudah, Bang. Kenapa?”

“Yakin kau dia sudah mati? Beberapa hari ini aku merasa melihat dia.”

Pemuda itu menghela napas. Ternyata bukan hanya dia yang merasa demikian. Berhari-hari dia tak pernah bisa tidur nyenyak sebab tiap kali memejamkan mata, wajah gadis itu terus saja menghantuinya. 

Malamnya dia memberanikan diri mengecek jurang tempat mereka membuang jasad gadis itu. Semakin mendekati tempat itu, bau busuk mayat makin memenuhi penciumannya. 

Dari tubir jurang dilihatnya seorang gadis menangis sesenggukan di balik tumpukan dedaunan. Tubuhnya sudah tak utuh digerogoti belatung dan dipenuhi lalat beterbangan.

Pemuda itu tiba-tiba menangis tersedu. “Maafkan Kakak, Dik. Maafkan Kakak....”

Dia lalu melompat ke dalam jurang. Tubuhnya menyatu dengan gadis yang diam-diam pernah dicintainya dulu.

Jumlah kata : 500 kata.