Rabu, 29 Juli 2020

Toko Ritel Online, Wajibkah Membuat Faktur Pajak?

Saat ini, transaksi perdagangan elektronik telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Data Bank Indonesia mencatat, di tahun 2019 jumlah transaksi perdagangan daring setiap bulannya mencapai Rp13 triliun.

Bahkan, menurut McKinsey, nilai total belanja daring di Indonesia diprediksi mencapai USD65 miliar pada tahun ini atau setara dengan kurang lebih Rp910 triliun. Ini tentu sebuah angka yang fantastis mengingat besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan III 2019 mencapai Rp4.067,8 triliun. Artinya, transaksi perdagangan elektronik mempunyai peranan yang sangat penting dalam menopang dan menggerakkan perekonomian negara kita.

Dalam bahasan terkait perpajakan, terdapat empat model transaksi perdagangan elektronik, yaitu online marketplace, classified ads, daily deals, dan online ritel. Dalam lingkup kegiatan online ritel atau toko ritel daring sendiri terdapat empat elemen yang terkait yaitu: situs toko ritel, penyelenggara situs toko ritel, pembeli atau pelanggan, dan sistem pembayaran yang ditetapkan oleh penyelenggara situs.

Untuk menjamin keadilan usaha (level of playing field), wajib pajak penyelenggara situs toko ritel yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga mempunyai kewajiban untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pembeli sama seperti dalam perdagangan konvensional. Namun, dalam praktiknya, timbul pertanyaan terkait ketentuan yang mengatur tata cara penerbitan dan penatausahaan Faktur Pajak (FP) pajak pada toko ritel daring.

Aturan PKP Pedagang Eceran Konvensional

Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang ritel dan mempunyai klasifikasi usaha sebagai pedagang eceran ketika mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) disebut sebagai Pedagang Eceran (PE) apabila dalam kegiatan usahanya melakukan kegiatan dengan karakteristik tertentu. 

Karakteristik ini disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 20 ayat (2) yaitu: melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya; dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.

Akibat karakteristik tersebut, jumlah transaksi penyerahan barang yang dilakukan oleh PKP PE relatif banyak dengan nilai relatif kecil sehingga PE mengalami kesulitan apabila diperlakukan sama seperti PKP lainnya dalam pembuatan dan penatausahaan FP. Oleh karena itu, untuk memberikan kemudahan dalam berusaha dan kepastian hukum, PKP PE diberikan aturan khusus dalam membuat dan menatausahakan FP.

Peraturan yang secara khusus mengatur hal tersebut adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-58/PJ/2010 tentang Bentuk dan Ukuran Formulir Serta Tata Cara Pengisian Keterangan Pada Faktur Pajak Bagi PKP Pedagang Eceran. Dalam Pasal 2 Perdirjen tersebut disebutkan bahwa PKP PE wajib membuat FP untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). 

Selanjutnya, diatur tentang jenis FP yang dibuat oleh PKP PE dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Bentuk dan ukuran formulir FP tersebut disesuaikan dengan kepentingan PKP PE dan pengadaannya dilakukan oleh PKP PE.

Sejak 1 Januari 2011, FP yang dibuat oleh PKP PE ini dilaporkan di SPT Masa PPN Formulir 1111 AB di kolom I.B.2 yaitu di kolom Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak yang Digunggung. Faktur Pajak yang Digunggung adalah FP yang tidak diisi dengan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka (2) UU KUP. 

Khusus untuk PE, dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 20 ayat (1) diatur bahwa PE yang membuat FP tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 UU KUP.

Bagaimana dengan PKP PE Daring?

Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat sistem perdagangan berubah drastis. Jarak antara penjual dan pembeli hanya berbatas gawai dan kuota internet. Pengelola toko ritel daring yang berstatus PKP PE kini lebih dimudahkan dalam membuat FP sebab data yang dibutuhkan untuk membuat FP sebagaimana dimaksud dalam PER-58/PJ/2010 telah disediakan oleh sistem daring yang canggih. 

Kini, untuk pelaporan nilai Faktur Pajak yang Digunggung pada SPT Masa PPN Formulir 1111 AB di kolom I.B.2 pun dapat dilakukan dengan lebih mudah. Wajib pajak hanya perlu merekapitulasi data transaksi dari sistem data FP yang dibuat oleh PKP sendiri dan menjumlahkan nilainya untuk dilaporkan pada aplikasi efaktur.

Sejauh ini belum ada peraturan teknis yang secara eksplisit mengatur tentang kewajiban PKP PE daring ini. Petunjuk khusus terkait pembuatan faktur dan penatausahaan PKP PE yang berlaku masih merujuk pada bentuk PE konvensional yang mensyaratkan adanya keberadaan fisik seperti toko atau kios yang mempertemukan antara penjual dengan konsumen akhir.

Selain itu, cara penjualan eceran konvensional yang tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang, dan dilakukan secara tunai, kemungkinan besar tidak selalu terpenuhi dalam sistem transaksi daring. Saat ini, pembeli dapat memesan barang melalui situs atau aplikasi sosial media dan pembelian dapat dilakukan melalui kartu kredit, transfer melalui rekening yang ditunjuk oleh pengelola situs, atau penyedia jasa layanan keuangan daring lainnya. 

Menurut penulis, sebaiknya aturan teknis yang mengatur penerbitan dan penatausahaan FP bagi toko ritel daring perlu diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dibutuhkan untuk menjamin kepastian hukum dan kesetaraan level dalam berusaha. Sehingga, para pemilik toko ritel daring akan makin terdorong untuk lebih patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.


*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. Artikel ini sebelumnya telah tayang di sini.


Sabtu, 18 Juli 2020

Rahasia yang Bukan Rahasia Lagi

Mengapa saya menulis? Ini pertanyaan menarik sebab membuat ingatan saya terlempar ke beberapa tahun silam saat mula-mula menulis di blog ini. Setelah menengok rekam jejak digital, rupa-rupanya saya mulai jadi pengeblog sejak tahun 2013.

Kala itu saya sedang giat-giatnya ikut Monday Flash Fiction, sebuah komunitas penulis fiksi mini. Saya tak mahir menulis fiksi, nonfiksi pun tidak. Saya gabung di grup itu karena kagum dengan karya para anggotanya. 

Menulis cerita fiksi yang dibatasi ketentuan tak lebih dari seribu karakter sungguh menantang. Apalagi, grup itu memberikan tantangan tiap pekan dengan tema yang beragam. Saya jadi mengenal beberapa genre fiksi.

Singkat cerita, di tahun 2015 komunitas itu menggelar kompetisi bertajuk Monday Flash Fiction Idol 2. Di ajang itu, alhamdulillah saya menyabet posisi runner-up. Karya sepuluh besar finalis lalu dibukukan dan terbit setahun kemudian. Saya dan dua kawan lain mendapat kesempatan menjadi ilustrator antologi itu.

Menulis dan menggambar adalah dua hal yang saya sukai. Selain fiksi, saya juga suka menulis puisi. Maka, blog saya seperti gado-gado. Fiksi, gambar, dan puisi tercecer di situ. Benar-benar menunjukkan kepribadian saya yang tak teratur.

Selain karya di atas, saya sesekali bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Karena punya dasar menulis fiksi, saya lebih nyaman menulis feature daripada opini. Beberapa kejadian yang menyentuh atau kegiatan kantor yang menarik saya abadikan dalam bentuk artikel.

Awalnya untuk catatan pribadi saja. Namun, ada satu momentum yang mengubah dominasi tema tulisan saya. Momentum itu bernama Amnesti Pajak. Saya pernah menulis artikel sederhana bertema ini. Ternyata pembacanya menembus angka tiga puluh ribu, yang komentar juga banyak.

Saya baru menyadari bahwa warganet sangat haus informasi tentang hal ini. Waktu itu saya belum tahu kalau ada sistem SEO (search engine optimization). Yang saya pahami, bila kita menulis suatu tema yang banyak dicari peselancar dunia maya, secara organik blog akan banyak dikunjungi.

Sejak itu saya banyak menulis tentang pajak, terutama tema-tema baru yang belum populer diketahui masyarakat. Pengunjungnya lumayan, kadang bisa di atas seribu. Menurut saya ini lebih efektif daripada harus konsultasi atau sosialisasi langsung yang target audiensnya terbatas.

Suatu ketika, saya nekat menemui salah seorang pejabat pengelola situs web pajak, Pak Riza Almanfaluthi. Kebetulan sekali, beliau juga pengeblog dan penulis andalan institusi tempat saya bekerja. Saya sering belajar dari blognya cara menulis yang baik.

Dari pertemuan itu, beliau mengundang saya untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Pelatihan pertama berlangsung di bulan September 2017. Saat itu, saya belajar cara menulis berita dan opini. Salah satu pembicaranya adalah jurnalis senior bernama Wiyoso Hadi. Sampai sekarang, dua nama itu adalah guru yang sangat berjasa dalam perjalanan menulis saya.

Sejak itu pula saya mulai rajin menulis di web pajak. Belakangan, saya suka mengirim artikel opini di koran. Menulis opini mempunyai tantangan tersendiri, selain pondasi argumentasi harus kokoh, riset yang kuat juga menjadi nilai plus. Maka, menulis satu artikel bisa menguras energi beberapa hari.

Kadang kelelahan itu saya imbangi dengan menggambar atau berpuisi. Menulis fiksi kadang masih saya lakukan, tapi sudah sangat jarang. Ada yang bilang kalau sudah terbiasa menulis nonfiksi maka akan kesulitan menulis fiksi, sebab kehilangan feel-nya.

Haha. Bisa jadi. Seperti pisau, kalau tidak diasah maka kemampuan menulis fiksi akan tumpul. Menulis mau tak mau menjadi kebutuhan, bukan sebuah kewajiban. Menulis karena ingin, bukan karena harus. Agar tulisan itu jernih menggambarkan pikiran sang penulis, sekaligus jujur mengisahkan pandangannya terhadap dunia.

Perjalanan blog ini sendiri menggambarkan perubahan tujuan menulis saya. Yang tadinya menulis hanya untuk kesenangan pribadi, tempat menumpahkan ekspresi, kini jadi kanal informasi bagi lebih banyak orang. 

Meski masih seperti gado-gado, saya belum terpikir untuk merapikannya. Mungkin karena saya ingin dikenal apa adanya, atau karena malas saja. Yang jelas saya belum malas kok untuk mencurahkan pikiran. Sebab menurut saya, berpikir saja tak cukup menunjukkan keberadaan kita.

Akan ada masa nama kita tak lagi dikenang, jasad menjadi debu, dan perbuatan kita dilupakan. Tapi yang tertulis dan menginspirasi, akan selalu abadi. Lalu, mengapa tak mulai menulis?

*Tulisan ini disertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Insitute

Tips berbicara daring? Baca di sini ya!

Minggu, 12 Juli 2020

Menoreh Asa di Bumi Moluku Kie Raha


Di tahun 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Anies Baswedan, pernah berkata, “Sebagai orang tua jangan tanya sama anak ‘nanti mau jadi apa?’ tapi tanyakan, ‘kalau besar nanti mau membuat apa?’”

Mengubah paradigma generasi penerus bahwa impian dan cita-cita adalah sebuah kesempatan berkarya alih-alih sebuah peran atau posisi semata, tentu memerlukan sebuah upaya berkesinambungan dan terencana. Untuk itulah Gerakan Indonesia Mengajar hadir di tahun 2010 dengan Kelas Inspirasi sebagai salah satu lini yang diinisiasi pada tahun 2012. Di Ternate sendiri, kegiatan Kelas Inspirasi Ternate (KIT) tahun ini merupakan yang kedua setelah dilaksanakan pertama kali di tahun lalu.

Hari Inspirasi KIT 2 dilaksanakan pada tanggal 8 September 2018 secara serentak di 5 Sekolah Dasar (SD) Negeri di Ternate. Para relawan berjumlah lebih dari 70 orang yang berasal dari berbagai daerah di dalam maupun luar Ternate dan berlatar belakang dari beragam profesi. Mereka telah mendaftar sebagai inspirator atau dokumentator dan terpilih melalui seleksi. Kegiatan dilaksanakan selama setengah hari, namun koordinasi dan persiapan matang dilakukan selama berbulan-bulan oleh panitia dan relawan. 

Selama kegiatan, para inspirator bertugas membagi kisah seputar profesi yang digeluti dan memotivasi para siswa. Sedangkan relawan dokumentator akan mendokumentasikan momen-momen yang berkesan dan mengabadikannya dalam bentuk gambar dan video.

Uniknya, kali ini hampir semua SD di Ternate itu didatangi oleh inspirator dari profesi fiskus atau petugas pajak. Profesi ini memang tak sepopuler dokter, guru, atau tentara. Mengenalkan kata pajak sendiri cukup menantang, apalagi menjelaskan proses mengumpulkan uang negara.

Dok. Panitia KIT2

Tips dan Trik Mengajar

Mengajar anak SD tentu memerlukan strategi khusus dibandingkan orang dewasa. Satu hari sebelum hari H seluruh relawan dan panitia melakukan briefing dan koordinasi terkait perlengkapan dan membahas metode apa yang akan dipakai untuk mengajar.

Dua narasumber hadir untuk memberikan pembekalan. Teknik-teknik ice breaking untuk mencairkan suasana, teknik signaling untuk mengembalikan fokus audiens yang mulai terpecah, dan berbagai macam kreasi tepuk tangan yang menarik perhatian siswa, dibagikan kepada calon inspirator. Narasumber juga berpesan agar inspirator membuat aturan sederhana yang disepakati dengan murid sebelum memulai menyajikan materi.

Pada Hari Inspirasi, para inspirator diminta memakai seragam untuk memperkuat citra profesi yang dilakoni. Karena pegawai pajak adalah bagian dari Kementerian Keuangan, maka seragam atasan berwarna biru muda dan bawahan biru tua yang dipakai di hari Rabu menjadi pilihan utama. Penggunaan alat peraga dan properti terkait pekerjaan yang ditekuni akan mendukung proses pembelajaran.

Mengubah susunan bangku menjadi berbentuk U dan membagi murid dalam beberapa kelompok adalah tips lain agar suasana lebih dinamis dan tidak monoton. Untuk siswa kelas 1-3 SD, materi disampaikan tidak terlalu panjang dan dikemas dengan cara menyenangkan. Bernyanyi, bermain games, atau tebak-tebakan cenderung lebih disukai daripada penjelasan panjang lebar.

Untuk murid kelas 4-6 SD, siswa mulai dapat diajak berkomunikasi dua arah dan dijelaskan melalui tulisan atau gambar. Pada anak dengan umur menjelang remaja, terkadang membutuhkan kesabaran ekstra dalam mengendalikan suasana kelas terutama bagi beberapa anak yang sudah memiliki kelompok sendiri.

Pemberian pujian dan hadiah sebagai apresiasi kepada siswa yang berpartisipasi aktif dan mau mengikuti instruksi selama proses belajar perlu dilakukan. Peserta belajar yang baik harus dijadikan role model bagi temannya. 

Yang menarik, narasumber menyampaikan bahwa bila ada satu-dua anak yang tidak mematuhi aturan yang telah disepakati maka disarankan untuk tidak memberikan perhatian lebih. Jangan menghabiskan waktu dan emosi karena akan memecah konsentrasi teman lainnya dan akan semakin berulah. Ini agak berbeda dengan teori yang pernah penulis baca yaitu agar berdamai dengan si pencari perhatian dan mengubahnya jadi pengikut pengajar.

Terakhir, berikan pertanyaan kepada peserta didik untuk mengukur seberapa jauh pemahaman terhadap materi yang disampaikan.

Pengalaman Penulis sebagai Relawan Inspirator

Menjelaskan pekerjaan fiskus kepada siswa SDN 62 Takome, penulis lakukan sesuai teori yang disampaikan narasumber. Penulis tidak menggunakan metode menulis di papan sebab ingin mengajar dengan metode yang tak biasa. Perbanyak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan untuk membangkitkan semangat nasionalisme pelajar dan mulai memperkenalkan fasilitas umum yang dibiayai dari pajak menjadi strategi pertama.

Selanjutnya, penulis memperkenalkan beberapa profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang digaji dari APBN atau APBD. Contohnya profesi guru, dokter pemerintah, polisi, dan TNI. Bahkan presiden dan para menteri. Penulis juga menjelaskan bahwa dari penghasilan tersebut juga dibayarkan pajaknya ke negara. 

Penulis meminta kesediaan beberapa murid untuk berperan sebagai presiden dan menteri. Mereka berpura-pura menjalankan roda pemerintahan dan menggunakan uang pajak yang telah dikumpulkan. Dengan metode ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata tentang penggunaan uang pajak dan menggambarkan peran profesi fiskus. Tak lupa penulis memberikan hadiah kecil kepada peserta didik yang sudah berpartisipasi.

Satu hal yang terlewatkan, penulis lupa membawa mainan uang-uangan sebagai alat peraga. Namun kekurangan itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan sebab di akhir pelajaran para murid telah mendapatkan gambaran tentang pajak dan profesi petugas pajak.

Tak lupa penulis sisipkan pesan kepada para murid untuk bersemangat menggapai cita-citanya. Apabila kelak menemui kendala dan belum berhasil mendapatkan apa yang diinginkan maka masih banyak alternatif profesi yang bisa dicoba. Ketika ditanyakan profesi apa yang jadi cita-citanya, sebagian besar murid memang masih memilih pekerjaan yang populer seperti dokter, guru, atau TNI/polisi. Semoga dengan kegiatan Kelas Inspirasi ini dapat menambah referensi siswa dan meluaskan pandangan mereka.

Satu hal yang pasti, sebagai petugas pajak penulis menyisipkan pesan moral tentang betapa pentingnya bersikap amanah dalam semua profesi dan taat dalam menjalankan kewajiban kepada negara, termasuk membayar pajak. Generasi muda adalah generasi yang masih bersih dari prasangka dan pengaruh negatif lingkungan. Alangkah elok bila yang terpatri dalam ingatannya adalah nilai-nilai kebajikan dan semangat berkorban untuk negara.

Dengan mengenal manfaat pajak dan mengetahui profesi fiskus sedini mungkin, bukan tak mungkin di antara mereka akan ada yang tertarik berprofesi sebagai petugas pajak. Dan kalaupun tidak ada, itu bukan sebuah masalah, sebab yang terpenting adalah mereka telah berani bermimpi dan membumbungkan asanya ke langit yang tinggi.(*)

* Tulisan ini telah tayang di www.pajaki.go.id pada tanggal 25 September 2018.

Menjaga Api Sang Penyuluh


Kalau sebelumnya kita sudah membahas tips berbicara daring dan takaran komunikasi dalam penyuluhan, sekarang kita mengupas cara membangkitkan dan menjaga motivasi penyuluh. 

Layaknya lentera, seorang penyuluh bertugas menerangi audiens hingga mendapatkan pencerahan dan itu bukan perkara mudah. Menggerakkan hati manusia adalah sebuah seni yang penuh misteri. Pertama, hati manusia bukan milik manusia itu sendiri yang mudah berubah dalam satu atau dua pertemuan. Memerlukan teknik khusus dan jam terbang menjadi pembicara agar kemampuan memengaruhi orang dapat makin berkembang.

Kedua, secara fitrah, hati manusia akan tergetar bila dalam kondisi frekuensi yang sama. Maka, penting bagi seorang penyuluh untuk memancarkan kebaikan dan ketulusan batin sehingga bisa menggetarkan hati banyak orang.

Ketiga, sebagai manusia yang mempunyai rasa lelah, menjaga konsistensi dan antusiasme dalam berbicara juga bukan hal yang gampang, terlebih bila menyuluh adalah tugas tambahan di luar pekerjaan pokok. Tak semua penyuluh mempunyai passion menyuluh.

Tulisan ini bertujuan untuk membantu menemukan keindahan menjadi penyuluh. Bila belum juga menemukannya, setidaknya tugas penyuluh tetap dapat optimal dilaksanakan sebab telah mengenali ruh dari kegiatan penyuluhan.

Mengenal Konsep Ikigai

Di sesi diklat penyuluh kemarin saya menunjukkan sebuah konsep yang berasal dari Jepang.


Source: Google image
Ada yang mengartikan Ikigai sebagai “reason for being” meski buat saya kurang pas. Ada juga yang menerjemahkan sebagai alasan ketika bangun pagi untuk bersemangat melanjutkan hari. 

Dalam hidup, tak semua orang mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan ada yang belum mengetahui apa tujuan hidupnya. Konsep ini membantu merumuskan hal-hal yang menumbuhkan kebahagiaan dalam diri manusia.

Dari gambar di atas diketahui bahwa Ikigai adalah sebuah area hasil dari perpotongan empat lingkaran, yaitu:
1. Apa yang disukai
2. Apa yang dunia butuhkan
3. Apa yang bisa membuat kita dibayar
4. Apa yang kita kuasai (keahlian)

Empat hal itu mewakili apa yang membuat seseorang merasa berharga. Ada yang hidup untuk mengejar cinta. Ada pula yang mengejar kemakmuran semata. Ada yang mencari arti keberadaannnya di dunia. Ada pula yang puas ketika telah menguasai keahlian tertentu.

Ada manusia yang sudah menemukan apa yang disukai dan sekaligus ahli di bidang itu, misalnya seseorang yang hobi bermusik lalu menjadi musisi handal, disebut menemukan passion. Atau seorang musisi yang dibayar mahal, namanya profesi.

Ada juga yang menyukai sesuatu dan mampu memenuhi yang dunia butuhkan, disebut misi. Misalnya seseorang yang menyukai organisasi lalu membuat kegiatan sosial, atau seseorang yang hobi bermusik melakukan konser amal. 

Mempunyai misi dalam hidup menjadikan manusia merasa berharga namun ada potensi kurang sejahtera. Bila keberadaan seseorang berguna dalam masyarakat dan mendapatkan bayaran maka disebut vokasi. Dalam hal ini, manusia merasa puasa karena mendapatkan kompensasi finansial.

Bila seseorang bisa menemukan profesi yang sesuai dengan hasrat, keberadaannya dibutuhkan banyak orang, dan mendapatkan penghasilan dari itu, maka Ikigai akan mudah diraih. 

Kaitannya dengan penyuluhan, bila seseorang mengetahui konsep ini, dia bisa mengoptimalkan area mana yang akan dikembangkan dan mana yang perlu ditumbuhkan untuk mendapatkan Ikigai.

Misalnya seorang penyuluh tidak mempunyai minat dalam menyuluh, maka setelah mengetahui konsep ini dia masih bisa mengembangkan keahlian menyuluh dan menanamkan kesadaran bahwa keberadaannya sangat dibutuhkan organisasi. Dia juga bisa menumbuhkan ketertarikan dalam dunia menyuluh. 

Ada pepatah Jawa yang mengatakan “Witing tresno jalaran soko kulino” alias “Rasa cinta berpangkal mula karena terbiasa”. Atau misalnya dia belum ahli menyuluh maka rasa suka dan arti keberadaan sebagai penyuluh akan mendorong untuk terus mengembangkan diri dan memperdalam keahlian menyuluh, dst.

Dimensi Manusia dalam Kehidupan

Konsep Ikigai yang berasal dari Jepang menurut saya masih perlu disempurnakan dengan konsep dimensi manusia secara utuh, sebab belum memasukkan nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan manusia. 



Gambar ini saya ambil dari tulisan M. Andhis Abdillah, S.Pd. yang  mengutip konsep hakikat dimensi manusia oleh Prayitno (2009:13-16). Dari gambar di atas, diketahui bahwa dimensi yang menjadi inti dari kehidupan manusia adalah kefitrahan. 

Dimensi ini mewakili nilai spiritualitas yang menjadi pondasi kehidupan manusia. Menurut saya, konsep Ikigai berada di kuadran dimensi keindividuan dan belum mencakup dimensi lainnya. 

Nilai spiritualitas berada di kuadran tengah karena sangat penting dan menjadi penentu kebahagiaan. Ketika seseorang menggunakan konsep keindividuan saja tanpa menyertakan nilai spiritualitas, maka hidup akan terasa hampa meski secara fisik, psikis, dan materi terpenuhi.

Ada salah satu pertanyaan peserta diklat tentang bagaimana cara mengelola perasaan ketika tiba-tiba ada audiens yang bereaksi negatif bahkan menyudutkan penyuluh. Menurut saya inilah fungsi dari dimensi kefitrahan dan nilai spiritualitas untuk menjaga kebeningan hati. 

Dengan hati yang terjaga dalam kondisi fitrah, tak peduli bagaimana reaksi dari lingkungan maka tidak akan merusak hati kita. Bila hati diibaratkan air dan masalah adalah batu, maka keluasan hati akan memengaruhi gejolak yang muncul. 

Ketika batu dilempar ke dalam gelas akan menimbulkan gejolak yang lebih hebat dibandingkan bila batu dilemparkan ke dalam danau, apalagi samudera. Maka, hati yang sempit akan mudah sekali rapuh dan bereaksi negatif, sedangkan hati yang lapang dan jernih karena spiritualitas yang terjaga akan tetap memancarkan energi positif.

Dengan berbekal pemahaman ini, ditambah dengan dimensi sosial, susila, dan keberagaman yang lebih luas, seorang penyuluh akan mampu mengatasi masalah yang timbul. Menjadi penyuluh bukan berarti mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan, namun malah memperdalam pemahamannya. Sebab, menerangi jiwa seseorang tidak akan bisa dilakukan kecuali penyuluh mampu menjaga api yang menyala di dalam dirinya.

Bila menjadi lilin adalah pilihan dan semangat adalah parafinnya, maka menjaga spiritualitas penting agar sumbu lilin tetap tegak meski dalam terjangan angin dan badai.

Baca juga:
- Pengalaman menjadi relawan pengajar di Ternate
- Pengalaman satu jam menjadi penyiar radio
- Pengalaman Pajak Bertutur