Jumat, 07 Agustus 2015

Prompt #84 – Tentang Ayahku



Apa yang ada di benakmu tentang ayah?

Bagiku: tak ada. 

Bertahun-tahun kujalani hidup tanpa mengenal dekat ayah kandungku sendiri. Sosoknya tersembunyi dalam sebuah ruangan rahasia di bawah tanah yang luasnya sebesar lima kali enam meter. Aku hanya bertemu ayahku saat dia ke kamar mandi, saat makan, dan saat pergi ke masjid untuk shalat wajib. Selebihnya aku hanya bisa bertanya tentangnya kepada Ibu. 

“Ibu, kenapa Ayah tak pernah keluar dari ruangan itu?”

“Ibu, kenapa Ayah tak pernah mau main bersamaku?”

“Ibu, kenapa Ayah tak bekerja di luar seperti orang lain?”

Ibuku akan tersenyum dan mengusap lembut kepalaku, lalu berkata dengan lembut, “Itulah ayahmu. Orang yang paling Ibu cintai. Itulah pilihan hidupnya, kita harus menghormati.”

Ibu bilang ayahku adalah seorang pembuat boneka kayu. Dulu, ketika boneka kayu sedang jaya, ayahku sangat terkenal dan dihormati. Namun, seiring redupnya kejayaan itu, ayahku menjadi seorang yang bangkrut dan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seperti yang kukenal.

Sumber
Pertanyaanku semakin banyak ketika aku beranjak dewasa. Saat itu kusadari ibuku semakin lelah menjadi tulang punggung keluarga. Kulit tangannya menebal dan bersisik, akibat banting tulang mencukupi kebutuhan kami.

“Ibu, apa tak lelah dicuekin Ayah?”

“Ibu, tak pernahkah minta nafkah kepada Ayah?”

“Ibu, tak bisakah minta Ayah untuk berubah?”

Lalu ibuku, dengan mata yang tetap teduh dan senyum lembut yang tetap bertahan sekian tahun, menjawab, “Itulah ayahmu. Orang yang paling Ibu cintai. Itulah pilihan hidupnya, kita harus menghormati.”

Sepertinya ibuku hidup di negeri dongeng dengan kisah cinta sejati yang tak pernah mati. Saat dewasa kuputuskan keluar dari negeri itu dan menginjak bumi. Kuambil rute terjauh yang kubisa untuk keluar dari rumah itu. Kuhabiskan masa mudaku dengan mencari beasiswa dan bekerja lebih keras dari lainnya. Semua kulakukan untuk menciptakan sebuah dunia, di mana ibuku bisa membuka matanya dan tersadar bahwa cintanya yang suci itu hanyalah bertepuk sebelah tangan. Bukan cinta namanya bila membuat satu pihak selalu menjadi korban.

Hampir-hampir dunia itu berhasil kuciptakan, hingga suatu ketika sebuah panggilan dari ibuku menggagalkan semuanya.

“Pulanglah, Nak. Ayahmu telah tiada.”

Ternyata rencana Tuhan mendahului rencanaku. Hari itu juga aku pulang dengan perasaaan tak menentu. Kubayangkan ibuku pasti menangis tersedu, sedang aku harus berpura-pura meneteskan air mata haru. Aku benci pada diriku tapi tak mampu melawan perasaan tak bersalah itu.

“Nak!” Pelukan lebar ibuku menyambutku. Wajahnya terlihat lelah sebab menerima tamu tapi wajahnya tetap teduh seperti dulu, membuatku sedikit terkejut.

“Ayo kita hibur para pelayat ini, agar mereka tak bersedih…,” ajak Ibu, membuatku makin bertanya-tanya. Bukankah Ayah tak pernah ke mana-mana? Lalu dari mana datangnya mereka? Belasan, mungkin puluhan orang datang setiap hari, bahkan beberapa orang berasal dari luar negeri.

Salah satu dari mereka menyalamiku dan berkata, “Anda pasti bangga punya ayah seorang yang dermawan dan profesional dalam pekerjaannya. Beliau adalah seorang maestro, yang bertahun-tahun mendedikasikan diri sebagai pembuat boneka kayu, lalu boneka itu didonasikan ke panti asuhan di seluruh pelosok negeri, bahkan hingga ke negara lainnya. Sungguh sebuah kehilangan yang besar.”

Tepat di saat orang itu menghapus setitik air di sudut matanya, saat itu juga aku merasakan sebuah batu dihunjamkan ke dalam dadaku.

Jumlah kata: 500 kata.