Minggu, 18 November 2018

Selarik Sinar Merah di Dahinya

Wisam termangu. Matanya sesekali melirik ke bangku kosong di sebelahnya. Ia menghela napas. Nasir pasti sedang bergembira sekarang, pikirnya sejurus kemudian. Ia merindukan bocah kecil itu, teman sebangkunya yang rendah hati. 

Baginya Nasir selalu seperti mentari yang memancarkan cahayanya. Ia teringat momen-momen saat mereka belajar kelompok, atau saat ia bertanya tentang pelajaran yang tak dimengerti. Anak itu selalu punya jawabannya. Dia memang seperti kamus berjalan. Pantas jadi kesayangan semua murid dan guru.

Wisam suka bermain bola dan berlatih kung fu bersamanya. Juga menghapal Quran. Soal yang satu itu semangat Nasir sulit ditandingi. Tak habis-habis ia mengagumi sahabatnya itu.

* * *

“Assalamualaikum!” suara putranya seperti terngiang-ngiang di telinga Samah. Ia masih ingat betul tatapan matanya sebelum pamit berangkat.

Sebelum pergi Nasir masih menyempatkan membantu pekerjaan rumah. Punggung Samah yang bermasalah memang membuatnya agak kesulitan bergerak. Beruntung putra-putrinya benar-benar jadi penyejuk mata. Islam dan Duaa, kedua kakak perempuan Nasir rupanya memberikan teladan yang baik baginya. Lelaki kecilnya itu ringan tangan membantunya. Prestasi di sekolahnya juga membanggakan.

“Aku ingin ikut aksi, Bu,” ucapnya suatu ketika. Kala itu pawai kepulangan akbar akan digelar setiap Jumat. Islam dan Du’aa bergabung menjadi relawan medis. “Aku bisa membantu apapun yang dibutuhkan kakak, membawa tandu, menyiapkan obat-obatan, dan lainnya.”

Samah paham, keinginan putranya itu tak bisa dilawan. Saat itu ia teringat firman Allah SWT, ”Katakanlah: ‘jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Quran Surat At-Taubah ayat 24)

Saat mengiyakan keinginan putranya, ia sempat meminta, “Berjanjilah padaku untuk berada di sekitar tenda!” Itu adalah tempat pos tenaga medis. Letaknya di sebelah timur kota Khan Younis, sekitar setengah kilometer dari perbatasan Israel. Samah merasa itu adalah tempat yang cukup aman, meski ia sadar dalam kondisi perang seperti itu tak ada tempat yang benar-benar aman.

Setiap orang bisa saja terbunuh dalam kondisi terbaring di atas ranjang sekalipun, entah karena serangan misil Israel atau ledakan gas beracun. Ia tahu putranya yang bercita-cita menjadi hafidz sudah mempelajari makna ayat: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Quran Surat At-Taubah ayat 41)

Maka ia mencoba membesarkan hati setiap kali pria kecilnya pergi. Seperti juga Jumat pagi di Bulan September itu. Dia akan pulang seperti biasanya ketika senja tiba. Lalu ia akan menceritakan pengalamannya seharian dengan mata berbinar, kadang dengan mata sendu ketika melihat para syahid. Dia memang bocah yang cerdas dan lebih cepat dewasa.

“Kalau besar nanti, aku akan jadi dokter. Aku akan menjadi relawan medis di perbatasan. Dan aku akan mengobati punggungmu juga, Ibu!” janjinya. Matanya menerawang jauh. Samah tersenyum lebar. Hatinya sejuk mengaminkan.

* * *

“Nasir! Ambilkan kotak P3K!” Islam berteriak di antara bunyi desingan peluru dan ledakan bom. Asap hitam mengepul di udara. Ban-ban bekas yang terbakar menggelinding di kejauhan. Layang-layang dan balon berisi gas membumbung tinggi ke udara.

“Nasir! Nasir!”

Bocah kecil itu tersentak. Gegas ia mengambil kotak P3K di lemari penyimpanan. Kaki kecilnya berlari kencang menuju arah suara kakaknya. Di antara kobaran api dan gulungan asap tebal, ia berhasil melihat sosok gadis itu. Seperti juga hari-hari sebelumnya, keringat dan ceceran darah mewarnai jas putihnya.

Nasir mengulurkan kotak itu kepada kakaknya. Islam tersenyum. Detik berikutnya ia sudah tenggelam dalam kesibukan merawat korban-korban yang terluka. Adiknya pasti sudah kembali ke tenda, pikirnya. Sudah berbulan-bulan ia membantu membawakan perlengkapan medis di perbatasan dan adiknya selalu baik-baik saja. Ia sudah berjanji pada ibunya akan selalu menjaga adiknya. Tapi ia tahu, di saat-saat seperti ini hanya Yang Maha Menjaga yang bisa dimintai pertolongan.

Ia baru terpikir untuk mencari adiknya setelah selesai merawat demonstran yang cidera. Janjinya kepada ibunya memburu. Perasaan aneh tiba-tiba menyergap. Setengah panik, ia berteriak-teriak memanggil Nasir. Du’aa pun turut membantunya.

Dua jam kemudian, ia menemukan adik bungsunya di Rumah Sakit Gaza Eropa.

* * *

“Assalamualaikum!” suara putranya seperti terngiang-ngiang di telinga Samah. Ia masih ingat betul tatapan matanya sebelum pamit berangkat.

Putranya telah kembali pulang. Dadanya gemuruh. Kepedihan berkecamuk di hatinya. “Innalillahi wa innailaihi raa ji’uun,” air matanya meleleh. Mereka telah menemukannya di ruang jenazah rumah sakit.

Peluru itu tidak menyasar sembarangan. Yasser Abu Khater, salah seorang pengunjuk rasa berkata, “Seberkas sinar laser melewati kami dan mengarah tepat ke kepala anak itu ketika dia berlari.” Sniper Israel rupanya sudah putus asa menarget pejuang dewasa dan paramedis. Anak-anak adalah sasaran paling empuk.

Maut menghampiri Nasir ketika dia hendak kembali ke tenda. Selarik sinar merah itu telah memandu penembak jitu Israel untuk menarik pemicunya dan mencabut nyawa bocah sebelas tahun itu.

* * *

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Quran Surat Ali Imran ayat 169-170)

Wisam termangu. Matanya sesekali melirik ke bangku di sebelahnya. Sebuah karangan bunga plastik diletakkan di situ. Selembar foto sahabatnya yang sedang tersenyum bertengger di atasnya. Tulisannya terpampang nyata, “Syahid: Nasir Azmi Mishbah”.

Sumber
(Tulisan ini diadaptasi dari kisah nyata syahidnya Nasir Mishbah yang menjadi target penembak jitu Israel pada 28 September 2018 lalu pada pawai kepulangan akbar. Aksi demonstrasi ini dimulai sejak 30 Maret 2018 lalu dan masih berlangsung hingga kini.)

Tentang aksi pawai kepulangan akbar selengkapnya bisa dibaca di sini.

Jumat, 16 November 2018

Paku di Dalam Gelas (2)

Who are we? Just a speck of dust within the galaxy?
Woe is me, if we're not careful turns into reality

Don't you dare let our best memories bring you sorrow
Yesterday I saw a lion kiss a deer
Turn the page maybe we'll find a brand new ending
Where we're dancing in our tears and

God, tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?

Lagu Lost Star memenuhi ruangan kedai yang makin ramai di Jumat malam itu. Air mata gadis itu sudah surut. Matanya bengkak, cuping hidungnya masih merah, kontras dengan kulitnya yang putih mulus. 

Kakak sepupuku yang usianya lebih muda tujuh tahun dariku memang jelita. Cantik, muda, dan dari keluarga berada rupanya tak menjamin kebahagiaan. Aku paham benar tuntutan Budheku kepadanya bukan masalah finansial, tapi lebih karena gengsi.  

“Apakah masih sering muncul? Keinginan bunuh diri itu?” tanyaku hati-hati.

Dia terdiam. Matanya sendu.

“Dulu iya, sekarang gak lagi. Terakhir itu ayah dan ibuku umroh Dek. Mereka mungkin mendoakanku atau gimana. Yang jelas sekarang aku udah lebih nerima keadaan sih. Salat juga udah gak bolong-bolong lagi. Aku baru nyadar kalau mungkin salatku dulu gak khusyuk. Jadi badannya doang yang salat. Pikirannya gak.”

Dia menyeruput kopi susunya.

“Aku inget banget wajah ayah waktu aku terbangun di rumah sakit setelah lolos dari percobaan bunuh diri itu. Dia diam aja, kelihatan terpukul,” matanya berkaca-kaca. “Lalu suatu hari, aku terjatuh dari sepeda motor dan sempat bedrest di rumah selama tiga minggu. Ke mana-mana pakai kursi roda. Saat itu, ayah yang selalu menemaniku, bolak-balik terapi. Ibu sendiri kan masih sibuk ngajar. Baru saat itu aku sadar, ternyata punya kaki normal itu sebuah anugerah. Apalagi punya nyawa. Dan aku gak akan bikin ayah kecewa lagi dengan kelakuanku.”

Aku mengangguk-angguk. Sedikit bersyukur karena dia sudah sadar. Aku tak perlu menceramahinya panjang lebar. Manusia memang punya fase spiritual tersendiri. Tiap orang mungkin akan mencapai level yang berbeda-beda, dan standar fase itu tentu tidak akan sama satu dengan lainnya. Ada yang dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, ada juga yang harus melewati ujian sedemikian rupa. Semuanya untuk menaikkan derajatnya. Seperti juga kapal, makin jauh berlayar, angin yang bertiup tentu takkan sepoi-sepoi lagi.

“Kamu kan termasuk selebgram Mbak, followersmu banyak. Kenapa gak serius main di IG aja? Bikin konten di IG TV misalnya, atau jadi vlogger sekalian,” cetusku. Pipinya memerah, tersipu. Matanya seakan bilang: emang aku bisa?

“Kamu bisa Mbak, sangat bisa. Kamu punya modal itu. Selera fashionmu bagus, kamu juga pintar dandan. Bisa kan bikin tutorial make up atau bikin panduan outfit of the day, sekalian promosi daganganmu.”

Senyum samar tersungging di bibir merah mudanya.

“Kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau Mbak, asal jangan putus asa lagi. Jangan sekali-kali ngelakuin hal bodoh kayak gitu lagi. Mbak gak tahu, banyak orang yang menginginkan kehidupan sepertimu, padahal kamu malah membuangnya.”

Dia terhenyak, alisnya naik ketika aku mengucap kata “bodoh”.

“Aku emang bodoh, tapi waktu itu emang hidupku ancur banget, Dek. Aku udah ngelamar ke mana-mana dan gak keterima. Kalaupun sempat kerja magang tapi aku gak merasa betah jadi aku ngerasa stuck gitu,” nadanya tinggi dengan pandangan sinis seperti berkata: kamu tahu apa, PNS macam kamu mana ngerti rasanya pontang-panting cari kerja?

Cukup. Aku sudah kenyang dengan pandangan seperti itu. Dia sama seperti orang lain yang berpikir kalau ASN itu makhluk super minus derita, kecuali di tanggal tua. Tanpa bayang-bayang dipecat, pensiun aman, dapat penghasilan tetap tiap bulan. Itu semua gak salah, tapi gak benar juga kalau dianggap hidup kami bebas masalah.

“Ya, maaf Mbak, kalau aku salah ngomong. Aku cuma ngingetin aja. Aku emang gak pernah ngerasain susahnya cari kerja, tapi kan suamiku dulu kerja di swasta, jadi tahulah gimana kerasnya persaingan hidup. Bahkan dulu dia sempat lama nganggur, bertahun-tahun sampai dia depresi dan sempat hilang ingatan...,” aku tak tahan lagi untuk bercerita.

Melihat kakak sepupuku itu aku seperti melihat suamiku beberapa tahun lalu. Setelah anak ketigaku lahir, ia kehilangan pekerjaan. Dipecat dengan tidak hormat tepatnya. Seorang kolega yang dipercaya mengkhianati dan memfitnahnya. Rupanya lelaki yang disangkanya teman itu punya kedengkian yang dalam. Dia menyebarkan berita bohong yang membuat nama baik suamiku tercoreng dan susah mencari pekerjaan.

Waktu itu aku belum menyadari kalau dia depresi. Aku yang kecewa selalu menyalahkan keadaannya. Ditambah lagi aku terkena baby blue syndrome. Lengkaplah sudah. Suamiku makin mengurung diri, asyik dengan dunianya sendiri. Aku yang kehilangan nakhoda segera mengambil alih kemudi, tanpa sedikitpun sadar bahwa nakhoda yang asli telah tenggelam ke lautan yang dalam.

Bertahun-tahun hidup seperti burung yang terbang dengan sebelah sayap, aku terbiasa mandiri. Sosok suamiku semakin menciut. Anak-anak tak terurus sebab aku sibuk mencari tambahan sampingan. Tapi seberapa banyaknya aku mencari uang, kondisi keuanganku masih saja berantakan. Belum lagi dengan pertengkaran-pertengkaran kami. Pertengkaran juga bukan kata yang tepat. Aku bermonolog, tepatnya. Bagaimana mungkin aku bisa bertengkar dengan sebatang pohon pisang yang seharian hanya berbaring di atas ranjang?

_Bersambung_

Bagian kesatu klik di sini.

Rabu, 14 November 2018

Paku di Dalam Gelas (1)

Menutup mata dan masih melihat langit-langit yang sama
Kaki memijak di bumi yang lain
Kesadaran tak pernah datang di detik yang sama
Aku waras
Justru di saat aku secara sadar menggila
Menggigit takdir yang makin hari makin liat
Mengunyah pagi dan memuntahkan malam menjelang tidur
Tapi tak pernah benar-benar tidur
Lelap adalah kemewahan tak terhingga
Ia menempati langit-langit rumah
Yang tak pernah benar-benar jadi rumah


* * *

“Jadi gimana hasil tesnya?”

Tiap mendengar pertanyaan itu tiba-tiba aku serasa jadi Kapten Colter Stevens yang masuk ke sistem Source Code dan memerankan Sean Fentress untuk diledakkan berkali-kali. Sial!

“Loh, Mbak kok bengong?” adik sepupuku yang umurnya lebih tua dariku tersenyum manis. Karena ayahku adalah anak tertua maka semua sepupuku dari keluarga ayah harus kupanggil “Dek”. Menggelikan.

“Semingguan ini aku sudah ditanya belasan kali oleh orang yang berbeda. Bete.”

Dia tersenyum, maklum.

“Aku dengar susah ya, si Nanda kan gak lulus tes CPNS juga Mbak.” Nanda itu nama adiknya, seumuranku tapi sudah lebih dulu menikah.

Ditanya begitu aku seperti keran yang diputar tuasnya. “Gimana gak susah, pertanyaannya aneh banget, masak soalnya begini: Misalnya kamu sudah janjian sama teman pergi nonton di malam Minggu, lalu tiba-tiba ibumu melarang, apa yang akan kamu lakukan?”

Dia tertawa terbahak-bahak. Nyaris tersedak. “Kalau udah gede ya bakal pilih jawaban untuk nyoba negosiasi dengan ibu. Tapi katanya yang jawab gitu malah kebanyakan gak lolos,” keluhku.

Lalu kupuas-puaskan cerita soal ini dan itu pertanyaan lain yang jawabannya mirip-mirip. Membikin pusing. Kurasa yang bisa lolos tes itu memang jenis manusia yang waktu kecil rajin minum susu dan menggosok gigi sebelum tidur. Manusia dengan spesifikasi khusus bernama penurut. Cocok sekali dengan profil aparatur sipil negara yang ideal.

Kukira aku bakal tertekan di hadapan adik sepupuku ini. Dia sendiri PNS, belasan tahun bekerja di institusi pengelola keuangan negara. Entah apa nama kantornya. Kurasa dia tak bakal tahu rasanya gagal ujian tes CPNS. Setelah lulus SMA dia langsung masuk STAN dan langsung penempatan. Mana dia tahu rasanya susah mencari kerja?

“Lalu passionmu apa Mbak? Maksudku, jujur nih, kukira jadi PNS bukan passionmu.”

Aku terdiam. Ternganga tepatnya. Di kampung ibuku menyalahkanku karena tak lolos ujian ini. Begitu juga tante dan om yang tinggal dekat rumah. Ayahku mendiamkanku selama seminggu. Semalam Pakdhe menasihatiku panjang kali lebar dan mengkritik habis-habisan gaya hidupku yang katanya bohemian. Dan dia, yang PNS dengan karir yang mulus tanpa cela malah bertanya tentang passion?

“Yah, kau tahu, sebenarnya kan aku masih jadi konsultan freelance di butik punya teman. Juga jualan online di medsos. Per minggu omzetku bisa sampai dua jutaan lah.”

Dia mengangguk sambil mengulum senyum.

“Itu karena kekurangan bahasa kita dalam mendefinisikan kata 'bekerja',” jelasnya. Matanya berbinar terang. Aku jarang bertemu adik sepupuku yang beranak tiga ini. Selama bertahun-tahun, ini adalah kali pertama kami menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol. Dan dia langsung membuatku terpana.

“Di barat sana, mereka punya dua sebutan untuk bekerja: work dan job. Work tak memerlukan posisi, tak menempel pada jabatan dan hirarki. Sebaliknya dengan job. Taulah, orang tua kita adalah generasi baby boomers. Mana mereka tahu bedanya work dengan job, sebab definisi bekerja bagi mereka hanya satu. Duduk manis di kantor dan berpakaian rapi. Sekian dan terima gaji. Hihihi.”

Aku terkikik. Tak terpikirkan olehku soal ini. Sehari-hari sejak lulus kuliah memang aku fokus jualan online dari rumah. Aku bahkan tak perlu ke kota sebelah untuk kulakan baju dagangan. Semua beres dengan sistem dropship. Dan kalau temanku butuh bantuanku mengatur butiknya, aku tinggal video call atau koordinasi via whatsapp. Habis perkara.

Tapi ibu dan semua orang di rumah tak ada yang mengerti. Begitu juga pakde tempatku semalam menginap di kota besar ini. Semua berharap aku lulus tes CPNS di ibukota dan mendapatkan posisi yang mapan. Celakanya, lapangan pekerjaan yang ada di kota kecil kami tak selalu sesuai dengan spesifikasi keahlianku.

“Aku sering terbangun sambil mengeluh, kenapa masih harus menjalani hidup sehari lagi dalam keterasingan. Di rumahku sendiri aku terbelenggu. Ibu tak membolehkanku cari kerja di kota lain. Kecuali untuk jadi PNS. Dan itu kan susah banget. Saking putus asa, pernah terbersit keinginan untuk mati saja.”

Sepupuku terdiam. Dia mengelus-elus bahuku lalu menggenggam tanganku erat.

“Aku tak tahu untuk apa aku harus dilahirkan kalau hanya untuk dicerca setiap hari. Apa hak mereka mengkritikku habis-habisan, bahkan tanpa pernah bertanya apa yang sudah kulakukan?” aku tak tahan untuk menumpahkan segalanya, sambil meraung-raung. Tak kupedulikan orang-orang di kedai yang mulai memerhatikan kami.

Kubiarkan diriku menangis tersedu di pelukan sepupuku. Di saat seperti ini, badannya yang gemuk dan bahunya yang empuk sangat memberikan kehangatan. Dan dia tidak menyalahkanku.

“Seperti paku. Kata-kata yang tajam itu seperti paku. Ia menancap dalam lalu menorehkan luka. Meski dicabut, tak lantas lubang jejak paku itu akan menutup dengan sempurna. Pasti akan membekas,” ujarnya lirih. Aku tertegun.

“Pernah suatu ketika aku update status di medsos, lagi main ke pantai menghirup udara segar, setelah sebulan sebelumnya mencoba membenamkan diri di bak mandi. Sumpah, di pantai itu rasanya aku ingin menenggelamkan diri lagi. Tapi aku tahan-tahan. Eh, ada yang komentar, ‘Kerja, kerja! Main terus!’ Memangnya aku ke pantai pakai duitnya apa? Apa haknya menghakimiku seperti itu? Dia tahu apa sih tentang hidupku?” isakku getir.

Sepupuku mengelus-elus bahuku.

“Aku bahkan pernah sampai di titik tak mau beribadah lagi. Aku merasa sudah salat, sudah baca Quran, tapi kenapa hidupku masih begini-begini aja? Lihat temanku, dia gak pernah salat, kerjaannya clubbing, hidupnya baik-baik aja, punya kerjaan tetap dan punya pacar. Sedangkan aku?” Aku sadar memang aku jones: jomblo ngenes.

_Bersambung ke Bagian 2_

Sabtu, 03 November 2018

Helium

Oleh: Edmalia Rohmani
Editor: Riza Almanfaluthi

Penjual balon itu tak menyadari bahwa sedari tadi sepasang mata selalu mengawasi gerak-geriknya. Trik cerdiknya melepas beberapa balon untuk menarik perhatian pelanggan kecilnya ternyata cukup berhasil. Tinggal tersisa beberapa balon saja. Saat ia memutuskan untuk berkemas-kemas, seorang bocah berkulit hitam menghampirinya.

"Tak adakah balon hitam yang bisa diterbangkan? Apakah balon berwarna hitam tak bisa terbang ke angkasa?" ia bertanya dengan mata berkaca-kaca. Saat itu akhir dekade 60-an, diskriminasi ras masih lestari di beberapa negara bagian Amerika.

Mendengar pertanyaan itu sang penjual tersenyum. Seketika ia mengambil sebuah balon berwarna hitam, memompanya penuh-penuh dan mengikatkan seutas benang pada pangkalnya.

"Kenapa berpikir ia tak bisa terbang karena berwarna hitam? Yang membuatnya terbang adalah isinya, bukan warnanya," hiburnya sambil memindahkan balon hitam ke tangan mungil itu. Mata anak itu bersinar-sinar. Baginya, jawaban itu sangat tak tepermanai.



Beberapa dasawarsa sebelumnya, tepat setelah masa perang dunia pertama, para ilmuwan masih menjadikan metode Stanford-Binet sebagai standar penilaian kecerdasan. Parameter tunggal yang saat itu digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Amerika, terutama karena pengaruh Lewis Terman, seorang profesor muda dari Stanford University. Ide ekstrimnya kadang mengundang kontroversi, seperti melarang seseorang ber-IQ rendah untuk memiliki anak dan pemberian jabatan penting semata-mata dari skor inteligensi yang tertinggi.

Suatu ketika, ia mengamati seorang anak laki-laki yang bekerja sebagai pramubakti di sebuah sekolah dekat universitasnya. Henry Cowell, nama anak itu, diam-diam sering menyelinap ke ruang seni musik sehabis jam bekerja untuk memainkan piano dengan alunan musik sangat indah, yang dipelajarinya secara otodidak.

Ketika mendapati skor IQ Cowell 140, sebuah kesadaran menyergap Terman. Berapa juta mutiara terpendam berserakan di luar sana yang akan tersia-sia? Cemas dengan hal itu, ia bertekad melakukan sesuatu.

Selama puluhan tahun kemudian, ia mendedikasikan diri untuk mengumpulkan anak-anak semacam Cowell dan mempelajari kehidupan mereka. Lebih dari seribu anak dengan rentang IQ 140-200 menjadi subjek penelitiannya yang bersejarah.   

Para "Termites", sebutan mereka, senantiasa diawasi, diuji, dan dianalisis hasil penilaiannya. Berbagai capaian akademisnya dicatat, begitu pula dengan kehidupan pribadinya. Kesehatan fisik dan psikisnya selalu dipantau, dengan tabel dan beragam catatan. Terman bahkan menuliskan surat rekomendasi saat mereka mencari pekerjaan atau kuliah pascasarjana.

Ia mendokumentasikan jurnalnya dalam sebuah buku tebal berjudul Genetic Studies of Genius. Dalam pandangan visionernya, para "Termites" akan menjadi kelompok elit yang menguasai berbagai lini kehidupan dan mengubah wajah dunia. 

Faktanya, ketika para subjek penelitian itu dewasa, hanya beberapa saja yang mempunyai pengaruh nasional. Tidak ada satupun yang berhasil memenangkan hadiah Nobel. Bahkan, Terman sendiri menilai beberapa dari mereka menemui kegagalan.

"Kita telah melihat," ungkapnya kecewa, "bahwa kecerdasan intelektual dan keberhasilan sangat jauh hubungannya." Kesimpulan ini menutup penelitiannya dan menahbiskan lindapnya lema "jenius" pada buku Genetic Studies of Genius jilid keempat.

Hipotesis Terman yang patah seakan memaksa kita kembali ke kisah pertama. Apakah "isi" dari balon yang sebenarnya menjadi bahan kesuksesan? Benarkah keunggulan hereditas atas inteligensi bukan tiket satu-satunya dalam melambungkan hidup seseorang?

Bahkan setelah hampir dua puluh tahun sejak pergantian milenial, kita masih terpesona dengan paradigma lama tentang faktor pencetus keberhasilan. Ketergesaan dalam mengecap seseorang berdasar satu atau dua penilaian tentu berbahaya, apalagi coba-coba meramal masa depannya berdasarkan satu atau dua digit angka. 

* * *

Mungkin kita bisa belajar sedikit dari kisah hidup Oprah Winfrey. Tumbuh dengan latar belakang orang tua yang bercerai, membuatnya terlibat kenakalan remaja dan gemar kabur dari rumah. Menjadi objek pelecehan seksual kerabatnya selama lima tahun membuatnya hamil di usia muda. Pada umur 14 tahun ia melahirkan bayi yang hanya mampu bertahan hidup dua pekan saja.

Hampir frustrasi dan pesimis melihat masa depan putrinya, sang ibu lalu mengirimnya pada sang ayah yang mantan militer. Sejak itu ia menjalani hidup seperti tentara. Tak ada waktu bersantai. 

Didikan yang keras memaksanya bertransformasi. Berhasil meraih predikat pelajar teladan, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Debutnya bermula saat menjadi penyiar radio lokal di usia 17 tahun. Dua tahun kemudian, sebuah stasiun televisi mengorbitkannya sebagai wanita berkulit hitam pertama yang menjadi penyiar berita di stasiun televisi itu.

Medio 2017, Forbes mencatat kekayaannya mencapai Rp38 triliun, menjadikannya wanita Afro-Amerika terkaya di dunia. Ia adalah ratu acara bincang-bincang di TV, pemilik jaringan TV kabel, penerbitan majalah, rumah produksi, program TV, dan satelit radio sendiri.  

Ketika ditanya rahasianya ia membocorkan, "Rahasia terbesar dari kehidupan adalah tak ada rahasia. Apapun tujuannya kamu akan bisa mencapainya bila tak pernah berhenti berusaha."

The Giving Back Fund Foundation memberinya gelar selebritas paling dermawan. Tak kurang dari Rp536 miliar digelontorkannya untuk program pendidikan dan perlindungan wanita dan anak-anak. Hingga kini badan amal yang didirikannya telah menghabiskan jutaan dolar untuk membiayai sekolah di negara miskin di Afrika.

Baginya, berbuat baik adalah satu cara untuk membawa kebaikan bagi diri sendiri, sekaligus berdamai dengan masa lalu. Ia telah berhasil mengisikan "helium" bagi kehidupannya. Sesuatu yang seringkali luput dari penilaian kita.

Lalu, alih-alih memenuhi "balon" dengan segenap kemampuan yang ada, kita seringkali menjadi permisif; mencari seribu satu alasan untuk memaklumi diri dan memaafkan untuk tidak mengisinya dengan paripurna. (ER/RZ)

Artikel ini telah ditayangkan pada majalah Intax DJP edisi April 2018.

Baca juga : Sosok Pegawai Teladan DJP