Jumat, 16 November 2018

Paku di Dalam Gelas (2)

Who are we? Just a speck of dust within the galaxy?
Woe is me, if we're not careful turns into reality

Don't you dare let our best memories bring you sorrow
Yesterday I saw a lion kiss a deer
Turn the page maybe we'll find a brand new ending
Where we're dancing in our tears and

God, tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?

Lagu Lost Star memenuhi ruangan kedai yang makin ramai di Jumat malam itu. Air mata gadis itu sudah surut. Matanya bengkak, cuping hidungnya masih merah, kontras dengan kulitnya yang putih mulus. 

Kakak sepupuku yang usianya lebih muda tujuh tahun dariku memang jelita. Cantik, muda, dan dari keluarga berada rupanya tak menjamin kebahagiaan. Aku paham benar tuntutan Budheku kepadanya bukan masalah finansial, tapi lebih karena gengsi.  

“Apakah masih sering muncul? Keinginan bunuh diri itu?” tanyaku hati-hati.

Dia terdiam. Matanya sendu.

“Dulu iya, sekarang gak lagi. Terakhir itu ayah dan ibuku umroh Dek. Mereka mungkin mendoakanku atau gimana. Yang jelas sekarang aku udah lebih nerima keadaan sih. Salat juga udah gak bolong-bolong lagi. Aku baru nyadar kalau mungkin salatku dulu gak khusyuk. Jadi badannya doang yang salat. Pikirannya gak.”

Dia menyeruput kopi susunya.

“Aku inget banget wajah ayah waktu aku terbangun di rumah sakit setelah lolos dari percobaan bunuh diri itu. Dia diam aja, kelihatan terpukul,” matanya berkaca-kaca. “Lalu suatu hari, aku terjatuh dari sepeda motor dan sempat bedrest di rumah selama tiga minggu. Ke mana-mana pakai kursi roda. Saat itu, ayah yang selalu menemaniku, bolak-balik terapi. Ibu sendiri kan masih sibuk ngajar. Baru saat itu aku sadar, ternyata punya kaki normal itu sebuah anugerah. Apalagi punya nyawa. Dan aku gak akan bikin ayah kecewa lagi dengan kelakuanku.”

Aku mengangguk-angguk. Sedikit bersyukur karena dia sudah sadar. Aku tak perlu menceramahinya panjang lebar. Manusia memang punya fase spiritual tersendiri. Tiap orang mungkin akan mencapai level yang berbeda-beda, dan standar fase itu tentu tidak akan sama satu dengan lainnya. Ada yang dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, ada juga yang harus melewati ujian sedemikian rupa. Semuanya untuk menaikkan derajatnya. Seperti juga kapal, makin jauh berlayar, angin yang bertiup tentu takkan sepoi-sepoi lagi.

“Kamu kan termasuk selebgram Mbak, followersmu banyak. Kenapa gak serius main di IG aja? Bikin konten di IG TV misalnya, atau jadi vlogger sekalian,” cetusku. Pipinya memerah, tersipu. Matanya seakan bilang: emang aku bisa?

“Kamu bisa Mbak, sangat bisa. Kamu punya modal itu. Selera fashionmu bagus, kamu juga pintar dandan. Bisa kan bikin tutorial make up atau bikin panduan outfit of the day, sekalian promosi daganganmu.”

Senyum samar tersungging di bibir merah mudanya.

“Kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau Mbak, asal jangan putus asa lagi. Jangan sekali-kali ngelakuin hal bodoh kayak gitu lagi. Mbak gak tahu, banyak orang yang menginginkan kehidupan sepertimu, padahal kamu malah membuangnya.”

Dia terhenyak, alisnya naik ketika aku mengucap kata “bodoh”.

“Aku emang bodoh, tapi waktu itu emang hidupku ancur banget, Dek. Aku udah ngelamar ke mana-mana dan gak keterima. Kalaupun sempat kerja magang tapi aku gak merasa betah jadi aku ngerasa stuck gitu,” nadanya tinggi dengan pandangan sinis seperti berkata: kamu tahu apa, PNS macam kamu mana ngerti rasanya pontang-panting cari kerja?

Cukup. Aku sudah kenyang dengan pandangan seperti itu. Dia sama seperti orang lain yang berpikir kalau ASN itu makhluk super minus derita, kecuali di tanggal tua. Tanpa bayang-bayang dipecat, pensiun aman, dapat penghasilan tetap tiap bulan. Itu semua gak salah, tapi gak benar juga kalau dianggap hidup kami bebas masalah.

“Ya, maaf Mbak, kalau aku salah ngomong. Aku cuma ngingetin aja. Aku emang gak pernah ngerasain susahnya cari kerja, tapi kan suamiku dulu kerja di swasta, jadi tahulah gimana kerasnya persaingan hidup. Bahkan dulu dia sempat lama nganggur, bertahun-tahun sampai dia depresi dan sempat hilang ingatan...,” aku tak tahan lagi untuk bercerita.

Melihat kakak sepupuku itu aku seperti melihat suamiku beberapa tahun lalu. Setelah anak ketigaku lahir, ia kehilangan pekerjaan. Dipecat dengan tidak hormat tepatnya. Seorang kolega yang dipercaya mengkhianati dan memfitnahnya. Rupanya lelaki yang disangkanya teman itu punya kedengkian yang dalam. Dia menyebarkan berita bohong yang membuat nama baik suamiku tercoreng dan susah mencari pekerjaan.

Waktu itu aku belum menyadari kalau dia depresi. Aku yang kecewa selalu menyalahkan keadaannya. Ditambah lagi aku terkena baby blue syndrome. Lengkaplah sudah. Suamiku makin mengurung diri, asyik dengan dunianya sendiri. Aku yang kehilangan nakhoda segera mengambil alih kemudi, tanpa sedikitpun sadar bahwa nakhoda yang asli telah tenggelam ke lautan yang dalam.

Bertahun-tahun hidup seperti burung yang terbang dengan sebelah sayap, aku terbiasa mandiri. Sosok suamiku semakin menciut. Anak-anak tak terurus sebab aku sibuk mencari tambahan sampingan. Tapi seberapa banyaknya aku mencari uang, kondisi keuanganku masih saja berantakan. Belum lagi dengan pertengkaran-pertengkaran kami. Pertengkaran juga bukan kata yang tepat. Aku bermonolog, tepatnya. Bagaimana mungkin aku bisa bertengkar dengan sebatang pohon pisang yang seharian hanya berbaring di atas ranjang?

_Bersambung_

Bagian kesatu klik di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^