Rabu, 11 Desember 2019

Mantra Kebahagiaan


Alkisah, di Denmark hiduplah seorang tukang kayu miskin bernama Ole. Terlahir sebagai bungsu dari sepuluh bersaudara di keluarga sederhana, ia tak punya pilihan selain bekerja ekstra keras untuk memperbaiki hidupnya.

Beruntung, ia menemukan tambatan hati di usia yang telah cukup untuk menikah, Kirstine. Wanita itu lembut tetapi teguh pendirian, serta memiliki watak yang setia dan sabar. Ia menjadi sumber kekuatan bagi Ole.

Kehidupan ekonomi mereka sedikit demi sedikit meningkat, begitu pula jumlah anak. Tak lama setelah kelahiran putra bungsunya, masa Depresi Besar tiba. Ole terpaksa kehilangan mata pencahariannya.

Jangan khawatir Sayang, sammen kan vi,” istri Ole menyemangati. Serupa mantra, semangat Ole pun mulai membara. Namun, tragedi begitu rajin menghampiri. Kirstine wafat di usia muda, meninggalkan Ole dengan keempat putranya.

Kepergian belahan jiwa membuat dunia Ole limbung, hingga memengaruhi psikis buah hatinya. Menyadari hal itu, Ole tak ingin berlama-lama terpuruk. Untuk menghibur putranya, ia membuat mainan bebek dari bahan limbah kayu. Cara itu berhasil membuat mereka tersenyum kembali!

Ia lalu berpikir andai lebih banyak lagi anak-anak yang bahagia karena mainan itu. Pada tahun 1932, ia mendirikan The Danish Company yang mulai memproduksi mainan anak-anak. Dalam waktu singkat usahanya membuahkan hasil, permintaan mainan anak tetap tinggi meski kondisi ekonomi sedang sulit.

Hingga, lagi-lagi ujian kehidupan menerpa. Di tahun 1940, sebuah kebakaran besar melanda pabrik. Semua kandas dilahap si jago merah. Godtfred, salah satu putra Ole, terpuruk dalam kesedihan.

Ingatkah kau, Nak, apa yang akan dikatakan ibumu di saat seperti ini?” Tanya Ole. Putranya mengangguk. Sammen kan vi, bisiknya dalam hati. Lagi-lagi mantra itu bekerja. Momentum ini mengakibatkan restorasi bangunan pabrik dan perubahan mendasar pada bisnis perusahaan.

Sejak itu mereka mulai memproduksi mainan anak secara massal dan besar-besaran. Ole mendaftarkan perusahaan dengan nama resmi “LegetOjsfabrikken LEGO Billund A/S”. Jenama mainan mereka kini lebih dikenal dengan Lego, berasal dari kata Leg Godt yang berarti “Bermain dengan Baik”. Dalam bahasa Latin, kata ini juga bisa berarti “menyusun”.

Di masa perkembangannya, lagi-lagi musibah datang. Terjadi kebakaran pada divisi Lego yang memproduksi mainan kayu pada tahun 1960. Kala itu Ole telah tiada. Alih-alih meratapi nasib, Godtfred sebagai penerus usaha memutuskan untuk fokus memproduksi mainan plastik.

Keputusan ini menjadikan Lego sebagai mainan anak-anak terlaris pada saat itu. Dua tahun setelahnya, roda Lego berhasil diciptakan. Pada tahun 1968, Taman Lego di Billund berhasil diresmikan. Mainan bebek kayu yang legendaris itu berevolusi menjadi bata plastik yang dapat disusun menjadi bentuk apa saja.

Meski dirundung berbagai masalah, perusahaan Lego mampu berkali-kali bangkit dan membalikkan keadaan. Balok-balok mainan plastik yang terserak itu seakan menyiratkan makna bahwa yang tercerai-berai dapat disusun menjadi beraneka macam bentuk bila disatukan dalam kebersamaan.

Kebersamaan adalah kunci kebahagiaan

Hal ini diafirmasi dari hasil sebuah riset terlama di Amerika. Dalam kurun waktu 75 tahun, Grant & Glueck dari Harvard meneliti ratusan orang untuk mengukur kemampuan fisik dan emosional mereka.

Pada akhir riset, Direktur Harvard Study of Adult Development Robert Waldinger memaparkan data, bahwa mereka yang kesepian rentan terkena gangguan kesehatan, bahkan cenderung mati di usia muda. Obat dari kesendirian bukanlah menghabiskan waktu di tempat ramai, sebab di tengah kebisingan itu manusia bisa saja merasa sepi.

Ini bukan soal jumlah teman yang dimiliki dan bukan tentang seberapa besar komitmen terhadap suatu hubungan,” jelasnya. Ini pun tak ada hubungannya dengan pencapaian duniawi seperti ketenaran, jumlah pengikut yang banyak, karir yang sukses, atau uang yang berlimpah.

Penelitian menunjukkan jika kita punya seseorang yang bisa diandalkan, maka hidup akan lebih rileks sehingga terhindar dari sakit mental dan fisik. Dalam tataran beragama, kita meyakini Tuhan sebagai tempat mengadu dan meminta jalan keluar dari semua permasalahan hidup.

Rasa kebersamaan ini adalah bentuk lain dari cinta. Ketenangan luar biasa akan selalu hadir ketika masalah tiba-tiba mendera. Di level ini manusia akan merasakan kehadiran yang dicintainya meski tak tampak oleh mata atau telah tiada.

Kebersamaan itu begitu subtil, merasuk ke relung hati, dan tak terdefinisi. Seperti mantra Kirstine yang berhasil mengantarkan keluarga Ole menuju gerbang kesuksesan. Kalimat itu takkan lahir kecuali dari jiwa yang tulus mencintai. Begitu kuatnya renjana itu hingga terasa lintas generasi. Sampai akhir hidupnya, Ole tak mampu menemukan wanita lain sebagai pengganti.

Betapa beruntungnya, ia yang berhasil memegang kunci dan memahami makna di balik mantra kebahagiaan itu. Semua akan terasa mudah untuk diharmonisasi, sebab sumber kebahagiaan sejati itu bersemayam di dasar hati. Mungkin benar syair Rumi, “Pada akhirnya, para pecinta tak bersua di suatu lokasi. Mereka satu sama lainnya senantiasa membersamai.”



Sumber: Dok. Pribadi
Artikel ini pertama kali terbit di Majalah Intax edisi III 2019
.
Editor: Devi Isnantiyasari