Kamis, 17 Januari 2019

Empat Paradigma Baru Pajak UMKM

Sumber
Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi tulang punggung perekonomian negara. Hal ini dibuktikan dengan peranannya yang mendominasi hingga lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) dan memiliki proporsi 99% dari total pelaku usaha di Indonesia. Sektor ini tentu tak dapat dipandang sebelah mata. Fakta yang menunjukkan bahwa kontribusi pajak hanya sebesar 2,2% terhadap total penerimaan PPh yang dibayar sendiri oleh wajib pajak menunjukkan otoritas pajak perlu memberikan perhatian dan penanganan khusus.

Itu adalah salah satu latar belakang terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23/2018) yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46/2013). Di dalam aturan tersebut, diberikan beberapa kemudahan dan juga insentif kepada para pelaku UMKM agar dapat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal. Salah satu bentuk insentif itu adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final dari satu persen menjadi setengah persen. Dengan insentif ini diharapkan wajib pajak akan makin berkembang usahanya dan dalam jangka waktu tertentu dapat menambah kontribusinya kepada negara melalui pajak.

Selain perubahan tarif, ada perbedaan mendasar dengan PP 46/2013 yang kiranya perlu dicermati dan dapat diberikan masukan agar pelaksanaan PP 23/2018 dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Kemudahan dari Sisi Administrasi

Sebelumnya, dalam PP 46/2013 diatur mengenai penggunaan SKB (Surat Keterangan Bebas) untuk membebaskan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21/22/23 oleh pihak lain dengan pengajuan legalisir ke kantor pajak terdaftar. Untuk mendapatkan legalisir ini, wajib pajak harus terlebih dahulu menyetor pembayaran PPh Final sebesar satu persen dari omzet sebagaimana dalam surat perjanjian/invoice yang dilampirkan. Ketentuan ini juga mengatur bahwa SKB harus diajukan per jenis pajak.

Praktik ini selain merepotkan wajib pajak yang harus bolak-balik melegalisir SKB, terkadang juga merugikan manakala ternyata lawan transaksi –karena satu dan lain hal- menolak menggunakan SKB itu. Walhasil, alih-alih dibebaskan PPh-nya, wajib pajak malah menanggung dua kali pemajakan atas satu objek yang sama. Meski masih bisa mengajukan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atau mengakuinya di SPT Tahunan sebagai kredit pajak, kebanyakan wajib pajak enggan mengambil opsi kedua lantaran malas berhadapan dengan pemeriksa pajak.

Dalam skema PP 23/2018, terdapat Surat Keterangan yang menerangkan kepada pemotong/pemungut PPh lawan transaksi bahwa atas penghasilan wajib pajak UMKM tersebut harus dipotong PPh Final sebesar 0,5% dari nilai dasar pengenaan pajaknya. Tidak diperlukan lagi legalisir ke kantor pajak. Dengan demikian, biaya kepatuhan wajib pajak akan bisa ditekan.

Dalam hal ini, sosialisasi kepada wajib pajak badan selaku pihak pemotong/pemungut PPh dan terutama kepada bendaharawan pemerintah dan non-bendaharawan harus segera dilakukan secara masif agar tidak ada lagi resistensi dalam penggunaan Surat Keterangan. Aturan petunjuk pelaksanaan terkait tata cara pelaporan pemotongan/pemungutan PPh Final ini pun harus segera diterbitkan untuk mempermudah pengawasan dan tidak menimbulkan perbedaan penerapan di lapangan.

Berakhirnya Rezim Switching

Sebelum PP 23/2018 terbit, wajib pajak yang omzetnya naik-turun di kisaran angka 4,8 miliar rupiah dipusingkan dengan berganti-gantinya metode penghitungan PPh akibat perubahan omzet. Apabila di tahun lalu omzet di atas nilai itu, wajib pajak harus menggunakan skema tarif Pasal 17 UU PPh. Apabila omzet di bawahnya, maka kembali menggunakan skema PPh Final satu persen. Wajib pajak yang tidak memahami aturan ini harus direpotkan dengan permohonan pemindahbukuan atas jenis setoran yang salah atau bahkan diperiksa pajaknya atas kelebihan bayar dalam SPT Tahunan akibat terlambat mengajukan SKB PP 46.

Aturan baru meniadakan hal ini. Sekali wajib pajak beromzet 4,8 miliar rupiah ke atas maka di tahun pajak berikut dan seterusnya wajib menggunakan tarif PPh Pasal 17 dan mengadakan pembukuan. Ini memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan menghindari kerumitan akibat gonta-ganti skema penghitungan PPh.

PPh Final Adalah Pilihan

Pada PP 46/2018, PPh Final dikenakan atas penghasilan bruto yang diperoleh dari nilai transaksi sebelum dikurangi biaya-biaya usaha sehingga wajib pajak tidak dapat mengkui kerugiannya. Sebenarnya metode ini lazim digunakan di negara-negara berkembang atau negara-negara yang baru terbentuk dan dalam periode transisi. Skema pemajakan ini dinilai simpel, menyasar kalangan yang sulit dipajaki, dan belum siap untuk memakai sistem akuntansi yang rapi.

Sayangnya, bagi wajib pajak yang laba usahanya relatif kecil, metode final ini tidak menguntungkan sehingga berpotensi terjadi penggelapan pajak dengan mengecilkan omzet atau tidak menyetorkan jumlah pajak yang sebenarnya. Ini bagai memakan buah simalakama, antara jujur atau berpotensi menderita kerugian usaha.

PP 23/2018 tidak menjadikan skema pemajakan PPh Final sebagai kewajiban, melainkan sebagai opsi. Wajib pajak diperkenankan tidak menggunakan metode ini setelah mengirimkan surat pemberitahuan ke kantor pajak terdaftar. Aturan ini mendorong UMKM agar siap memasuki ekonomi formal dan bersungguh-sungguh dalam menghitung laba bersihnya. Kesungguhan ini akan memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya sesuai proporsi. Ini adalah perwujudan dari azas keadilan pajak.

Pembukuan Bukan Momok

Beberapa pihak mengeluhkan jangka waktu pengenaan PPh Final yang dirasa terlalu pendek: 3 tahun bagi PT; 4 tahun bagi CV, Firma, dan Koperasi; dan 7 tahun bagi orang pribadi. Sebenarnya, wajib pajak UMKM yang telah terdaftar dan sebelumnya telah menggunakan skema PP 46/2013, sudah menikmati insentif pajak dari pemerintah selama lima tahun terakhir.

Bagi pelaku UMKM yang baru ber-NPWP setelah berlakunya aturan ini, PP 23/2018 memberikan paradigma baru bahwa pembukuan seharusnya dipandang sebagai instrumen yang membantu wajib pajak mengevaluasi dan mengambil keputusan terkait pengembangan usahanya, alih-alih sebagai momok yang menakutkan.

Jangka waktu tertentu pengenaan PPh Final di tahun-tahun awal berusaha adalah kesempatan untuk belajar pembukuan dan menghitung laba bersih usaha. Dengan demikian, ketika wajib pajak menyudahi jangka waktu fasilitas PPh Final, ia telah siap memahami hak dan kewajibannya dengan menggunakan metode tarif PPh Pasal 17.

Para wajib pajak tak perlu khawatir, kini banyak aplikasi yang mendukung UMKM untuk belajar pembukuan sederhana. Ditjen Pajak pun gegas berbenah. Medio tahun ini telah diluncurkan petunjuk pelaksanaan program Business Development Services (BDS) sebagai salah satu strategi dalam membina dan mengawasi wajib pajak secara berkesinambungan.

Beberapa bentuk program ini adalah melakukan edukasi perpajakan dan pendampingan UMKM seperti: cara membuat pembukuan sederhana, manajemen pengelolaan usaha, strategi pemasaran daring, hingga cara mengajukan kredit ke bank. Dengan demikian, wajib pajak UMKM bukan hanya sebagai pihak yang semata-mata berkontribusi tetapi juga mendapatkan benefit dan tambahan amunisi dalam pengembangan bisnisnya. Dengan strategi yang tepat, Direktorat Jenderal Pajak dapat menambah basis pajak baru dan sekaligus mengatrol penerimaan pajaknya yang kontinu dari sektor ini.

Waspadai Salah Tarif PPh Biaya Layanan Gedung!

Sumber
Bisnis penyewaan ruangan untuk perkantoran di kota-kota besar adalah bisnis yang tak pernah surut, terutama bagi pemilik gedung yang berlokasi strategis. Apalagi pada bulan April 2018 lalu Ditjen Pajak memberikan izin bagi perusahaan yang menyewa tempat di kantor virtual untuk dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kabar ini tentu akan memberikan dampak positif bagi pemilik gedung yang memiliki skema penyewaan ruang dengan konsep kantor virtual. Kebijakan ini akan meningkatkan jumlah penyewa kantor virtual dan tentunya menggairahkan perekonomian mereka yang sempat terimbas isu sebelumnya.

Tentu tak sedikit dari pemilik gedung tersebut yang menggunakan jasa manajemen untuk mengelola gedungnya, dengan alasan kepraktisan dan bisa juga karena terdapat hubungan afiliasi dengan perusahaan penyedia jasa manajemennya. Atas jasa ini, pemilik gedung biasanya menambahkan biaya layanan atau service charge kepada penyewa gedung sebagai pengalihan beban atas imbalan jasa manajemen yang akan dibayarkannya. Biaya layanan ini biasanya menyatu dalam perhitungan biaya tambahan bagi penyewa bersama dengan biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan biaya fasilitas lainnya.

Kenyataannya, tak sedikit pemilik gedung yang tak mau bersusah payah mengumpulkan pembayaran uang sewa dan sekaligus biaya tambahan ini. Pembayaran tersebut biasanya dikumpulkan dan dikelola oleh penyedia jasa manajemen pihak ketiga.

Namun sayangnya, hingga kini masih ada saja perusahaan penyedia jasa manajemen yang kebingungan ketika hendak menerima pembayaran atas uang sewa yang termasuk biaya layanan yang diterimanya. Beberapa masih melayangkan pertanyaan bahkan meminta penegasan ke kantor pajak berapa sebenarnya besar tarif yang dikenakan. Sebagian dikenakan tarif 2% dari dasar pengenaan pajak dengan alasan termasuk dalam kriteria jasa manajemen, sebagiannya lagi dikenakan tarif 10% dengan argumen sebagai bagian dari jumlah bruto nilai persewaan.

Fakta di lapangan ini menyebabkan perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa manajemen gedung atau perkantoran menjadi khawatir atas kebenaran pemotongan dan keabsahan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Perbedaan pengenaan tarif selain tidak menegakkan asas keadilan dan kepastian hukum jelas akan memancing permintaan klarifikasi data dari kantor pajak tempat terdaftar. Bila demikian, lalu berapakah tarif yang benar?

PP 34 Tahun 2017,  Tak Hanya Mengatur Tarif

Khalayak mungkin sudah mengetahui bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2017 tentang PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan pada 6 September 2017 lalu. Aturan yang berlaku mulai 2 Januari 2018 ini memang tak mengubah besaran tarif PPh Final atas persewaan atas tanah dan atau bangunan. Namun kiranya ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:

1. Diaturnya PPh Final atas kegiatan Bangun Guna Serah yang belum pernah diatur dalam aturan pendahulunya;

2. Pengenaan PPh Final atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan baik sebagian maupun seluruh bagian, misalnya persewaan atas tangki atau menara telekomunikasi yang sebelumnya dikenakan PPh dengan tarif berdasarkan Pasal 17 UU PPh;

3. Lebih detil mengatur terkait pemotong pajak PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan;

4. Mengecualikan jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya dari pengenaan PPh Final dengan tarif 10%. Dalam penjelasannya, diberikan contoh jasa pelayanan penginapan antara lain: kamar, asrama untuk mahasiswa atau pelajar, asrama atau pondok pekerja, dan rumah kos;

5. Mengatur komponen yang termasuk dalam jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan.

Berapakah Tarif yang Benar?

Dari poin-poin di atas, di bagian manakah dijelaskan tentang tarif PPh Final atas pembayaran biaya layanan? Pasal 4 ayat (2) PP 34 Tahun 2017 menjelaskan bahwa biaya layanan merupakan bagian dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan, bersama dengan biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan biaya fasilitas lainnya.

PPh Final atas pembayaran biaya-biaya ini dipotong baik berdasarkan perjanjian yang dibuat secara terpisah atau disatukan dengan perjanjian persewaan tanah dan atau bangunan. Lebih lanjut, bagian ini juga memberikan contoh kasus yang secara gamblang memberikan gambaran yang banyak terjadi di lapangan, yaitu terkait wajib pajak badan yang menggunakan jasa manajemen untuk mengelola gedungnya.

Dari contoh kasus pada bagian Penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun pembayaran sewa dan biaya layanan diserahkan kepada penyedia jasa manajemen, namun karena perusahaan klien menyewa ruangan pada perusahaan pemilik gedung, maka pembayaran sewa dan biaya layanan tersebut merupakan pembayaran terkait sewa ruangan dan merupakan penghasilan bagi perusahaan pemilik gedung sehingga wajib dipotong PPh Final dengan tarif 10%.

Adapun kegiatan pengelolaan gedung yang dilakukan oleh penyedia jasa pihak ketiga termasuk dalam pengertian jasa manajemen sehingga atas imbalan yang dibayarkan oleh pemilik gedung ke penyedia jasa pihak ketiga dikenakan PPh dengan tarif sebesar 2% sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU PPh.

Pertanyaan baru kemudian menyeruak ke permukaan: berapakah tarif PPh atas penyedia jasa manajemen yang mengenakan biaya layanan atas penyediaan akomodasi bagi jasa pelayanan penginapan seperti pemilik asrama, pondok pekerja, atau pengusaha kos-kosan? Sebab jasa pelayanan penginapan dan akomodasinya tidak termasuk yang dikenakan PPh Final atas persewaan atas tanah dan atau bangunan, maka tidak ada pengenaan tarif PPh Final 10%. Atas imbalan yang dibayarkan oleh pemilik bangunan ke penyedia jasa manajemen tersebut dikenakan PPh dengan tarif sebesar 2% sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU PPh, hanya apabila pemilik bangunan adalah subjek pajak badan dalam negeri. Adapun untuk biaya layanan yang dibebankan kepada penyewa seharusnya tidak dipotong PPh melainkan sebagai penambah komponen omset atau penghasilan yang diterima pemilik usaha.

Jadi, sekarang sudah tidak bingung lagi ‘kan dalam menentukan tarif biaya layanan gedung?

*Artikel ini telah ditayangkan pada www.pajak.go.id pada tanggal 2 Mei 2018.

Menyigi Inovasi DJP Dalam PER-25/PJ/2018

Sumber
Mulai tahun depan (Januari 2019), Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) yang sering mengajukan permohonan legalisasi Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) bisa bernapas lega, sebab tak perlu lagi bolak-balik ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat terdaftar untuk melegalisasinya. Menjelang akhir November 2018 lalu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Peraturan ini bertujuan untuk memberikan penyederhanaan dan kemudahan bagi wajib pajak, memberikan kepastian hukum, dan mencegah penyalahgunaan P3B. Secara filosofis, aturan baru ini tidak banyak berubah dari aturan sebelumnya, yaitu PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Namun, secara administratif, ada beberapa inovasi yang patut diapresiasi.

Penyederhanaan Formulir

Pada PER-10/PJ/2017, diatur tentang penggunaan Form DGT-1 yang terdiri dari 3 lembar formulir bagi WPLN Orang Pribadi atau Badan non-perbankan/dana pensiun dan Form DGT-2 yang terdiri dari 2 lembar formulir bagi Badan perbankan/dana pensiun. Ke depannya, WPLN hanya perlu mengisi satu jenis Form DGT saja. Dengan penyederhanaan ini, akan mengurangi kesalahan dalam pemilihan jenis formulir dan tentu akan memberikan kemudahan bagi wajib pajak.

Penyederhanaan Proses

Pada aturan sebelumnya, penyampaian formulir SKD WPLN (Form DGT-1 atau Form DGT-2) dilakukan setiap kali bertransaksi dengan Pemotong/Pemungut PPh Pasal 26 (WPDN). Sebelumnya, WPDN yang telah menerima SKD WPLN tersebut harus menyampaikan salinan SKD WPLN yang telah dilegalisasi sebagai lampiran dari SPT Masa PPh Pasal 26 per bulannya. Ke depannya, WPLN hanya perlu memberikan SKD WPLN (Form DGT) ke WPDN yang bertransaksi pertama kali dengan WPLN tersebut. Satu formulir ini cukup memenuhi kebutuhan WPLN yang akan bertransaksi dengan lebih dari satu WPDN.

Serba Elektronik

Sebelumnya, salinan SKD WPLN yang telah dilegalisasi ke KPP tempat WPDN terdaftar, harus disampaikan sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 23/26. Dalam hal WPDN menggunakan sistem pelaporan elektronik, WPDN juga masih perlu ke KPP untuk melapor. Pasalnya, menu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23/26 via situs DJP Online belum dibuka kecuali bagi WPDN yang sudah wajib menggunakan e-Bupot PPh Pasal 23/26.

Sebagai alternatif, WPDN diarahkan untuk melapor via efiling di laman ASP (Application Service Provider). Namun, tak semua wajib pajak mempunyai tenaga SDM yang memahami sistem pelaporan melalui ASP. Menurut pengalaman penulis pula, beberapa wajib pajak mengaku lebih nyaman menerima bukti penerimaan surat langsung dari KPP daripada bukti elektronik. Akibatnya, masih ditemui beberapa WP yang melapor PPh Pasal 23/26 di loket KPP.

Mulai tahun depan, WPDN yang pertama kali menerima Form DGT dari WPLN harus memasukkan informasi yang ada di dalam SKD WPLN itu ke laman yang disediakan DJP atau saluran tertentu yang ditetapkan DJP (melalui ASP). Setelah menginput informasi tersebut, WPDN memberikan tanda terima kepada WPLN sebagai bukti bahwa SKD WPLN telah disampaikan dan WPDN mulai dapat menggunakan tarif sesuai P3B.

Atas transaksi di masa berikutnya, WPDN tidak perlu lagi menyampaikan salinan SKD WPLN tersebut sepanjang masa periode SKD masih berlaku. Praktis bukan? Apabila WPLN hendak bertransaksi dengan WPDN lain, maka WPLN cukup menyampaikan salinan tanda terima bukti penyampaian SKD ke WPDN lain untuk dilakukan pengecekan di laman yang memuat informasi SKD tersebut.

Menjamin Kepastian Hukum

Dalam hal WPLN telah dipotong/dipungut dengan tarif sebelum memasukkan SKD, atau terjadi kesalahan dalam pemotongan/pemungutan sehingga terjadi kelebihan pembayaran pajak, WPLN dapat mengajukan permohonan pengembalian tersebut ke KPP melalui mekanisme pengembalian pajak yang tidak seharusnya terutang. Aturan ini lebih memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang membuka peluang pengembalian pajak melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) yang lebih rumit.

Periode masa berlaku SKD WPLN juga diatur dapat digunakan lintas tahun pajak dengan maksimal periode dua belas bulan sejak diterbitkan. Hal ini selain memberikan kepastian hukum bagi WPLN, juga memberikan kemudahan terutama bagi WPLN yang baru bertransaksi menjelang pergantian tahun. WPLN hanya perlu mengajukan permohonan penandaasahan ke otoritas pajak di negaranya sekali untuk tiap periode dua belas bulan, alih-alih mengajukan untuk tiap tahun pajak.

Tantangan dan Optimisme DJP

Dengan mekanisme elektronik, apalagi bila pelaporan via e-Bupot PPh Pasal 23/26 sesuai PER-04/PJ/2017 telah diimplementasikan seluruhnya di Indonesia pada 2020, maka DJP akan mempunyai basis data yang lengkap dan valid untuk pengawasan kepatuhan dan penggalian potensi perpajakan.

Tantangan terbesar yang harus ditaklukkan otoritas pajak terkait PER-25/PJ/2018 ini adalah mengidentifikasi sejauh mana tidak terjadi penyalahgunaan P3B dalam transaksi yang dilaporkan WPDN dan apakah WPLN penerima penghasilan adalah Beneficial Owner (BO) yang berhak menikmati tarif P3B. Dalam hal ini, DJP harus memastikan SDM-nya mempunyai kompetensi yang mumpuni dalam mengidentifikasi upaya baik tax planning, tax avoidance, bahkan tax evasion yang terselubung dalam transaksi dengan WPLN.

Sebagaimana diketahui penulis, saat ini jumlah transaksi WPDN dengan WPLN makin meningkat dari tahun ke tahun, dan tidak hanya terjadi di KPP di lingkungan Kanwil DJP WP Besar atau Kanwil DJP Jakarta Khusus saja. Untuk itu, sosialisasi internal dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pegawai DJP perlu diperbanyak dan dievaluasi.

Tantangan berikutnya adalah mengidentifikasi WPLN mana yang telah melewati time test untuk selanjutnya diberikan NPWP atau ditetapkan sebagai BUT sehingga dapat dipajaki di Indonesia. Hal ini memang kendala tersendiri sebab dengan Form DGT yang tak memuat jangka waktu lama transaksi, otoritas pajak harus mempunyai perangkat lain untuk mengidentifikasi time test sesuai informasi dalam kontrak/perjanjian transaksi.

Tantangan lainnya adalah terkait transaksi perdagangan atau pemakaian jasa luar negeri yang terjadi secara elektronik. Masih banyak wajib pajak yang belum memahami konsep pemotongan/pemungutan PPh Pasal 26 maupun mekanismenya. Maka, DJP juga perlu menggiatkan sosialisasi dan edukasi ke wajib pajak terutama terkait transaksi elektronik dengan WPLN.

Di tengah berbagai tantangan tersebut dan maraknya isu stagnansi reformasi, DJP memastikan reformasi perpajakan terus berjalan. Terbitnya peraturan ini merupakan salah satu bukti komitmen DJP dalam membenahi proses bisnisnya dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak. Selain pilar proses bisnis, aturan ini juga memperkokoh pilar sistem informasi dan basis data.

Penerapan Automatic Exchange of Information (AEOI) antara Indonesia dengan negara mitra diharapkan mampu memberikan tambahan optimisme, terutama terkait pengungkapan status Beneficial Owner dan mencegah penyalahgunaan tarif P3B. Pada ujungnya, penegakan hukum bagi WP yang tidak patuh dan keadilan bagi WP yang patuh akan tercipta demi mendukung institusi DJP di masa depan yang kuat, kredibel, dan akuntabel. 

*Artikel ini telah ditayangkan di www.pajak.go.id pada tanggal 14 Desember 2018.

Jumat, 11 Januari 2019

Jalan Panjang Pajak Dagang-El Indonesia

Sumber
Salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia, Morgan Stanley memperkirakan industri digital akan meroket di Indonesia. Dilansir dari okezone.com, Head of Indonesia Research di Morgan Stanley, Mulya Chandra mengatakan bahwa digitalisasi melalui tiga pilar utamanya yaitu perdagangan elektronik, uang elektronik, serta teknologi finansial akan menjadi faktor kunci naiknya nilai ekonomi Indonesia.

Selanjutnya, ia memperkirakan persentase penjualan perdagangan elektronik akan mencapai 19% dari total aktivitas ritel pada tahun 2027. Nampaknya ini bukan proyeksi yang berlebihan sebab menurut katadata.co.id, penjualan ritel perdagangan elektronik Indonesia juga diperkirakan mencapai USD16,5 miliar atau sekitar Rp219 triliun pada 2022.

Maka, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) Tahun 2017-2019 perlu mendapat perhatian khusus. Peta Jalan SPNBE 2017-2019 adalah dokumen yang memberi arahan serta langkah-langkah penyiapan dan pelaksanaan perdagangan yang transaksinya berbasiskan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

Peta Jalan SPNBE 2017-2019 sebagaimana dimaksud mencakup program: a. Pendanaan; b. Perpajakan; c. Perlindungan konsumen; d. Pendidikan dan sumber daya manusia; e. Infrastruktur komunikasi; f. Logistik; g. Keamanan siber; dan g. Pembentukan Manajemen Pelaksana Peta Jalan SPNBE 2017-2019.

Di dalam program perpajakan terdapat tiga poin penting yang menjadi acuan, yaitu: penyederhanaan pemenuhan kewajiban perpajakan; penyusunan tata cara pendaftaran bagi pelaku usaha perdagangan elektronik; serta persamaan perlakuan perpajakan. Pertanyaan pun mencuat, sampai di manakah perkembangan regulasi terkait poin tersebut?

Penyederhanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Pemerintah telah menerbitkan aturan PP 23 Tahun 2018 yang memberikan sejumlah fasilitas bagi pengusaha UMKM. Karena hingga saat ini belum ada perbedaan perlakuan antara perdagangan konvensional dan elektronik, maka aturan ini juga menyasar pelaku usaha perdagangan elektronik dengan omzet di bawah 4,8 miliar rupiah.

Selain menerbitkan aturan pajak UMKM, pemerintah juga merancang aturan pajak dan investasi untuk perusahaan rintisan, yaitu:

a.Memberikan insentif bebas Pajak Penghasilan (PPh) kepada perusahaan modal ventura yang mendanai startup tanah air. Laba badan usaha yang diterima nantinya tidak akan diperlakukan sebagai objek PPh.

b.Menaikkan batas maksimal penjualan bersih dari UKM dan startup yang bisa menerima pendanaan dari perusahaan modal ventura, yang sebelumnya 5 miliar rupiah menjadi 50 miliar rupiah.

Penyusunan Tata Cara Pendaftaran Bagi Pelaku Usaha Perdagangan Elektronik

Tingkat anonimitas yang tinggi dari pelaku perdagangan elektronik adalah permasalahan pertama. Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah mengecek 1500 data wajib pajak terkait perdagangan elektronik yang diperoleh melalui internet. Sayangnya, dari jumlah itu hanya seribu pelaku usaha yang sudah ber-NPWP. Dari jumlah itu, baru setengahnya yang telah menyampaikan SPT Tahunan dan masih perlu diteliti kebenarannya (Ririn Puspita Sari, 2018).

Sebenarnya, karakteristik ini bisa terpecahkan apabila semua pelaku usaha perdagangan elektronik telah terdaftar pada Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Terkait pendaftaran pelaku usaha elektronik sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Hanya saja, perlu dibuat aturan lebih rinci tentang mekanisme teknis, terutama bagi pelaku usaha perorangan yang kerap kali lepas dari pengawasan dan kurang terdukasi.

Nantinya, apabila semua pelaku usaha telah teregistrasi dalam satu sistem, akan memudahkan memonitor dan memberikan informasi pemenuhan administrasi berusaha dan kewajiban perpajakannya. Kejahatan di dunia perdagangan elektronik juga akan dapat dicegah. Pemantauan dengan pelaku perdagangan elektronik lintas batas negara tentu akan makin mudah.

Persamaan Perlakuan Perpajakan  

Dalam sebuah acara dengar pendapat dengan Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) di awal tahun ini, ada dua pokok pemikiran yang disuarakan oleh mereka terkait rancangan peraturan pemajakan perdagangan elektronik. Pertama, meminta uji publik sebelum beleid tersebut diterbitkan agar dapat diberikan masukan dari para pengusaha. Hal ini merupakan respons atas rencana menjadikan marketplace sebagai agen pajak. Mereka khawatir ini akan menambah beban pekerjaan dan biaya kepatuhan pajak.

Kedua, mereka juga meminta agar aturan ini juga mengatur platform lain seperti media sosial dan grup percakapan yang belum masuk rancangan peraturan. Persamaan perlakuan perpajakan ini merupakan isu penting sebab apabila azas keadilan tidak terpenuhi, akan terjadi demoralisasi bagi wajib pajak yang patuh.

Masalah keadilan ini bukan hanya isu bagi pelaku usaha berskala nasional, di forum internasional semacam G20 juga telah disampaikan inisiatif Menteri Keuangan Prancis dan negara-negara Eropa untuk melakukan pemajakan ekonomi dan perusahaan digital.

Guardian dalam laporannya beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa perusahaan raksasa teknologi dunia hanya membayar kurang dari setengah nilai pajak perusahaan batu bata dan mortir. Bisnis digital dengan lingkup operasi internasional biasanya membayar pajak 10,1 persen di Uni Eropa dibandingkan perusahaan-perusahaan tradisional yang dikenakan pajak 23,2 persen. Laporan itu juga memperlihatkan banyak perusahaan teknologi yang membayar pajak jauh lebih sedikit dibandingkan pesaing mereka.

Kondisi ini memberikan gambaran bahwa menciptakan arena bisnis yang berkeadilan adalah sebuah tantangan tersendiri. Pemerintah perlu menyatukan semua elemen birokrasi dari sistem perdagangan, telekomunikasi dan informatika, perbankan, dan menggaet sebanyak mungkin perusahaan payment gateway sebagai pihak ketiga yang turut berperan dalam sistem pembayaran lintas negara.

Beberapa Catatan di Era Reformasi Perpajakan


Di era reformasi perpajakan ini, ada beberapa langkah optimalisasi yang sedang dan akan berjalan di tubuh Ditjen Pajak:

1. Pengolahan data perbankan nasional yang telah masuk per April 2018 dan perbankan asing per September 2018 nanti;

2. Pengawasan data faktur dengan lawan transaksi non-NPWP dan pembayaran PPh Pasal 26 atas jasa luar negeri;

3. Pemanfaatan teknologi sistem Sosial Network Analytics (Soneta) yang dapat merekam perilaku wajib pajak terutama terkait kegiatan ekonomi di media sosial;

Otoritas pajak perlu memperbanyak edukasi melalui perkumpulan atau asosiasi pelaku perdagangan elektronik untuk menumbuhkan kesadaran membayar pajak dan sosialisasi teknis pemenuhan kewajban perpajakannya.

Pemerintah juga perlu merangkul sebanyak mungkin perusahaan payment gateway sebagai pihak ketiga yang turut berperan dalam sistem pembayaran elektronik. Dengan memperkuat pilar sistem informasi dan basis data, jalan panjang menuju perpajakan perdagangan elektronik niscaya akan menemukan titik terang. Dan pemajakan yang berkeadilan bagi para pelaku niaga daring bukan lagi khayalan.

*Artikel ini telah ditayangkan pada laman www.pajak.go.id pada tanggal 12 September 2018.

Mengintip Reformasi Pajak di Negeri Chaebols

Sumber
Pasca Perang Dunia II, Jepang mengakhiri pendudukannya di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia dan Korea. Berbeda dengan negara kita yang lebih dahulu memproklamasikan kemerdekaan, Negeri Ginseng itu masih terjebak dalam konflik hegemoni AS-Uni Soviet sehingga kemerdekaan Republik Korea baru diproklamasikan pada tanggal 15 Agustus 1948, tepat tiga tahun kemudian.

Kondisi perekonomiannya pun tak seketika kondusif. Republik yang baru berdiri itu didera Perang Saudara setelah Korea Selatan menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1950 yang memicu invasi Korea Utara. Perang Korea berlangsung selama empat tahun dan menelan korban dua setengah juta jiwa. Pada masa itu, tercatat Produk Domestik Bruto (PDB) Korea Selatan di tahun 1953 sebesar USD 1,3 miliar dengan PDB per kapita USD 67 menduduki peringkat ke-109 di dunia. Penerimaan pajaknya sebesar USD 1,7 juta.

Kunci Tingginya Rasio Pajak


Meski sempat dihantam tiga krisis besar: krisis minyak di era 80-an, bailout IMF di masa krisis moneter 1998-2000, dan krisis keuangan global di tahun 2008-2012; Korea Selatan berhasil melewati masa-masa kritis tersebut. Lebih dari enam dekade kemudian, negara ini mendapatkan predikat sebagai salah satu Macan Asia. Di tahun 2014 PDB Korea Selatan membengkak hingga USD 1.410 miliar dan PDB per kapita USD 27.971 menduduki peringkat ke-28 di dunia. Penerimaan pajaknya pun terdongkrak lebih dari 95 ribu kali lipat mencapai USD 161,6 miliar.

Di tahun 2017, data OECD menunjukkan rasio pajak Korea Selatan mencapai 18,6%, bahkan persentase ini mampu melewati angka 25% apabila kontribusi keamanan dan sosial dimasukkan dalam perhitungan. Tingginya rasio ini selain mengindikasikan kesadaran pajak yang tinggi dalam masyarakat juga menunjukkan kemampuan otoritas pajak Korea Selatan dalam mengoptimalkan kemampuannya dalam memajaki sektor-sektor yang belum tergali secara optimal.

Salah satu kunci keberhasilan tersebut adalah Reformasi Administrasi Perpajakan Elektronik (e-Tax) di Korea Selatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pesatnya pertumbuhan pengguna komunikasi nirkabel yang bermula menjelang era pergantian milenium. Lebih jauh lagi, Korea Selatan mampu menyediakan koneksi internet tercepat dengan angka rata-rata tertinggi di dunia (data tahun 2013) dan didukung dengan distribusi ponsel pintar yang menduduki peringkat keempat di dunia pada tahun 2015. Dengan kondisi tersebut, tingkat penetrasi internet di masyarakat cukup tinggi mencapai angka 82,7%.

Selain pengguna internet aktif, masyarakat Korea Selatan juga gemar menggunakan uang plastik. Data CNN di tahun 2013 mengungkap kebiasaan orang Korea Selatan menggesek kartu kredit dengan angka rata-rata 129,7 transaksi per orang.

Reformasi Administrasi Perpajakan Elektronik

Reformasi Administrasi Perpajakan Elektronik dimulai pada tahun 1997 dengan program Sistem Pajak Terintegrasi. Sistem ini terhubung dengan jaringan otoritas pajak yang mengkomputerisasi pekerjaan terkait perpajakan dan mengintegrasikan informasi pajak dalam sebuah basis data untuk wajib pajak perseorangan.

Dua tahun kemudian, diperkenalkan Sistem Pengurangan Penghasilan untuk Penggunaan Kartu Kredit. Dengan sistem ini, wajib pajak yang bertransaksi dengan kartu kredit mendapat semacam insentif dari pemerintah. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menstimulasi perluasan basis pajak dengan mengurangi beban perpajakan. Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan Nomor Registrasi Penduduk yang mengintegrasikan data kependudukan dengan data perbankan dan pekerjaan yang telah berjalan sejak tahun 1968. Selain kartu kredit, sistem pengurangan penghasilan ini juga berlaku untuk kartu debit dan uang elektronik.

Tahap selanjutnya, Layanan Pajak Rumahan diluncurkan pada tahun 2001. Ini adalah layanan administrasi pajak terintegrasi berbasis internet yang memudahkan wajib pajak untuk menyelesaikan urusan perpajakannya tanpa perlu ke kantor pajak manapun. Penggunaan layanan ini mampu mengatrol tingkat kepatuhan wajib pajak dalam pelaporan elektronik hingga ke level 89,2% di tahun 2013.

Di internal otoritas pajak sendiri, Sistem Manajemen Informasi Pajak diperkenalkan pada tahun 2003. Ini adalah sistem pengambilan keputusan yang dapat digunakan untuk mengatur sumber basis pajak dan pemeriksaan pajak dengan menganalisis secara sistematis data perpajakan yang terakumulasi.

Pada tahun 2005, diperkenalkan Sistem Penerimaan Tunai. Dengan sistem ini, pembeli yang melakukan transaksi tunai mendapatkan insentif dari pemerintah dengan meminta struk transaksi dari penjual dan melaporkan struk tersebut ke dalam sistem dalam jangka waktu tertentu.

Setahun kemudian, Layanan Penyederhanaan Penyelesaian Pajak di Akhir Tahun diluncurkan untuk memudahkan para pegawai dalam menyelesaikan masalah perpajakannya. Empat tahun kemudian, Sistem e-Tax Invoice diperkenalkan kepada wajib pajak untuk mengantisipasi penggelapan pajak dan menghindari kesalahan dalam pembuatan faktur pajak.

Yang terbaru, pada tahun 2015 otoritas pajak Korea Selatan meluncurkan Neo-Sistem Pajak Terintegrasi yang merupakan perpustakaan elektronik yang dapat menyimpan, menjelajah, dan mendistribusikan seluruh dokumen dan material. Sistem ini dilindungi dengan kunci personal terenkripsi yang canggih untuk meminimalisir risiko peretas.

Penggunaan Tekfin
Khusus di kota Seoul, teknologi pembayaran pajak lebih dimutakhirkan dengan penggunaan teknologi finansial yang makin marak akhir-akhir ini. Salah satu pejabat kota Seoul, Jaehyum Seong sebagaimana dikutip dari fokusjabar.com menyatakan, dengan teknologi ini, warga bisa membayar pajak melalui ponsel pintar dan mereka. Tagihan pajak pun langsung didebit dari kartu kredit pembayar pajak.

Tak cukup sampai di situ, para konglomerat atau Chaebols yang mendominasi perekonomian negara itu perlu bersiap-siap untuk dipajaki dengan tarif yang lebih tinggi. Ini adalah salah satu agenda reformasi perpajakan di masa pemerintahan Presiden Moon Jae-In, termasuk 13 revisi Undang-Undang (UU) Perpajakan termasuk UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Perusahaan, dan UU Pajak Konsumsi Individu.

Di pertengahan tahun ini, otoritas pajak Korea Selatan juga telah menerapkan aturan ketat terhadap transaksi mata uang kripto. Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan otoritas pajak Korea Selatan sangat adaptif dalam merespon perkembangan zaman. Teknologi yang canggih dan basis data perpajakan yang serba terintegrasi mampu menutup celah penghindaran pajak. Isu terkait pemajakan sektor ekonomi informal juga dapat diatasi dengan Sistem Penerimaan Tunai.

Reformasi perpajakan yang terus-menerus dilaksanakan di Korea Selatan menunjukkan kesadaran yang tinggi tentang peran pajak yang vital. Negara kita juga telah melaksanakan reformasi perpajakan hingga jilid ketiga. Maka, kita tak boleh kalah dalam semangat dan antusiasme menyukseskannya. Semangat dan antusiasme semata pun tak cukup. Diperlukan komitmen dan dukungan dari semua pihak agar seluruh agenda reformasi berjalan dan tujuannya berhasil diwujudkan.

*
Artikel ini telah ditayangkan pada laman www.pajak.go.id pada tanggal 7 November 2018.

Sumber:

http://iobe.gr/docs/pub/PRE_Dr.%20KIM%20Jaejin_01062017_PUB_GR.pdf

http://www.pajak.go.id/sites/default/files/files_berita/Slide_MISBAKHUN.pdf

http://fokusjabar.com/fokus-bandung-raya/korea-selatan-perkenalkan-tekno...

https://news.ddtc.co.id/korea-selatan-begini-kebijakan-pajak-presiden-ba...

Persewaan Kantor Virtual, Bagaimana Pajaknya?

Sumber

Di era revolusi industri generasi keempat ini, perusahaan rintisan menjamur di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2017 tingkat pengusaha di Indonesia naik menjadi 3,1% yang sebelumnya hanya 1,67% di tahun 2014. Bagi perusahaan tersebut, lokasi usaha menjadi poin penting dalam pengurusan izin dan pengembangan usaha. Seringkali calon lawan transaksi menjadikan lokasi usaha sebagai salah satu pertimbangan untuk mulai bernegosiasi.

Bagi bisnis yang baru berkembang, biaya sewa ruang usaha bisa menjadi komponen biaya terbesar. Padahal, kebanyakan pelaku usaha rintisan ini berbasis teknologi digital yang tidak setiap saat memerlukan ruangan kantor secara fisik. Apalagi, modal yang dimiliki perusahaan juga terbatas. Ini merupakan salah satu penyebab munculnya kantor virtual di kota-kota besar.

Menurut laporan Jones Lang LaSalle (JLL) di akhir 2017, rata-rata okupansi perkantoran di Indonesia turun 3% dibandingkan dengan kuartal ketiga 2016. Akibat menurunnya tingkat okupansi ini, tarif sewa kantor pun turut menurun. Pengelola persewaan ruangan kantor konvensional pun mencari cara untuk meningkatkan pendapatan. Melalui beberapa konsep persewaan kantor virtual, pemilik gedung dapat mengoptimalkan penghasilan tanpa menambah luas lahan ruangan sewa.

Tiga Konsep Persewaan Kantor Virtual

Dikutip dari virtualofficedkijakarta.blogspot.com, ada tiga konsep persewaan kantor virtual, yaitu: kantor administrasi virtual, kantor servis, dan kantor bersama. Ketiganya mempunyai konsep yang berbeda, yaitu:

1. Kantor administrasi virtual adalah sebuah layanan perkantoran dalam jaringan yang berfungsi sebagai representasi administratif perusahaan. Satu alamat kantor virtual dapat digunakan oleh beberapa perusahaan sebagai tujuan korespondensi yang resmi. Biasanya pengelola kantor virtual ini juga menyediakan fasilitas resepsionis sebagai penerima telepon dan pengurusan surat-menyurat.

Namun demikian, terdapat empat bidang usaha yang tidak diperbolehkan menggunakan persewaan ruangan dengan konsep ini, yaitu: e-commerce, konstruksi, pariwisata, dan properti.

2. Kantor servis (serviced office), yaitu kantor yang menyediakan layanan dengan fasilitas yang lebih lengkap seperti furnitur, perlengkapan komputer, resepsionis, sambungan internet, bahkan pramubakti. Kantor servis ini dapat disewa harian, bulanan, bahkan tahunan. Harga yang terjangkau dan tak semahal biaya sewa kantor konvensional menjadi nilai lebih konsep ini.

Kantor servis dapat menjadi solusi bagi pebisnis yang tidak diperbolehkan menggunakan kantor virtual. Dengan konsep ini, pengusaha akan mendapatkan perizinan selama lima tahun, tentu akan lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan kantor administrasi virtual yang hanya diberikan izin usaha setahun saja.

3. Kantor bersama (co-working space). Berbeda dengan konsep kantor virtual dan kantor servis yang ditujukan untuk segmen perusahaan berbentuk badan, konsep kantor bersama menyasar pekerja lepas dan para pekerja industri kreatif. Di tempat itu mereka bisa saling bertemu dan berbagi satu ruangan yang dilengkapi dengan meja kerja, internet, bahkan ruang rapat yang bisa disewa lengkap dengan perangkat multimedia.

Legalitas Kantor Virtual

Di DKI Jakarta, pemerintah daerah telah menyetujui legalitas kantor virtual sebagaimana diberitahuan melalui Surat Edaran Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Nomor 06/SE/2016 Tentang Penerbitan Surat Keterangan Domisili dan Izin-Izin Lanjutannya Bagi Pengguna Virtual Office.

Di peraturan perpajakan sendiri, definisi kantor virtual muncul di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan NPWP Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Di dalam Pasal 1 angka 22 disebutkan bahwa:

“Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (co-working space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh pengelola Kantor Virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).”

Aspek Perpajakan atas Penghasilan Persewaan

Diaturnya penggunaan kantor virtual dalam pengurusan pendaftaran NPWP dan pengukuhan PKP menunjukkan otoritas pajak cukup adaptif dalam menyikapi perkembangan zaman. Kebijakan ini turut memberikan kemudahan dalam berusaha dan dapat menjadi pendorong terdongkraknya jumlah perusahaan pengguna kantor virtual yang telah mencapai angka 60 ribu.

Melihat angka tersebut, tentu terdapat potensi perpajakan atas sewa kantor virtual yang cukup menjanjikan. Untuk jasa persewaan dengan konsep kantor servis dan kantor bersama, dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% dari jumlah bruto nilai sewa. Jumlah bruto ini termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.

Lantas, bagaimana dengan penghasilan atas sewa kantor virtual? Secara filosofis, penghasilan atas sewa kantor virtual dapat dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% dari jumlah bruto nilai sewa. Hal ini karena kantor virtual menyediakan alamat korespondensi sebagai bagian dari gedung yang disewa. Selain itu, di dalam PMK Nomor 147/PMK.03/2017, terdapat salah satu syarat terpenuhinya kondisi pengelola kantor virtual yaitu harus menyediakan ruangan fisik sebagai tempat kegiatan usaha bagi calon PKP.

Alamat virtual calon PKP harus bisa dibuktikan dengan keberadaan fisik ruang usaha yang disewa. Dalam hal ini, penghasilan persewaannya dapat memenuhi kondisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan Pasal 2, yang berbunyi, “Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.”

Bagaimana apabila konteksnya tidak dalam proses pengukuhan PKP? Tentu dapat menimbulkan perbedaan, sebab di lapangan juga muncul pendapat bahwa atas penghasilan persewaan kantor virtual terutang PPh Pasal 23. Menurut Undang-Undang KUP, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), terutang PPh Pasal 23. Pendapat ini mengacu pada konsep kantor virtual yang tidak memerlukan bangunan fisik sehingga dianggap tidak memenuhi definisi Bangunan pada Pasal 1 PP Nomor 34 Tahun 2017.

Menurut penulis, untuk memberikan kepastian hukum dan memenuhi prinsip keadilan pajak, perlu dibuat aturan lebih lanjut terkait isu pemajakan atas persewaan kantor virtual ini. Apabila hal ini tidak dilakukan, dapat terbuka peluang bagi penghindaran pajak sebab nilai tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% jauh lebih kecil dibandingkan dengan tarif PPh Final yang sebesar 10%. Bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini dapat digunakan sebagai kredit pajak bagi pengelola gedung sehingga mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar di dalam perhitungan SPT Tahunan PPh Badan. Walhasil, pemilik usaha persewaan kantor virtual akan lebih memilih untuk dipotong PPh Pasal 23 alih-alih PPh Final Pasal 4 ayat 2.

*Artikel ini telah ditayangkan pada laman www.pajak.go.id pada tanggal 23 November 2018.

Superposisi

Intax Edisi Khusus November 2018

Oleh: Edmalia Rohmani
Editor: Riza Almanfaluthi

Hari-hari ini waktu menjadi sesuatu yang nisbi. Dia bisa menjadi seelastis karet gelang yang direntangkan anak-anak kecil yang bermain lompat-lompatan. Terutama bila jam di dinding belum menunjuk ke angka lima di sore hari. Tapi waktu juga tiba-tiba bisa menjadi mengerut bila jatuh tempo pekerjaan mendekati batas akhirnya.

Kadang, waktu bisa menjadi begitu murah dihabiskan di warung makan dan kedai kopi. Juga dihabiskan berjam-jam dalam percakapan di media sosial. Tak jarang menjadikan kita jenis manusia baru yang bisa jadi berbeda di dunia nyata.

Bagi beberapa orang, waktu menjadi sangat mahal, bahkan menjadi kemewahan untuk dihabiskan bersama orang-orang terkasih. Tak setiap saat mereka bisa mencurahkan rasa kesal, amarah, atau kesedihan yang menumpuk di hati. Sebab itu, mereka cenderung hanya menceritakan yang indah-indah saja dan merasa hanya perlu berbagi kegembiraan saja kepada belahan jiwanya. Sebab mereka sadar, hanya kisah manis yang layak menempati ruang kenangan itu. Selebihnya biarlah mereka yang menanggungnya.

Di antara mereka, ada yang masih bergulat dengan perasaan rindu, yang semakin lama terasa semakin mencekik. Ada pula yang telah berdamai dengan keadaan dan berjabat erat dengan kesabaran. Mereka mengalihkan rasa sesak itu pada perjalanan panjang yang dilaluinya sepanjang hari. Sambil terus menata langkah untuk menunaikan tugasnya. Dan setiap kali panggilan negara itu tiba, dengan ringan hati mereka bergegas menyambutnya. Cintanya pada Pertiwi lebih kental daripada darah.

Bukannya mereka robot atau manusia setengah dewa, tapi mereka sadar bahwa itu adalah konsekuensi lain dari rasa cinta. Semakin berkorban, bukankah rasa cinta itu akan makin membesar? Dan bukankah pengorbanan adalah nama lain dari cinta?

Bukannya pula mereka telah kehilangan rasa takut sebagai manusia. Kekhawatiran kadang menjelma menjadi mimpi buruk tiap kali anak-anak mereka sakit, atau pasangan mereka menelepon di malam buta sambil menangis. Sedang mereka tak bisa berbuat apa-apa. Jarak selalu menciptakan argarinya sendiri yang sulit diretas.

Tapi mereka tahu bahwa ada kekuatan lain yang Maha Besar dan sangat bisa diandalkan di saat genting dan dunia tak bisa dikendalikan. Kekuasaan Yang Maha Mengatur Segalanya. Maka mereka menggantungkan semua harapan pada-Nya. Menitipkan mereka pada Yang Maha Memiliki. Di titik itu mereka menyadari bahwa manusia itu lemah. Dan kekuatan jiwa yang sejati berasal dari Yang Maha Kuat.

Di dalam kesadaran itu, mereka tetap berikhtiar menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari keluarga. Dengan komitmen penuh dan keteguhan hati. Akhir pekan yang bagi sebagian orang berlalu begitu saja, bagi mereka adalah momentum emas untuk memutus belenggu rindu. Meski diam-diam ada bahaya mengintai di situ.

Sebagian besar di antara dua hari di akhir pekan itu, mereka habiskan di jalanan, baik darat, laut, atau udara. Di saat-saat itu mereka seperti kucing dalam eksperimen Erwin Schrodinger. Eksperimen apakah itu?

Pada 1935, Erwin Schrodinger, seorang ilmuwan yang mendalami fisika kuantum, mengadakan percobaan yang menghasilkan sebuah paradoks. Ia menempatkan seekor kucing dalam sebuah ruangan baja bersama dengan perangkat yang berisi botol asam hidrosianat. Itu adalah zat radioaktif yang apabila satu atomnya saja meluruh selama periode pengujian, maka mekanisme estafet akan menggerakkan palu untuk memecahkan botol itu dan pada akhirnya akan membunuh kucing.

Pengamat tidak dapat mengetahui apakah zat atom tersebut telah meluruh atau tidak, tidak dapat mengetahui apakah palu telah memecahkan botol, tidak dapat mengetahui apakah asam hidrosianat telah menyebar, ataukah kucing telah mati. Menurut hukum kuantum, kucing itu dalam keadaan mati dan hidup, dan disebut superposisi.

Hanya jika membongkar kotak itu, keadaan superposisi akan menghilang dan kondisi kucing yang sebenarnya akan diketahui. Situasi ini disebut ketidakpastian kuantum atau paradoks pengamat: pengamatan atau pengukuran itu sendiri memengaruhi hasil, sehingga hasil seperti itu tidak ada, kecuali dilakukan pengukuran.

Beberapa orang bertanya-tanya, kenapa tidak membongkar saja kotaknya? Kenapa harus membuat serangkaian kerumitan dengan mengambil risiko dan mengorbankan nyawa si kucing? Pada akhirnya kita harus mengakui, ada beberapa orang yang tak bisa menghindari menjadi seperti kucing-kucing itu.

Itu bukanlah sebuah kesalahan. Itu juga bukan sebuah kekalahan. Meski mengetahui risikonya, mereka memilih tetap berada di situasi superposisi. Berada di ruang antara hidup dan mati. Atas nama cinta dan kesetiaan. Dan mereka tak pernah mau memilih mana cinta yang lebih besar, mereka pergi untuk kembali, dan esoknya mereka kembali untuk selanjutnya pergi.

Setiap kita sebenarnya juga kucing-kucing itu. Mungkin tidak dalam kotak baja yang tertutup. Mungkin tidak dengan zat radioaktif yang meluruh. Tapi setiap saat ada yang setia mengintai kita. Kita pun berada dalam kondisi superposisi.

Perbedaan dari kita dan mereka adalah kesadaran yang menyergap. Mereka sadar mereka ada dalam kondisi superposisi, kita tidak. Mereka sadar kesempatan tak selalu datang dua kali, kita tidak. Mereka sadar bahwa waktu adalah pedang, yang apabila kita tak sanggup menguasainya, seketika pedang itu akan menebas batang leher kita.

Kesadaran kadang datang terlambat. Kita baru menyadari ketika satu per satu dari mereka meninggalkan kita. Kotak baja itu telah terurai dengan sendirinya. Dan kita lalu menjadi ternganga, betapa cepatnya perjumpaan dan perpisahan itu tiba. Ia merenggut apa-apa yang seringkali kita kira menjadi milik kita. Padahal tak ada yang benar-benar milik kita.

Mereka yang lebih dulu pergi adalah sebenar-benarnya syuhada. Kepergiannya menyisakan harum mewangi yang menjejak dalam sejarah. Juga teladan dan pelajaran yang nyata. Mungkin kita perlu merenungkan perkataan Ibnu Mas’ud r.a., “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak juga bertambah.”

*Artikel ini telah ditayangkan pada majalah Intax (Internal Tax Magazine) Edisi Khusus November 2018 dalam rubrik "Refleksi"