Intax Edisi Khusus November 2018 |
Oleh: Edmalia Rohmani
Editor: Riza Almanfaluthi
Hari-hari ini waktu menjadi sesuatu yang nisbi. Dia bisa menjadi seelastis karet gelang yang direntangkan anak-anak kecil yang bermain lompat-lompatan. Terutama bila jam di dinding belum menunjuk ke angka lima di sore hari. Tapi waktu juga tiba-tiba bisa menjadi mengerut bila jatuh tempo pekerjaan mendekati batas akhirnya.
Kadang, waktu bisa menjadi begitu murah dihabiskan di warung makan dan kedai kopi. Juga dihabiskan berjam-jam dalam percakapan di media sosial. Tak jarang menjadikan kita jenis manusia baru yang bisa jadi berbeda di dunia nyata.
Bagi beberapa orang, waktu menjadi sangat mahal, bahkan menjadi kemewahan untuk dihabiskan bersama orang-orang terkasih. Tak setiap saat mereka bisa mencurahkan rasa kesal, amarah, atau kesedihan yang menumpuk di hati. Sebab itu, mereka cenderung hanya menceritakan yang indah-indah saja dan merasa hanya perlu berbagi kegembiraan saja kepada belahan jiwanya. Sebab mereka sadar, hanya kisah manis yang layak menempati ruang kenangan itu. Selebihnya biarlah mereka yang menanggungnya.
Di antara mereka, ada yang masih bergulat dengan perasaan rindu, yang semakin lama terasa semakin mencekik. Ada pula yang telah berdamai dengan keadaan dan berjabat erat dengan kesabaran. Mereka mengalihkan rasa sesak itu pada perjalanan panjang yang dilaluinya sepanjang hari. Sambil terus menata langkah untuk menunaikan tugasnya. Dan setiap kali panggilan negara itu tiba, dengan ringan hati mereka bergegas menyambutnya. Cintanya pada Pertiwi lebih kental daripada darah.
Bukannya mereka robot atau manusia setengah dewa, tapi mereka sadar bahwa itu adalah konsekuensi lain dari rasa cinta. Semakin berkorban, bukankah rasa cinta itu akan makin membesar? Dan bukankah pengorbanan adalah nama lain dari cinta?
Bukannya pula mereka telah kehilangan rasa takut sebagai manusia. Kekhawatiran kadang menjelma menjadi mimpi buruk tiap kali anak-anak mereka sakit, atau pasangan mereka menelepon di malam buta sambil menangis. Sedang mereka tak bisa berbuat apa-apa. Jarak selalu menciptakan argarinya sendiri yang sulit diretas.
Tapi mereka tahu bahwa ada kekuatan lain yang Maha Besar dan sangat bisa diandalkan di saat genting dan dunia tak bisa dikendalikan. Kekuasaan Yang Maha Mengatur Segalanya. Maka mereka menggantungkan semua harapan pada-Nya. Menitipkan mereka pada Yang Maha Memiliki. Di titik itu mereka menyadari bahwa manusia itu lemah. Dan kekuatan jiwa yang sejati berasal dari Yang Maha Kuat.
Di dalam kesadaran itu, mereka tetap berikhtiar menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari keluarga. Dengan komitmen penuh dan keteguhan hati. Akhir pekan yang bagi sebagian orang berlalu begitu saja, bagi mereka adalah momentum emas untuk memutus belenggu rindu. Meski diam-diam ada bahaya mengintai di situ.
Sebagian besar di antara dua hari di akhir pekan itu, mereka habiskan di jalanan, baik darat, laut, atau udara. Di saat-saat itu mereka seperti kucing dalam eksperimen Erwin Schrodinger. Eksperimen apakah itu?
Pada 1935, Erwin Schrodinger, seorang ilmuwan yang mendalami fisika kuantum, mengadakan percobaan yang menghasilkan sebuah paradoks. Ia menempatkan seekor kucing dalam sebuah ruangan baja bersama dengan perangkat yang berisi botol asam hidrosianat. Itu adalah zat radioaktif yang apabila satu atomnya saja meluruh selama periode pengujian, maka mekanisme estafet akan menggerakkan palu untuk memecahkan botol itu dan pada akhirnya akan membunuh kucing.
Pengamat tidak dapat mengetahui apakah zat atom tersebut telah meluruh atau tidak, tidak dapat mengetahui apakah palu telah memecahkan botol, tidak dapat mengetahui apakah asam hidrosianat telah menyebar, ataukah kucing telah mati. Menurut hukum kuantum, kucing itu dalam keadaan mati dan hidup, dan disebut superposisi.
Hanya jika membongkar kotak itu, keadaan superposisi akan menghilang dan kondisi kucing yang sebenarnya akan diketahui. Situasi ini disebut ketidakpastian kuantum atau paradoks pengamat: pengamatan atau pengukuran itu sendiri memengaruhi hasil, sehingga hasil seperti itu tidak ada, kecuali dilakukan pengukuran.
Beberapa orang bertanya-tanya, kenapa tidak membongkar saja kotaknya? Kenapa harus membuat serangkaian kerumitan dengan mengambil risiko dan mengorbankan nyawa si kucing? Pada akhirnya kita harus mengakui, ada beberapa orang yang tak bisa menghindari menjadi seperti kucing-kucing itu.
Itu bukanlah sebuah kesalahan. Itu juga bukan sebuah kekalahan. Meski mengetahui risikonya, mereka memilih tetap berada di situasi superposisi. Berada di ruang antara hidup dan mati. Atas nama cinta dan kesetiaan. Dan mereka tak pernah mau memilih mana cinta yang lebih besar, mereka pergi untuk kembali, dan esoknya mereka kembali untuk selanjutnya pergi.
Setiap kita sebenarnya juga kucing-kucing itu. Mungkin tidak dalam kotak baja yang tertutup. Mungkin tidak dengan zat radioaktif yang meluruh. Tapi setiap saat ada yang setia mengintai kita. Kita pun berada dalam kondisi superposisi.
Perbedaan dari kita dan mereka adalah kesadaran yang menyergap. Mereka sadar mereka ada dalam kondisi superposisi, kita tidak. Mereka sadar kesempatan tak selalu datang dua kali, kita tidak. Mereka sadar bahwa waktu adalah pedang, yang apabila kita tak sanggup menguasainya, seketika pedang itu akan menebas batang leher kita.
Kesadaran kadang datang terlambat. Kita baru menyadari ketika satu per satu dari mereka meninggalkan kita. Kotak baja itu telah terurai dengan sendirinya. Dan kita lalu menjadi ternganga, betapa cepatnya perjumpaan dan perpisahan itu tiba. Ia merenggut apa-apa yang seringkali kita kira menjadi milik kita. Padahal tak ada yang benar-benar milik kita.
Mereka yang lebih dulu pergi adalah sebenar-benarnya syuhada. Kepergiannya menyisakan harum mewangi yang menjejak dalam sejarah. Juga teladan dan pelajaran yang nyata. Mungkin kita perlu merenungkan perkataan Ibnu Mas’ud r.a., “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak juga bertambah.”
Editor: Riza Almanfaluthi
Hari-hari ini waktu menjadi sesuatu yang nisbi. Dia bisa menjadi seelastis karet gelang yang direntangkan anak-anak kecil yang bermain lompat-lompatan. Terutama bila jam di dinding belum menunjuk ke angka lima di sore hari. Tapi waktu juga tiba-tiba bisa menjadi mengerut bila jatuh tempo pekerjaan mendekati batas akhirnya.
Kadang, waktu bisa menjadi begitu murah dihabiskan di warung makan dan kedai kopi. Juga dihabiskan berjam-jam dalam percakapan di media sosial. Tak jarang menjadikan kita jenis manusia baru yang bisa jadi berbeda di dunia nyata.
Bagi beberapa orang, waktu menjadi sangat mahal, bahkan menjadi kemewahan untuk dihabiskan bersama orang-orang terkasih. Tak setiap saat mereka bisa mencurahkan rasa kesal, amarah, atau kesedihan yang menumpuk di hati. Sebab itu, mereka cenderung hanya menceritakan yang indah-indah saja dan merasa hanya perlu berbagi kegembiraan saja kepada belahan jiwanya. Sebab mereka sadar, hanya kisah manis yang layak menempati ruang kenangan itu. Selebihnya biarlah mereka yang menanggungnya.
Di antara mereka, ada yang masih bergulat dengan perasaan rindu, yang semakin lama terasa semakin mencekik. Ada pula yang telah berdamai dengan keadaan dan berjabat erat dengan kesabaran. Mereka mengalihkan rasa sesak itu pada perjalanan panjang yang dilaluinya sepanjang hari. Sambil terus menata langkah untuk menunaikan tugasnya. Dan setiap kali panggilan negara itu tiba, dengan ringan hati mereka bergegas menyambutnya. Cintanya pada Pertiwi lebih kental daripada darah.
Bukannya mereka robot atau manusia setengah dewa, tapi mereka sadar bahwa itu adalah konsekuensi lain dari rasa cinta. Semakin berkorban, bukankah rasa cinta itu akan makin membesar? Dan bukankah pengorbanan adalah nama lain dari cinta?
Bukannya pula mereka telah kehilangan rasa takut sebagai manusia. Kekhawatiran kadang menjelma menjadi mimpi buruk tiap kali anak-anak mereka sakit, atau pasangan mereka menelepon di malam buta sambil menangis. Sedang mereka tak bisa berbuat apa-apa. Jarak selalu menciptakan argarinya sendiri yang sulit diretas.
Tapi mereka tahu bahwa ada kekuatan lain yang Maha Besar dan sangat bisa diandalkan di saat genting dan dunia tak bisa dikendalikan. Kekuasaan Yang Maha Mengatur Segalanya. Maka mereka menggantungkan semua harapan pada-Nya. Menitipkan mereka pada Yang Maha Memiliki. Di titik itu mereka menyadari bahwa manusia itu lemah. Dan kekuatan jiwa yang sejati berasal dari Yang Maha Kuat.
Di dalam kesadaran itu, mereka tetap berikhtiar menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari keluarga. Dengan komitmen penuh dan keteguhan hati. Akhir pekan yang bagi sebagian orang berlalu begitu saja, bagi mereka adalah momentum emas untuk memutus belenggu rindu. Meski diam-diam ada bahaya mengintai di situ.
Sebagian besar di antara dua hari di akhir pekan itu, mereka habiskan di jalanan, baik darat, laut, atau udara. Di saat-saat itu mereka seperti kucing dalam eksperimen Erwin Schrodinger. Eksperimen apakah itu?
Pada 1935, Erwin Schrodinger, seorang ilmuwan yang mendalami fisika kuantum, mengadakan percobaan yang menghasilkan sebuah paradoks. Ia menempatkan seekor kucing dalam sebuah ruangan baja bersama dengan perangkat yang berisi botol asam hidrosianat. Itu adalah zat radioaktif yang apabila satu atomnya saja meluruh selama periode pengujian, maka mekanisme estafet akan menggerakkan palu untuk memecahkan botol itu dan pada akhirnya akan membunuh kucing.
Pengamat tidak dapat mengetahui apakah zat atom tersebut telah meluruh atau tidak, tidak dapat mengetahui apakah palu telah memecahkan botol, tidak dapat mengetahui apakah asam hidrosianat telah menyebar, ataukah kucing telah mati. Menurut hukum kuantum, kucing itu dalam keadaan mati dan hidup, dan disebut superposisi.
Hanya jika membongkar kotak itu, keadaan superposisi akan menghilang dan kondisi kucing yang sebenarnya akan diketahui. Situasi ini disebut ketidakpastian kuantum atau paradoks pengamat: pengamatan atau pengukuran itu sendiri memengaruhi hasil, sehingga hasil seperti itu tidak ada, kecuali dilakukan pengukuran.
Beberapa orang bertanya-tanya, kenapa tidak membongkar saja kotaknya? Kenapa harus membuat serangkaian kerumitan dengan mengambil risiko dan mengorbankan nyawa si kucing? Pada akhirnya kita harus mengakui, ada beberapa orang yang tak bisa menghindari menjadi seperti kucing-kucing itu.
Itu bukanlah sebuah kesalahan. Itu juga bukan sebuah kekalahan. Meski mengetahui risikonya, mereka memilih tetap berada di situasi superposisi. Berada di ruang antara hidup dan mati. Atas nama cinta dan kesetiaan. Dan mereka tak pernah mau memilih mana cinta yang lebih besar, mereka pergi untuk kembali, dan esoknya mereka kembali untuk selanjutnya pergi.
Setiap kita sebenarnya juga kucing-kucing itu. Mungkin tidak dalam kotak baja yang tertutup. Mungkin tidak dengan zat radioaktif yang meluruh. Tapi setiap saat ada yang setia mengintai kita. Kita pun berada dalam kondisi superposisi.
Perbedaan dari kita dan mereka adalah kesadaran yang menyergap. Mereka sadar mereka ada dalam kondisi superposisi, kita tidak. Mereka sadar kesempatan tak selalu datang dua kali, kita tidak. Mereka sadar bahwa waktu adalah pedang, yang apabila kita tak sanggup menguasainya, seketika pedang itu akan menebas batang leher kita.
Kesadaran kadang datang terlambat. Kita baru menyadari ketika satu per satu dari mereka meninggalkan kita. Kotak baja itu telah terurai dengan sendirinya. Dan kita lalu menjadi ternganga, betapa cepatnya perjumpaan dan perpisahan itu tiba. Ia merenggut apa-apa yang seringkali kita kira menjadi milik kita. Padahal tak ada yang benar-benar milik kita.
Mereka yang lebih dulu pergi adalah sebenar-benarnya syuhada. Kepergiannya menyisakan harum mewangi yang menjejak dalam sejarah. Juga teladan dan pelajaran yang nyata. Mungkin kita perlu merenungkan perkataan Ibnu Mas’ud r.a., “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak juga bertambah.”
*Artikel ini telah ditayangkan pada majalah Intax (Internal Tax Magazine) Edisi Khusus November 2018 dalam rubrik "Refleksi"
Super sekali..sabtu minggu ane sempatin untuk keluarga Insya Allah
BalasHapusSiap Bosque
Hapus