Minggu, 24 April 2016

Prompt #112 - Keris Mpu Gandring


“Tin!” panggil ibuku dari dapur.


“Antarkan air dan nasi putih buat Bapak ke ruang belakang.”


Gegas kulaksanakan titah ibuku. Kuketuk pelan daun pintu jati berwarna hitam itu.


“Pak, dhahar dulu, nggih. Tini taruh di meja samping pintu, ya.”


Hanya deheman Bapak yang menyahut. 


Meski telah terbiasa dengan lelakunya di tiap bulan purnama tiba, hatiku masih terasa sesak tiap kali Bapak menghabiskan siang dan malam di dalam ruangan itu. 


Hanya Arfan, suamiku, yang paling memahami kegelisahanku.


“Sabarlah, Dek. Suatu saat nanti insya Allah Bapak akan sadar dan menghentikan ritualnya.”


“Tapi kapan, Mas? Hatiku sakit tiap kali harus mengantarkan makan dan minum buat Bapak. Bukankah kalau kita membantu kemusyrikan, dosa kita sama saja dengan pelakunya? Semua gara-gara keris terkutuk itu!”


“Iya, tapi kan kita tidak pernah berniat membantu Bapak dalam berbuat musyrik, Dek. Kita sudah cukup sering mengingatkan beliau secara halus. Melawan beliau secara frontal dan meninggalkan rumah ini bisa jadi malah akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Setidaknya bila kita tinggal di sini, kita bisa mengajak Ibu dan adik-adik mengaji, sambil terus mengajar Quran untuk anak-anak tetangga....”


“Apa bukan karena Mas gak mau pindah dan sudah merasa nyaman tinggal di rumah orang tuaku yang mewah ini?” entah dari mana datangnya ucapan yang keluar dari mulutku itu. Sedetik kemudian aku sadar namun terlambat, wajah suamiku memerah. Setelah menghela napas dan berbalik badan, dia meninggalkanku sendirian di dalam kamar.


Duh Gusti...kenapa aku berkata seperti itu? Semua pasti gara-gara pengaruh benda terkutuk itu! Keris itu telah memberikan pengaruh negatif bagi keluargaku. Ini tidak bisa dibiarkan! Besok lusa, ya, begitu ritual Bapak selesai aku harus segera bertindak!


Sumber


Ruangan belakang itu dipenuhi aroma dupa yang menyengat dan sisa-sisa bunga sesajen layu, membuatku mual. Sudah kepalang basah memasukinya, langkahku tak boleh surut meski tubuhku gemetar. Rasa takut sempat menyelinap sebab otakku telah dipenuhi dengan kisah-kisah Bapak tentang kehebatan keris yang konon buatan Mpu Gandring itu.


“Keris ini bukan keris sembarangan, Nduk! Barangsiapa yang memilikinya, kelak akan menjadi pewaris dari kesaktian Ken Arok dan juga memiliki kemuliaan dalam hidupnya,” sayup suara Bapak bergaung di kepalaku.


Persetan! Benda terkutuk itu harus dilenyapkan! Sorot mataku berkeliling mencari tempat penyimpanan keris itu. Pasti ada di dalam lemari, atau di dalam sebuah peti. 


Tapi...di manakah sebenarnya Bapak menyimpan keris itu? Setengah jam kulalui dengan hasil nihil. 


Tiba-tiba semilir angin dingin seakan menyelusup ke tengkukku, membuat bulu kudukku meremang. Sebuah benda bercahaya serta-merta melayang di udara, lalu menukik ke arahku tanpa kuduga. Ujungnya yang tajam berkilat seakan-akan hendak dihunjamkan ke arahku, entah oleh siapa.


Sendi-sendiku kaku, rasa gentar menyelimuti tubuhku.


Brakk! Daun pintu yang terlepas sebab dibuka paksa memecah ketakutanku. 


“Astaghfirullah, Dek!” teriakan histeris suamiku adalah suara terakhir yang kudengar sebelum aku pingsan.


* * *


“Jadi di mana sebenarnya Bapak sekarang, Mas?” tanyaku berhari-hari kemudian setelah sadar.


“Semenjak itu, Bapak pergi dari rumah. Bapak takut keris itu akan memakan korban lagi. Maka Bapak memutuskan membawa keris itu dan menyarungkannya sendiri....”


Air mataku tiba-tiba mengalir deras ketika menyadari, konon kabarnya keris itu memerlukan seorang tumbal untuk menjadi sarungnya yang abadi.



Jumlah kata: 500 kata.


Sumur inspirasi tulisan ini dari https://id.wikipedia.org/wiki/Keris_Mpu_Gandring