Jumat, 17 Agustus 2018

Huru-Hara di Rengasdengklok

“Sekarang, Bung! Malam ini juga kita serukan proklamasi!” seru Chairul, berusaha meyakinkan lawan bicaranya.

“Aku bilang tidak!” lawan bicaranya tak mau kalah.

“Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kita harus merebut kemerdekaan! Jangan percaya dengan janji omong kosong Jepang!” Sukarni mengompori.

Lawan bicaranya mendengus. Dasar darah muda! Darahnya begitu cair, mudah bergolak!

“Kalau Bung Karno tidak melakukannya hari ini juga, maka akan terjadi pertumpahan darah!” Wikana mengancam. 

Brakkk! Bung Karno menggebrak meja. "Apa?!” Ia yang naik pitam serta-merta mencengkeram kerah baju Wikana.

“Ini batang leherku! Seretlah aku sekarang juga lalu potong saja sekalian. Kau kira kami takut dengan ancaman kalian?!”

Wikana terperangah. Demikian juga teman-temannya. Mereka semua hanya berani menggerutu dalam hati, “Dasar darah tua! Darahnya begitu tumpat, sulit sekali dibelokkan!”

Oeeeek! Terdengar tangisan bayi menjerit-jerit dari arah belakang.

Bung Karno semakin kesal, ditendangnya kaki meja dengan sebelah kakinya.

“Kalian sungguh keterlaluan! Jauh-jauh membawa kami ke Rengasdengklok pada dini hari, aku masih bisa mentolerir. Tapi kenapa pula harus membawa istri dan bayiku si Guntur? Usianya bahkan belum genap setahun! Kalian pikir bisa menekanku dengan cara kotor seperti ini, hah?!”

Bung Hatta yang sedari tadi hanya diam saja melihat pertikaian di hadapannya, tiba-tiba berkata, “Wahai para pemuda, kami bukannya gentar dengan ancaman balatentara Jepang. Jepang adalah masa lalu. Tantangan yang akan dihadapi bangsa ini kelak sungguh berat. Belanda pasti sudah siap menyerang. Bila itu terjadi, dengan kekuatan apa kita akan menghadapinya?”

Para pemuda tak mau kalah. Salah satu dari mereka berkata, “Tapi, kami siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan ini. Lagipula, kebanggaan apalagi yang tersisa bagi bangsa kita bila kemerdekaannya adalah hadiah dari penjajah?”

“Ah, dasar bebal! Kalau kalian mati, lalu siapa yang akan mengawal kemerdekaan bangsa ini? Kalau kita paksakan proklamasi hari ini, maka akan terjadi pertumpahan darah dan ribuan rakyat tak berdosa meregang nyawa. Apakah itu yang kalian inginkan?” Bung Hatta mulai tersulut api.

Oeeeek! Jeritan bayi Guntur memekik lagi.

“Kenapa, Fat?” Bung Karno bertanya pada istrinya.

“Entahlah. Dari tadi sepertinya Guntur mual dan muntah. Mungkin reaksi masuk angin akibat perjalanan jauh di pagi buta,” ujar istrinya dengan nada khawatir. 

Bung Karno yang mendengarnya ikut cemas. Nalurinya sebagai bapak segera mengambil alih. 

“Segera kembalikan kami ke Jakarta. Bagaimanapun caranya, bayiku harus segera dirawat. Kalau terjadi sesuatu padanya, kalianlah yang harus bertanggung jawab,” ancam Bung Karno.

Para pemuda menjadi jeri. Tanpa pikir panjang mereka segera bersiap membawa Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta untuk kembali ke Jakarta malam itu juga. 

Djiaw Kie Siong -pemilik rumah tempat mereka berunding di Rengasdengklok- hanya mengantarkan sampai depan pintu. 

Wajahnya tersenyum puas melihat mereka segera pergi. Diam-diam dibereskannya sisa obat pencahar yang telah dicampurkannya sedikit dalam bubur bayi tadi. Dalam hatinya dia memuji dirinya sendiri karena telah berhasil menyelamatkan bangsa ini.

***
Catatan: ini hanya sebuah dekonstruksi sejarah dari peristiwa Rengasdengklok. Kisah fiksi pendek ini semata-mata ditulis dalam ajang final Monday Flash Fiction 2 di tahun 2015. Belum pernah dipublikasikan di manapun.

Sejarah asli :
Peristiwa Rengasdengklok adalah salah satu peristiwa sejarah yang melatarbelakangi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sekelompok pemuda menculik Bung Karno, Bung Hatta, beserta Fatmawati, istri Bung Karno, dan Guntur yang masih bayi agar Bung Karno dan Bung Hatta tidak diintervensi pihak Jepang dan segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejatinya hampir saja tidak ada kesepakatan di antara mereka. Namun karena telah terjadi kesepakatan antara Wikana dengan Achmad Soebarjo di Jakarta bahwa proklamasi akan dikumandangkan paling lambat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 12.00, maka akhirnya Achmad Soebarjo diperkenankan menjemput Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta di Rengasdengklok pada malam 16 Agustus 1945 itu. Sebagian besar dialog dalam kisah ini asli, tetapi beberapa bagian mengalami distorsi dan dekonstruksi.

Minggu, 12 Agustus 2018

Cara Mudah Pahami PP 23 Tahun 2018 Bagi Wajib Pajak Baru

Anda pengusaha UMKM dan baru ber-NPWP? Bingung dengan cara menghitung pajak menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh? Tenang, PP 23/2018 memberikan kesempatan wajib pajak untuk belajar membuat pembukuan: 

1.Untuk wajib pajak perorangan maka jangka waktunya 7 tahun sejak terdaftar;
2.Untuk PT jangka waktunya 3 tahun; 
3.Untuk CV, Firma, dan Koperasi 4 tahun. 

Ketentuan ini bagi wajib pajak yang terdaftar setelah tanggal 1 Juli 2018. Bagi yang terdaftar sebelum itu bagaimana? Dilihat dulu omzet tahun lalu berapa. Apabila di bawah 4,8 miliar rupiah maka boleh menggunakan skema PPh Final PP 23/2018. 

Sambil menunggu hingga wajib pajak mahir membuat pembukuan, PP 23/2018 memberikan kesempatan untuk menyetorkan pajak sebesar 0,5% dikalikan nilai total omzet sebulan. Omzet ini dihitung dari apa? Dari semua nilai penjualan atau nilai transaksi sebelum dikurangi diskon atau bentuk potongan apapun. Contoh: omzet usaha di bulan Juli 2018 sebesar 100 juta rupiah, maka pajak yang disetorkan sebesar 500 ribu rupiah.

Cara bayarnya bagaimana? Untuk membayar pajak UMKM ini silakan membuat kode billing dengan kode jenis pajak 411128-420 (untuk cara membuat kode billing silakan baca di sini). Setelah membuat kode billing, silakan setor uangnya ke kantor pos, bank, atau ATM. Khusus untuk pajak final UMKM ini sebenarnya bisa membuat billing langsung di ATM, lo. Apabila penerbit kartunya adalah Bank Mandiri dan BNI maka silakan cari menu pembayaran pajak dan membuat billing langsung di situ. Mudah dan praktis!

Bayarlah pajak selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Tak perlu lagi melaporkan pajak bulanan. Membayar pajak dianggap telah melapor. Nanti, di awal tahun depan, silakan melakukan pelaporan SPT Tahunan tahun ini paling lambat 31 Maret bagi wajib pajak orang pribadi dan tanggal 30 April bagi wajib pajak berbentuk badan (PT, CV, Firma, Koperasi).

Penghasilan Usaha Jenis Apa yang Kena PP 23/2018?

Terminologi usaha mengandung karakteristik 3 M yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara dalam upaya mendapatkan penghasilan tersebut. Namun rupanya tak semua penghasilan usaha masuk dalam kriteria yang boleh dikenakan PP 23/2018 ini yaitu:

1.Penghasilan orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan  bebas (dokter, pengacara, konsultan, agen asuransi, artis, penulis, dsb.);

2.Penghasilan yang diterima dari luar negeri yang pajaknya telah terutang/dibayar di luar negeri;

3.Penghasilan yang telah dikenai PPh Final dengan ketentuan tersendiri (misalnya PPh atas jasa konstruksi, PPh atas penghasilan persewaan tanah dan atau bangunan, PPh atas penjualan tanah dan atau bangunan);

4.Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak (misalnya warisan, dsb).

Jadi, misalnya wajib pajak punya dua jenis penghasilan maka harus dicatat sesuai jenis penghasilan dan dikenakan pajak secara terpisah. Contohnya seorang dokter yang mempunyai usaha apotek. Atas penghasilan sebagai dokter akan menggunakan tarif pasal 17 (bisa dengan metode pembukuan ataupun pencatatan dengan menggunakan norma penghasilan neto) dan atas penghasilan dari apoteknya akan dikenai PPh Final 0,5% selama omzet di tahun lalu masih di bawah 4,8 miliar rupiah. 

Kok omzet tahun lalu? Iya, dasar dibolehkannya menggunakan skema PPh Final ini memang menggunakan acuan omzet tahun sebelumnya. Omzet ini merupakan jumlah omzet total dari semua cabang usaha, termasuk apabila wajib pajak adalah suami-istri yang memiliki perjanjian pemisahan harta (status PH) atau memilih kewajiban pajak terpisah (MT) di SPT Tahunannya. Kenapa demikian? Suami-istri dianggap satu entitas ekonomi, maka apabila pasangan ini keduanya mempunyai kegiatan usaha yang masuk kriteria PP 23/2018 ini, maka perlu dihitung nilai total omzet di tahun lalu terlebih dahulu. Apabila melewati angka 4,8 miliar rupiah maka wajib menggunakan tarif pasal 17 UU PPh.

Wajib Pajak yang Tidak Dikenai

Ada beberapa wajib pajak yang tidak dikenai PPh Final 0,5% ini yaitu:
1.Wajib pajak yang memilih dikenai tarif PPh Pasal 17 dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan ke kantor pajak tempat terdaftar. Bagi wajib pajak ini untuk seterusnya tidak diperkenankan untuk menggunakan PPh Final UMKM;

2.Wajb pajak berbentuk badan yang memperoleh fasilitas PPh Pasal 31A UU PPh atau PP 94 Tahun 2010;

3.Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia);

4.Wajib pajak berbentuk CV atau firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Untuk wajib pajak jenis ini yang di tengah tahun pertama 2018 masih menggunakan skema PP 46/2013 maka masih diperkenankan untuk menggunakan PP 23/2018. Untuk tahun pajak 2019 wajib menggunakan skema tarif pasal 17 UU PPh. 

Bagaimana dengan usaha jasa kos-kosan?

Apabila telah memiliki NPWP, pemilik kos-kosan yang menerima pembayaran secara bulanan juga masuk sebagai subjek pajak yang dikenai PPh Final UMKM. Hal itu disebabkan jasa ini dikecualikan dari pengenaan PPh Final Persewaan atas Tanah dan atau Bangunan menurut PP 34 Tahun 2017. Ini berbeda dengan penghasilan dari penyewaan tanah dan atau bangunan yang dibayar secara tahunan dan dikenakan PPh Final dengan tarif 10%. 

Apabila merasa rugi bagaimana? Tenang saja, wajib pajak memiliki opsi untuk menghitung laba usaha setelah dikurangi biaya-biaya, tentu dengan menggunakan metode pembukuan. Bagi wajib pajak orang pribadi, apabila penghasilan bersih setelah dihitung ternyata berada di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka tak ada jumlah pajak yang harus disetorkan. Namun jangan lupa untuk menyampaikan surat pemberitahuan ke kantor pajak tempat terdaftar agar tidak terjadi kesalahan administrasi atas pelaporan pajak di kemudian hari.

Cukup jelas, bukan? Semoga bisa membantu dalam memahami aturan PP 23/2018 ini ya. Salam sukses selalu!

* * *

Cara mudah pahami PP 23 Tahun 2018 bagi yang sebelum 1 Juli 2018 sudah ber-NPWP baca di sini.

Cara mengajukan Surat Keterangan PP 23 Tahun 2018 baca di sini.

Tiga Jam Blusukan di Solo

“Urip iku sejatine gawe urup”

Tulisan spanduk yang terbentang di sebuah perempatan Solo seakan menyentak kesadaran kami, meninggalkan jejak yang dalam. Artinya kurang lebih begini: Hidup itu sejatinya memaknai kehidupan itu sendiri, agar menjadi terang benderang bagi sesama. Salah satu falsafah Jawa yang disabdakan Sunan Kalijaga itu rupanya semakin memperkuat slogan Solo: The Spirit of Java.

Kota yang tenang dengan total penduduk lebih dari 560 ribu jiwa itu tertata apik. Lingkungan kotanya bersih dan bebas dari kemacetan, bahkan di jam-jam sibuk sekalipun, memberikan kenyamanan bagi para pengguna jalan. Pemandangan di kiri kanan jalan teduh dan bersih, seakan membuktikan kelayakan Kota Bengawan ini meraih penghargaan Adipura selama dua tahun berturut-turut.

Saya dan Dek Fitri (Kasian bapak pengayuh becaknyah!)
Waktu yang hanya tiga jam memaksa kami menentukan tujuan daerah wisata yang menawarkan paket komplit: batik, kuliner, dan oleh-oleh. Dan pilihan kami jatuh ke Laweyan.

Kampung Laweyan, Surganya Batik

Laweyan berasal dari kata “Lawe” yaitu serat-serat kapas halus yang merupakan bahan baku pembuatan kain mori. Kampung Batik Laweyan sendiri merupakan sentra batik Solo yang sejarahnya sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M. Keberadaaannya tak bisa dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Henis, cikal bakal pendiri kerajaan Mataram Islam. Beliau mengajarkan teknik pembuatan batik kepada penduduk sekitar sambil mendakwahkan ajaran agama Islam. Keahlian ini pun semakin berkembang sehingga terbentuk Kampung Batik Laweyan yang hingga kini lestari sebagai salah satu destinasi wisata andalan.

Penjelajahan kami dimulai di pintu gerbang usaha batik "Merak Manis." Di selasar bangunan tampak tiga perempuan paruh baya dengan luwes menorehkan ujung canting pada sehelai kain putih yang telah diberi pola batik. Mereka tak sendiri, beberapa mahasiswa dari sebuah universitas di Palembang dengan antusias mengamati proses itu sambal sesekali mengambil foto. Selain menjual berbagai macam hasil kerajinan berbahan batik, industri rumahan ini juga menyediakan paket kursus singkat membuat batik dengan harga terjangkau. 

Suasana yang mulai ramai di dalam gerai dan bilik kriya membuat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sebab keindahan dari kehidupan adalah misteri itu sendiri, kami putuskan untuk menelusuri jalan-jalan dan gang kecil kampung ini. Satu dua penduduk lokal menyapa ramah, menunjukkan arah ke beberapa galeri yang sepi. Mata kami tanpa henti mengagumi pemandangan sekeliling. Perpaduan tembok-tembok tua lapuk yang menjulang tinggi berpadu dengan berbagai kios dan toko yang menyatu dengan bangunan rumah tinggal. Modernitas rupanya tak luput menggerus kawasan ini. Bentuk bangunan kolonial yang kuno dan antik mulai tergeser konsep hunian modern minimalis dan ekonomis.

Salah satu sudut Laweyan yang antik
Selama hampir dua jam berjalan kaki dan puas berbelanja di “Griya Batik Sidoluhur”, kami melanjutkan tujuan berikutnya: memanjakan lidah.

Sang Pewaris Tengkleng Bu Edi

Perut yang mulai menyanyikan lagu bossanova Jawa alih-alih lagu keroncong, memaksa kami melangkahkan kaki ke arah jalan raya. Beruntung sekali, sebuah becak terparkir di mulut gang. Pemiliknya yang ramah mengantarkan kami ke Pasar Jongke, beberapa menit saja dari Laweyan.

Antik (Sehat2 terus ya Mbah!)
Sebuah warung makan dengan menu tengkleng langsung menjadi serbuan kami. Tak lengkap rasanya kalau ke Solo belum mencicip kuliner ini. Tak dinyana, warung berjenama "Tengkleng Mas Agus" ini adalah pewaris dari Tengkleng Bu Edi yang legendaris. Pantas saja tempat ini laris. 

Tengkleng Bu Ediyem, atau populer dipanggil Bu Edi, memulai usaha berjualan di Pasar Klewer sejak 1971. Hingga kini hidangan khas olahan kambing ini masih menjadi primadona di hati para pelanggannya, bahkan pembeli dari luar kota rela antri berjam-jam hanya untuk menikmati sepincuk masakan ini. Ketenarannya semakin menjadi-jadi setelah tersiar kabar bahwa inilah menu favorit Presiden Jokowi dan keluarga. 

Beruntung kami singgah di cabangnya di Pasar Jongke. Tengkleng disuguhkan di atas piring, alih-alih daun pisang. Nasinya pun dihidangkan terpisah, cocok untuk penyuka porsi besar (seperti saya) dan memudahkan untuk menambah seporsi lagi. Komposisi bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, merica, ketumbar, lengkuas, dan jahe ini terasa pas di lidah. Rasanya gurih seperti gulai tetapi kuahnya lebih encer tanpa santan. Bahan utamanya tulang kaki, iga, kepala kambing, dan sebagainya. Kami cukup beruntung mendapatkan bagian lutut sehingga bisa menyeruput sumsum kambing dari tulangnya. Benar-benar maknyus! 

Maaf hanya poto aja
Setelah perut kenyang terisi, kami lengkapi perjalanan dengan membeli buah tangan di sebuah toko di Pasar Jongke. Daerah ini memang pusat penjualan oleh-oleh, hampir semua produk makanan khas Solo bisa ditemui di sini seperti abon, inthip, ampyang, kopi khas Solo lengkap dengan cangkir seng, dan sebagainya.

Perubahan di Bidang Transportasi

Setelah tiga jam menghabiskan waktu di daerah ini, kami pun kembali ke penginapan dengan suka hati. Lagi-lagi mobil pesanan via daring menjadi andalan kami. Selain akses yang mudah, jumlah armada yang disediakan aplikasi ini cukup banyak dan bervariasi sehingga pelanggan tak perlu lama menunggu. Menurut informasi dari pengemudi, awalnya perusahaan taksinya mempunyai aplikasi daring sendiri, namun karena kebutuhan menjaring pelanggan yang lebih luas, maka perusahaannya bekerja sama dengan penyedia jasa aplikasi Go-Jek. Di lini transportasi pun rupanya sedang terjadi proses dirupsi.

Menurut Senior Vice President Operation Gojek Indonesia, Arno Tse, sebagaimana wawancara solopos.com, pendapatan sopir Go-Jek di Solo berhasil melampaui rata-rata pendapatan pengemudi Go-Jek secara Nasional. Demikian juga dengan layanan Go-Food yang mendapatkan apresiasi tinggi. Ini tentu hal yang sangat menggembirakan. Di satu sisi, peningkatan pendapatan rumah tangga akan meningkat dan kesejahteraan akan tercapai bagi yang mampu memanfaatkan teknologi. Di sisi lain, selalu ada peluang terciptanya penurunan penghasilan bagi para pengayuh becak, tukang ojek pangkalan, pengemudi taksi konvensional dan siapa saja yang belum memanfaatkan kecanggihan teknologi. 

Geliat UMKM di Masa Perlambatan Ekonomi

Mendung semakin pekat menggelayuti ketika kendaraan kami membelah kota. Selama bulan Februari itu, di beberapa titik terpasang spanduk maupun baliho bertuliskan "Solo Great Sale 2018." Menurut informasi dari situs resminya, Solo Great Sale (SGS) adalah program yang digelar setiap tahun hasil kerja sama Pemkot Surakarta dan KADIN Solo untuk merespons masa-masa perlambatan ekonomi yang biasanya terjadi di awal tahun. Tahun ini SGS berlangsung selama bulan Februari 2018 dan diramaikan dengan 14 kegiatan besar di Solo, seperti: Grebeg Sudiro, Kirab Budaya, Perayaan Imlek, Solo Computer Bazaar, dan lain sebagainya.

Perhelatan yang bertujuan untuk mendongkrak jumlah aktivitas bisnis dan pariwisata di Kota Budaya ini diikuti 5 ribu partisipan serta 44 pasar tradisional. Nilai ini dua kali lipat dibanding tahun lalu. Pengampu SGS menargetkan nilai transaksi yang akan diraih tahun ini sebesar 400 miliar rupiah, sangat optimis meningkat dibandingkan capaian tahun lalu yang tercatat sebesar 245 miliar rupiah.

Pemerintah daerah rupanya bertekad terus berupaya meningkatkan potensi UMKM sebagai potensi yang dapat diandalkan untuk menopang potensi perekonomian kota. Bahkan, sejak Oktober 2017 pemerintah Surakarta telah menggandeng perusahaan rintisan Tokopedia untuk memasarkan komoditas UMKMnya. Ini merupakan sebuah inovasi dan bentuk ketangkasan dalam merespons dirupsi di bidang pemasaran yang perlu diapresiasi.

Toko oleh-oleh yang kumplit

Sejalan dengan upaya tersebut, Kanwil DJP Jawa Tengah II juga menjalankan program Business Development Services (BDS) yang membina puluhan UMKM selama tiga tahun terakhir. Bahkan, di bulan November 2017 digelar Solo Inovatif Expo 2017 bertajuk Gebyar Aksi dan Kreasi UMKM yang bertujuan untuk mempromosikan 70 UMKM binaan KPP.

Di masa perlambatan ekonomi, UMKM justru membuktikan diri sebagai yang terdepan dalam berinovasi. Harga komoditas yang terjangkau, mudah diakses, serta kegigihannya dalam memanfaatkan peluang perubahan besar-besaran dalam teknologi, gaya hidup, dan model bisnis, adalah kunci dalam menghadapi badai krisis yang mendera. Pengaruhnya akan mempunyai efek signifikan dalam menyumbang penerimaan negara, apalagi setelah berlakunya PP 23 tahun 2018, tentu akan mempermudah Wajib Pajak UMKM yang baru terdaftar dalam memenuhi kewajibannya.

Kota yang Makin Modern

Tanpa terasa perjalanan kami hampir berakhir. Kami melewati daerah Manahan yang kabarnya akan dibangun jembatan layang, menyusul berikutnya Daerah Purwosari. Pengemudi taksi daring kami mengeluhkan kemacetan yang sempat dua jam terjadi saat dilaksanakan simulasi lalin pembangunan jembatan layang Manahan. Syukurlah sejurus kemudian ia pun tersadar bahwa itu pengorbanan yang sepadan. Kelak, ketika jembatan-jembatan layang itu selesai dibangun, roda perekonomian akan berputar semakin cepat dan sektor UMKM tidak akan lagi menggeliat melainkan tangkas berlari melesatkan pertumbuhan ekonomi.

Seperti falsafah “Urip iku sejatine gawe urup”, memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi sesama dapat juga dilakukan dengan taat membayar pajak. Melalui pajak, fungsi redistribusi pendapatan dari para pembayar pajak akan dijalankan melalui pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak bagi sebesar-besar kemaslahatan umat. Dengan manfaat pajak yang semakin dirasakan oleh masyarakat Surakarta, keinginan untuk taat pajak bisa jadi bukan sekadar angan belaka.

Numpang narsis ya!

Baca juga: 
Cara mudah pahami Pajak UMKM (bagi yang baru ber-NPWP)

Cara mudah pahami PP 23 Tahun 2018 bagi yang sebelum 1 Juli 2018 sudah ber-NPWP baca di sini.

Cara mengajukan Surat Keterangan PP 23 Tahun 2018 baca di sini.



Rabu, 01 Agustus 2018

Bagian Ke-2 Cara Mudah Pahami PP 23 Tahun 2018

Hai Sobat UMKM! Di bagian pertama pembahasan sebelumnya kita telah memahami perbedaan tarif dan subjek antara PP 46 dan PP 23. Kita juga telah membahas jangka waktu diperbolehkannya menggunakan skema PPh Final PP 23 dan beberapa penyebab wajib pajak (WP) menggunakan dua skema perhitungan PPh dalam satu tahun pajak.

Di bagian kedua ini saya akan membahas tentang hal yang sering ditanyakan oleh WP UMKM yaitu:

SKB PP 46 atau Surat Keterangan PP 23?

Wajib pajak UMKM yang sebelumnya telah membayar PPh Final 1% memerlukan SKB (Surat Keterangan Bebas) PP 46 agar tidak dipotong PPh Pasal 21/PPh Pasal 22/Pasal 23 dari lawan transaksi. Jadi, tidak ada dobel pengenaan PPh atas satu objek yang sama. Namun realitanya, muncul beberapa kekurangan dalam pelaksanaan di lapangan yaitu:

1.Ada lawan transaksi yang tidak mau menerima SKB yang sudah dimiliki oleh WP UMKM sehingga tetap memotong atau memungut PPh. Atas pemajakan berganda ini sebenarnya WP bisa memperhitungkan kelebihan pembayarannya di SPT Tahunan. Namun, karena takut diperiksa, beberapa WP memilih untuk tidak mengakui kelebihan pembayarannya.

2.Wajib pajak harus mengajukan permohonan SKB per jenis PPh. Wajib pajak juga harus mengajukan legalisir SKB ke kantor pajak tempat terdaftar agar dapat digunakan oleh lawan transaksi. Proses ini dirasa cukup merepotkan WP. Selain itu, aturan yang meminta agar legalisir SKB dilakukan per invoice dan WP harus membayar PPh Final 1% sebelum menerima pembayaran terkadang menyulitkan WP dengan modal terbatas. Bayangkan saja betapa sibuknya WP yang bolak-balik mengantre di kantor pajak. Bayangkan pula misalnya ketika WP apes dan transaksi tiba-tiba batal padahal sudah terlanjur bayar PPh Final. Amsyong!

3.Ketidakseragaman pemahaman petugas akan saat dimulainya kewajiban PP 46. Aturan lama memang tidak serta-merta mewajibkan WP UMKM untuk menggunakan skema PPh Final di tahun pertama berdiri. Dibutuhkan saat satu tahun beroperasi komersial terlebih dahulu untuk menentukan omzet awal yang menjadi acuan dimulainya penerapan PP 46. Ini menyebabkan perbedaan pengambilan keputusan di beberapa unit kerja. Kesimpangsiuran informasi menyebabkan WP bingung kapan harus mulai mengajukan SKB.

4.Switching alias berganti-ganti metode. Nilai omzet di tahun lalu yang menjadi acuan menyebabkan beberapa WP yang omzetnya menempel tipis naik-turun di kisaran ambang batas nilai (4,8 miliar rupiah) harus berganti-ganti skema antara PPh Final dan tarif PPh Pasal 17. Salah-salah metode, WP berisiko diperiksa. Mengajukan SKB pun jadi ragu-ragu, mau pakai perhitungan yang mana?

Aturan PP 23 rupanya diterbitkan untuk mengurangi kelemahan di atas, SKB PP 46 digantikan dengan Surat Keterangan PP 23. Cara mengajukannya relatif mudah. Wajib Pajak tinggal mengisi formulir permohonan surat keterangan dan melampirkan dokumen pendukung seperti:

1.SPT Tahunan tahun sebelumnya dan tanda terima SPT Tahunan (bagi WP yang telah berkewajiban di tahun mengajukan permohonan). Ini diperlukan untuk mengecek omzet di tahun pajak sebelumnya apakah masuk kriteria atau tidak. Wajib pajak baru tidak perlu melampirkan dokumen ini, bisa digantikan dengan fotokopi SKT (Surat Keterangan Terdaftar) untuk memudahkan petugas peneliti mendapat informasi awal bahwa belum ada kewajiban menyampaikan SPT Tahunan.

2.Dokumen pendukung lain yang menunjukkan jenis usaha atau sumber penghasilan seperti salinan kontrak kerja, perjanjian kerja sama, invoice, order pembelian, dsb. Ini diperlukan untuk membantu petugas meneliti apakah jenis usaha tersebut masuk ke dalam kriteria penghasilan dari usaha sesuai PP 23.


Contoh Permohonan Surat Keterangan

Apabila WP sudah pernah mengurus SKB PP 46 sebelumnya maka tidak perlu mengajukan Surat Keterangan. Hal ini disebabkan aturan peralihan mengatur bahwa fungsi SKB PP 46 yang dimiliki di tahun 2018 dipersamakan dengan Surat Keterangan, namun sifatnya masih hibrida. Maksudnya bagaimana?

Begini, secara normal Surat Keterangan digunakan agar lawan transaksi yang akan memotong atau memungut PPh Pasal 21/22/23 tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh tersebut (mirip SKB PP 46). Tetapi jangan lupa, atas Surat Keterangan tersebut lawan transaksi wajib memotong atau memungut PPh Final sebesar setengah persen. 

Nah, karena aturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pemotongan dan pelaporan PPh Final oleh lawan transaksi ini belum terbit, aturan peralihan mengatur sepanjang WP bisa menunjukkan ia telah membayar setengah persen kepada lawan transaksi maka ia tak perlu dipotong atau dipungut PPh apapun. Skema ini mirip SKB PP 46. Inilah yang saya sebut hibrida alias setengah-setengah. Tapi ini hanya berlaku selama belum ada PMK yang mengatur PP 23. Jangan lupa, aslinya aturan ini ya lawan transaksi wajib memotong atau memungut setengah persen PPh Final.

Surat Keterangan ini mengakomodir beberapa hal yang dikeluhkan WP. Artinya, pemerintah menangkap keresahan WP dan merespons positif masukan dari para pelaku usaha, seperti:

1.Pengajuan permohonan Surat Keterangan dilakukan sekali saja, tidak per jenis PPh. Juga tidak perlu lagi melegalisir seperti pada aturan SKB PP 46. Cukup memberikan salinan Surat Keterangan ke lawan transaksi. Tak perlu sering-sering ke kantor pajak.

2.Berkurangnya potensi lebih bayar, rasa waswas akan diperiksa, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan tarif yang digunakan oleh pemotong atau pemungut tadi sama-sama setengah persen. Wajib pajak tak perlu repot membayar sendiri PPh Final. Ini kondisi ideal ketika nanti aturan PMK yang baru sudah terbit dan lawan transaksi (terutama bendahara) telah disosialisasikan tentang petunjuk teknisnya.

3.Bagi WP baru tak perlu menunggu satu tahun beroperasi komersial. Ia bisa langsung menikmati tarif setengah persen dan mengajukan Surat Keterangan ke kantor pajak tempat terdaftar.

4.Berakhirnya rezim gonta-ganti metode penghitungan PPh. Sekali omzet WP di atas 4,8 miliar rupiah maka di tahun berikutnya wajib menggunakan pembukuan. Apabila omzet di tahun berikutnya di bawah nilai itu maka tak boleh lagi menikmati fasilitas PPh Final setengah persen. WP tak perlu mengajukan Surat Keterangan. Ini memberikan kepastian hukum bagi WP.

Kiranya ada hal yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah agar seperangkat aturan pelaksanaan PP 23 ini secepatnya diluncurkan. Jangka waktu pemrosesan Surat Keterangan belum diatur sehingga menimbulkan perbedaan di lapangan. Selain itu, sosialisasi masif kepada lawan transaksi (terutama bendahara) sebagai pemungut atau pemotong juga diperlukan agar WP UMKM (lagi-lagi) tidak direpotkan dengan kelebihan bayar akibat dobel pengenaan pajak.

Yang terakhir, saya menitip pesan kepada seluruh pelaku usaha UMKM di Indonesia untuk tetap optimis dan menaruh kepercayaan kepada Ditjen Pajak. Perubahan adalah katalisator kemajuan zaman. Tidak bisa instan tetapi bukan tidak mungkin. Manfred Kets de Fries mencatat, “Salah satu penghalang manusia memperbaiki diri adalah karena kita adalah produk masa lalu.” Bersabar dan terus belajar sepanjang proses perubahan adalah salah satu cara untuk lolos dari belenggunya.

* * *

Bagian pertama klik di sini.

Bagian ketiga (untuk wajib pajak baru) klik di sini.

Baca juga : Agar Setengah Persen Sepenuh Hati

Tulisan ini dibuat sebelum PMK-99/PMK.03/2018 yang mengatur lebih detil tentang aturan pelaksanaan PP 23. Menurut PMK tersebut, syarat yang perlu dilampirkan dalam pengajuan permohonan Surat Keterangan adalah salinan SPT Tahunan Tahun Pajak terakhir saja.