Minggu, 12 Agustus 2018

Tiga Jam Blusukan di Solo

“Urip iku sejatine gawe urup”

Tulisan spanduk yang terbentang di sebuah perempatan Solo seakan menyentak kesadaran kami, meninggalkan jejak yang dalam. Artinya kurang lebih begini: Hidup itu sejatinya memaknai kehidupan itu sendiri, agar menjadi terang benderang bagi sesama. Salah satu falsafah Jawa yang disabdakan Sunan Kalijaga itu rupanya semakin memperkuat slogan Solo: The Spirit of Java.

Kota yang tenang dengan total penduduk lebih dari 560 ribu jiwa itu tertata apik. Lingkungan kotanya bersih dan bebas dari kemacetan, bahkan di jam-jam sibuk sekalipun, memberikan kenyamanan bagi para pengguna jalan. Pemandangan di kiri kanan jalan teduh dan bersih, seakan membuktikan kelayakan Kota Bengawan ini meraih penghargaan Adipura selama dua tahun berturut-turut.

Saya dan Dek Fitri (Kasian bapak pengayuh becaknyah!)
Waktu yang hanya tiga jam memaksa kami menentukan tujuan daerah wisata yang menawarkan paket komplit: batik, kuliner, dan oleh-oleh. Dan pilihan kami jatuh ke Laweyan.

Kampung Laweyan, Surganya Batik

Laweyan berasal dari kata “Lawe” yaitu serat-serat kapas halus yang merupakan bahan baku pembuatan kain mori. Kampung Batik Laweyan sendiri merupakan sentra batik Solo yang sejarahnya sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M. Keberadaaannya tak bisa dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Henis, cikal bakal pendiri kerajaan Mataram Islam. Beliau mengajarkan teknik pembuatan batik kepada penduduk sekitar sambil mendakwahkan ajaran agama Islam. Keahlian ini pun semakin berkembang sehingga terbentuk Kampung Batik Laweyan yang hingga kini lestari sebagai salah satu destinasi wisata andalan.

Penjelajahan kami dimulai di pintu gerbang usaha batik "Merak Manis." Di selasar bangunan tampak tiga perempuan paruh baya dengan luwes menorehkan ujung canting pada sehelai kain putih yang telah diberi pola batik. Mereka tak sendiri, beberapa mahasiswa dari sebuah universitas di Palembang dengan antusias mengamati proses itu sambal sesekali mengambil foto. Selain menjual berbagai macam hasil kerajinan berbahan batik, industri rumahan ini juga menyediakan paket kursus singkat membuat batik dengan harga terjangkau. 

Suasana yang mulai ramai di dalam gerai dan bilik kriya membuat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sebab keindahan dari kehidupan adalah misteri itu sendiri, kami putuskan untuk menelusuri jalan-jalan dan gang kecil kampung ini. Satu dua penduduk lokal menyapa ramah, menunjukkan arah ke beberapa galeri yang sepi. Mata kami tanpa henti mengagumi pemandangan sekeliling. Perpaduan tembok-tembok tua lapuk yang menjulang tinggi berpadu dengan berbagai kios dan toko yang menyatu dengan bangunan rumah tinggal. Modernitas rupanya tak luput menggerus kawasan ini. Bentuk bangunan kolonial yang kuno dan antik mulai tergeser konsep hunian modern minimalis dan ekonomis.

Salah satu sudut Laweyan yang antik
Selama hampir dua jam berjalan kaki dan puas berbelanja di “Griya Batik Sidoluhur”, kami melanjutkan tujuan berikutnya: memanjakan lidah.

Sang Pewaris Tengkleng Bu Edi

Perut yang mulai menyanyikan lagu bossanova Jawa alih-alih lagu keroncong, memaksa kami melangkahkan kaki ke arah jalan raya. Beruntung sekali, sebuah becak terparkir di mulut gang. Pemiliknya yang ramah mengantarkan kami ke Pasar Jongke, beberapa menit saja dari Laweyan.

Antik (Sehat2 terus ya Mbah!)
Sebuah warung makan dengan menu tengkleng langsung menjadi serbuan kami. Tak lengkap rasanya kalau ke Solo belum mencicip kuliner ini. Tak dinyana, warung berjenama "Tengkleng Mas Agus" ini adalah pewaris dari Tengkleng Bu Edi yang legendaris. Pantas saja tempat ini laris. 

Tengkleng Bu Ediyem, atau populer dipanggil Bu Edi, memulai usaha berjualan di Pasar Klewer sejak 1971. Hingga kini hidangan khas olahan kambing ini masih menjadi primadona di hati para pelanggannya, bahkan pembeli dari luar kota rela antri berjam-jam hanya untuk menikmati sepincuk masakan ini. Ketenarannya semakin menjadi-jadi setelah tersiar kabar bahwa inilah menu favorit Presiden Jokowi dan keluarga. 

Beruntung kami singgah di cabangnya di Pasar Jongke. Tengkleng disuguhkan di atas piring, alih-alih daun pisang. Nasinya pun dihidangkan terpisah, cocok untuk penyuka porsi besar (seperti saya) dan memudahkan untuk menambah seporsi lagi. Komposisi bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, merica, ketumbar, lengkuas, dan jahe ini terasa pas di lidah. Rasanya gurih seperti gulai tetapi kuahnya lebih encer tanpa santan. Bahan utamanya tulang kaki, iga, kepala kambing, dan sebagainya. Kami cukup beruntung mendapatkan bagian lutut sehingga bisa menyeruput sumsum kambing dari tulangnya. Benar-benar maknyus! 

Maaf hanya poto aja
Setelah perut kenyang terisi, kami lengkapi perjalanan dengan membeli buah tangan di sebuah toko di Pasar Jongke. Daerah ini memang pusat penjualan oleh-oleh, hampir semua produk makanan khas Solo bisa ditemui di sini seperti abon, inthip, ampyang, kopi khas Solo lengkap dengan cangkir seng, dan sebagainya.

Perubahan di Bidang Transportasi

Setelah tiga jam menghabiskan waktu di daerah ini, kami pun kembali ke penginapan dengan suka hati. Lagi-lagi mobil pesanan via daring menjadi andalan kami. Selain akses yang mudah, jumlah armada yang disediakan aplikasi ini cukup banyak dan bervariasi sehingga pelanggan tak perlu lama menunggu. Menurut informasi dari pengemudi, awalnya perusahaan taksinya mempunyai aplikasi daring sendiri, namun karena kebutuhan menjaring pelanggan yang lebih luas, maka perusahaannya bekerja sama dengan penyedia jasa aplikasi Go-Jek. Di lini transportasi pun rupanya sedang terjadi proses dirupsi.

Menurut Senior Vice President Operation Gojek Indonesia, Arno Tse, sebagaimana wawancara solopos.com, pendapatan sopir Go-Jek di Solo berhasil melampaui rata-rata pendapatan pengemudi Go-Jek secara Nasional. Demikian juga dengan layanan Go-Food yang mendapatkan apresiasi tinggi. Ini tentu hal yang sangat menggembirakan. Di satu sisi, peningkatan pendapatan rumah tangga akan meningkat dan kesejahteraan akan tercapai bagi yang mampu memanfaatkan teknologi. Di sisi lain, selalu ada peluang terciptanya penurunan penghasilan bagi para pengayuh becak, tukang ojek pangkalan, pengemudi taksi konvensional dan siapa saja yang belum memanfaatkan kecanggihan teknologi. 

Geliat UMKM di Masa Perlambatan Ekonomi

Mendung semakin pekat menggelayuti ketika kendaraan kami membelah kota. Selama bulan Februari itu, di beberapa titik terpasang spanduk maupun baliho bertuliskan "Solo Great Sale 2018." Menurut informasi dari situs resminya, Solo Great Sale (SGS) adalah program yang digelar setiap tahun hasil kerja sama Pemkot Surakarta dan KADIN Solo untuk merespons masa-masa perlambatan ekonomi yang biasanya terjadi di awal tahun. Tahun ini SGS berlangsung selama bulan Februari 2018 dan diramaikan dengan 14 kegiatan besar di Solo, seperti: Grebeg Sudiro, Kirab Budaya, Perayaan Imlek, Solo Computer Bazaar, dan lain sebagainya.

Perhelatan yang bertujuan untuk mendongkrak jumlah aktivitas bisnis dan pariwisata di Kota Budaya ini diikuti 5 ribu partisipan serta 44 pasar tradisional. Nilai ini dua kali lipat dibanding tahun lalu. Pengampu SGS menargetkan nilai transaksi yang akan diraih tahun ini sebesar 400 miliar rupiah, sangat optimis meningkat dibandingkan capaian tahun lalu yang tercatat sebesar 245 miliar rupiah.

Pemerintah daerah rupanya bertekad terus berupaya meningkatkan potensi UMKM sebagai potensi yang dapat diandalkan untuk menopang potensi perekonomian kota. Bahkan, sejak Oktober 2017 pemerintah Surakarta telah menggandeng perusahaan rintisan Tokopedia untuk memasarkan komoditas UMKMnya. Ini merupakan sebuah inovasi dan bentuk ketangkasan dalam merespons dirupsi di bidang pemasaran yang perlu diapresiasi.

Toko oleh-oleh yang kumplit

Sejalan dengan upaya tersebut, Kanwil DJP Jawa Tengah II juga menjalankan program Business Development Services (BDS) yang membina puluhan UMKM selama tiga tahun terakhir. Bahkan, di bulan November 2017 digelar Solo Inovatif Expo 2017 bertajuk Gebyar Aksi dan Kreasi UMKM yang bertujuan untuk mempromosikan 70 UMKM binaan KPP.

Di masa perlambatan ekonomi, UMKM justru membuktikan diri sebagai yang terdepan dalam berinovasi. Harga komoditas yang terjangkau, mudah diakses, serta kegigihannya dalam memanfaatkan peluang perubahan besar-besaran dalam teknologi, gaya hidup, dan model bisnis, adalah kunci dalam menghadapi badai krisis yang mendera. Pengaruhnya akan mempunyai efek signifikan dalam menyumbang penerimaan negara, apalagi setelah berlakunya PP 23 tahun 2018, tentu akan mempermudah Wajib Pajak UMKM yang baru terdaftar dalam memenuhi kewajibannya.

Kota yang Makin Modern

Tanpa terasa perjalanan kami hampir berakhir. Kami melewati daerah Manahan yang kabarnya akan dibangun jembatan layang, menyusul berikutnya Daerah Purwosari. Pengemudi taksi daring kami mengeluhkan kemacetan yang sempat dua jam terjadi saat dilaksanakan simulasi lalin pembangunan jembatan layang Manahan. Syukurlah sejurus kemudian ia pun tersadar bahwa itu pengorbanan yang sepadan. Kelak, ketika jembatan-jembatan layang itu selesai dibangun, roda perekonomian akan berputar semakin cepat dan sektor UMKM tidak akan lagi menggeliat melainkan tangkas berlari melesatkan pertumbuhan ekonomi.

Seperti falsafah “Urip iku sejatine gawe urup”, memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi sesama dapat juga dilakukan dengan taat membayar pajak. Melalui pajak, fungsi redistribusi pendapatan dari para pembayar pajak akan dijalankan melalui pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak bagi sebesar-besar kemaslahatan umat. Dengan manfaat pajak yang semakin dirasakan oleh masyarakat Surakarta, keinginan untuk taat pajak bisa jadi bukan sekadar angan belaka.

Numpang narsis ya!

Baca juga: 
Cara mudah pahami Pajak UMKM (bagi yang baru ber-NPWP)

Cara mudah pahami PP 23 Tahun 2018 bagi yang sebelum 1 Juli 2018 sudah ber-NPWP baca di sini.

Cara mengajukan Surat Keterangan PP 23 Tahun 2018 baca di sini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^