Rabu, 21 Oktober 2015

#FFRabu - Curahan Hati Seorang Istri Pelukis



Suamiku selalu berkata bahwa akulah inspirasi dari setiap lukisannya. Setiap kali dia mendapat ide, tangannya seakan-akan bergerak sendiri mencari kuas dan kanvas, lalu mendorongku ke studio mini di salah satu sudut rumah kami, menjadikanku sebagai objek lukisannya.

Sumber


Seperti saat ini.

“Sudah belum, Mas? Hari ini aku ada jadwal arisan, bisa tidak ya, kita lanjut lagi besok?”

Dia menggeram tanda tak setuju. Padahal tanganku mulai kram.

Berjam-jam kemudian….

“Maas!”

Tak ada jawaban. Matanya tengah serius memelototi kanvas dan tubuhku.

Kesal kulemparkan bunga yang sedang kupegang.

“Cukup! Sepanjang pernikahan kita kamu hanya melukis benda yang kupegang saja, tak pernah sekalipun kau melukisku!”

Jumlah kata : 100 kata.

Selasa, 20 Oktober 2015

Prompt #93 - Bukan Salah Cermin

Sumber


Prang!!


Cermin itu hancur berkeping-keping. Serpihannya berserakan di antara genangan darahku yang pekat. Denyut nyeri di tanganku tak kuhirau lagi. Puas sekali rasanya menghancurkan benda itu.


Setiap kali melihatnya, rasanya aku selalu melihat bayangan ibuku bersolek dengan dandanan yang membangkitkan nafsu. Bibirnya penuh gincu. Yang membuatku perih adalah karena kutahu tampilan kemayu itu bukanlah untuk bapakku yang tergolek sakit di kampung. 


“Ini uang untuk jajanmu di sekolah,” atau, “Ini buat beli buku pelajaran.” Selalu alasan itu yang membuatku menahan perasaan, menekan rasa malu, dan tak pernah bertanya-tanya dimana Ibu mencari kehangatan di malam-malam yang dingin itu.


“Nduk! Istighfar, Nduk!” teriakan histeris Simbah Putri menghentakku ke alam sadar. 


Samar kudengar suara lirih mendiang Ibu sesaat sebelum beliau berpulang, “Nduk, maafkanlah ibumu yang penuh dosa ini. Ibu hanya ingin agar kamu mendapatkan yang terbaik….” 


Saat itu tangannya yang kurus kering gemetar mengusap kepalaku, seakan-akan meminta doa, sebagai penebus dosanya kelak di alam kubur. Ibuku yang buta huruf yang selalu menyemangatiku belajar. Ibuku yang melemparkan dirinya ke bara api neraka untuk mengangkat derajatku setinggi-tingginya.


“Apa salah cermin itu, Nduk?” pertanyaan Simbah Putri seakan menohok jantungku.


Cermin itu tak pernah salah. Akulah yang salah memilih mengikuti jejak Ibu untuk mencari nafkah. Maafkan aku, Ibu.

Jumlah kata : 200 kata.

Selasa, 06 Oktober 2015

Prompt #91 - Berdua



Sumber


Angin malam terus saja mempermainkan helai demi helai rambutmu. Hampir membuatmu kehilangan konsentrasi. Tapi mulutmu tetap saja tak mau berhenti.


“Alam nasyroh laka shodrok…,” teriakmu lantang membuat hatiku makin mengembang. Satu hafalan surat baru jatah hari ini, sedikit lagi pasti bisa kau tuntaskan. 


Kau genggam tanganku erat, sesekali membantumu menjaga keseimbangan akibat jalan yang licin dan terjal. Perjalanan malam ini nampaknya takkan lebih mudah dari biasanya.


“Alladzii ang…ang…,” kau mulai putus asa.


“Qodho dzohrok,” sahutku segera.


Seketika kau nyengir, membuatku makin teringat ibumu. Benar kata orang, tak satu pun jejak fisikku menurun padamu. Buatku tak mengapa. Warisan fisik tak lebih penting daripada warisan ideologi. Setidaknya di umurmu sekarang ini, jumlah hafalanmu lebih banyak daripada jumlah hafalanku di usia yang sama. Dan itu sudah cukup membuatku luar biasa bangga.


“Warofa’naa laka dzikrok,” suaramu semakin lantang.


“Ammar, sebentar lagi sampai di rumah Bunda,” tukasku.


Wajahmu seketika murung. “Ammar mau sama Ayah saja…. Kan hafalannya belum selesai disetor semuanya, Yah.”


Aku berjongkok di hadapanmu. Kutatap lembut matamu lalu kubelai rambutmu yang halus.


“Anak shaleh, nanti kalau minggu depan giliran Ayah yang menemani Ammar, boleh setor lagi ya…,” hiburku masygul. Aku sendiri tak begitu yakin dengan apa yang kujanjikan.


Kau mengangguk lemah lalu buru-buru berlari ke halaman rumah ibumu, rumah yang dulunya kita tempati bersama. Entah bagaimana air mukamu sekarang. Aku tak berani membayangkannya sebab aku sendiri sibuk menata hatiku yang terguncang tiap kali perpisahan ini tiba.


Entah apakah pekan depan giliranku akan tiba. Sepertinya hasil pengadilan agama akan segera keluar dan aku tak yakin apakah ibumu tetap membolehkan kita rutin bertemu seperti biasanya. 


Maafkan ayahmu ini yang belum bisa mengerti kenapa semua musibah ini terjadi. Maafkan ayahmu ini yang tak pernah bisa berhenti mencintaimu, Anakku. 


Lirih kuteruskan hafalanmu, “Fainnama’al ushri yusro…. Innama’al ushri yusro….*”


Rintik hujan turun mengiringi. Air mataku menitik semakin deras.


Jumlah kata : 300 kata.
*Quran Surat Al-Insyirah ayat 5-6 :"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."