Sumber |
Prang!!
Cermin itu hancur
berkeping-keping. Serpihannya berserakan di antara genangan darahku yang pekat.
Denyut nyeri di tanganku tak kuhirau lagi. Puas sekali rasanya menghancurkan
benda itu.
Setiap kali melihatnya, rasanya aku
selalu melihat bayangan ibuku bersolek dengan dandanan yang membangkitkan
nafsu. Bibirnya penuh gincu. Yang membuatku perih adalah karena kutahu tampilan
kemayu itu bukanlah untuk bapakku yang tergolek sakit di kampung.
“Ini uang untuk jajanmu di
sekolah,” atau, “Ini buat beli buku pelajaran.” Selalu alasan itu yang membuatku
menahan perasaan, menekan rasa malu, dan tak pernah bertanya-tanya dimana Ibu
mencari kehangatan di malam-malam yang dingin itu.
“Nduk! Istighfar, Nduk!” teriakan
histeris Simbah Putri menghentakku ke alam sadar.
Samar kudengar suara lirih
mendiang Ibu sesaat sebelum beliau berpulang, “Nduk, maafkanlah ibumu yang
penuh dosa ini. Ibu hanya ingin agar kamu mendapatkan yang terbaik….”
Saat itu tangannya yang kurus kering
gemetar mengusap kepalaku, seakan-akan meminta doa, sebagai penebus dosanya
kelak di alam kubur. Ibuku yang buta huruf yang selalu menyemangatiku belajar. Ibuku
yang melemparkan dirinya ke bara api neraka untuk mengangkat derajatku setinggi-tingginya.
“Apa salah cermin itu, Nduk?”
pertanyaan Simbah Putri seakan menohok jantungku.
Cermin itu tak pernah salah.
Akulah yang salah memilih mengikuti jejak Ibu untuk mencari nafkah. Maafkan aku,
Ibu.
Jumlah kata : 200 kata.
Ini si Mbah Putri hidupnya gini banget, punya anak dan cucu yang kerjaannya nggak bener semua. Hadeeh. Sedikit kontradiktif menurutku. Lalu apa alasan tokoh utama mengikuti jejak ibunya? Menghidupi simbah? 😨😨
BalasHapusAh, dua ratus kata nampaknya tak cukup bisa menjelaskan semuanya ya, hehe....
HapusThanks sudah komeng :)