Kamis, 30 Oktober 2014

ROBOT



Sumber



Bosan jadi robot

Dari pagi ke pagi

Sampai tak bertemu matahari



Katanya hidup seperti roda

Tapi kenapa rodaku berbentuk segiempat

Semakin berputar rasanya semakin mampat

Mampat mata mampat pikiran

Kumampatkan tubuhku dalam selokan



Sudah terlanjur basah gelisah di ubun kepala

Sampai mau meledak rasa

Tapi lalu kuingat ada tombol kecil di balik punggungku

Kukira inilah saat hibernasi tiba


Jakarta, 30 Oktober 2014

Rabu, 29 Oktober 2014

Prompt #68 : OPLOSAN



Aku selalu bersembunyi di dalam lemari atau di bawah tempat tidur ketika perang dunia itu terjadi. Perabot dapur yang beterbangan, piring-gelas yang pecah, caci-maki yang memekakkan telinga, bahkan nama-nama penghuni kebun binatang seakan keluar dari sarangnya. Membuatku seringkali bersembunyi sampai tertidur karena bosan.

Penyebabnya biasanya itu-itu saja. Ayah pulang pagi. Ayah tidak menyetor uang harian. Ayah ketahuan selingkuh. Ayah mengambil uang simpanan ibu di lemari. Ayah pulang sambil teler. Paling parah waktu ayah melakukan beberapa hal sekaligus: setelah berhari-hari dia menghilang tiba-tiba pulang diantar seorang wanita yang menagih “uang senang” (aku tak tahu artinya apa) sekaligus menagih uang minuman keras yang jelas tak bisa dibayarkan lantaran ayah mabuk berat. Kukira akan dimulai perang dunia baru yang lebih dahsyat tapi rupanya aku salah. Ibu hanya mendiamkan ayah. Ibu tetap memasak dan menyiapkan semua kebutuhan ayah, dalam diam. Keheningan yang membuat ayah jengah. Beberapa hari kemudian dia menghilang lagi.

“Bu, kapan Ayah pulang? Besok ‘kan Laras ulang tahun. Ayah janji mau belikan Laras boneka….”

Ibu hanya tersenyum samar lalu menghela napas dalam. Jemarinya mengusap keningku lembut.

“Yang penting sekarang Laras cepat sembuh. Insya Allah Ayah akan menepati janjinya. Laras harus banyak berdoa ya, agar Ayah cepat pulang,” hibur ibu. Matanya berkaca-kaca. Mata itu, selalu berhasil menguatkanku. Meski seluruh badanku rasanya sakit dan ngilu. Mungkin ini efek demam berhari-hari. Ibu bilang aku kurang gizi jadi mudah terserang penyakit. Padahal aku hanya merindukan ayah saja. Mungkin juga hadiah boneka darinya.

“Laras, bertahan ya Nak, jangan tinggalkan Ibu…,” air mata ibuku menderas. Butirannya menetes ke sela jemari kami yang bertautan. Genggaman tangan ibu kurasakan mengencang. Tubuhku mengejang.
Esoknya kutemui sesosok tubuh terduduk lesu di pintu belakang rumah kami. Ayah tiri, segelas kopi dan sebungkus racun tikus.

“Maafkan Ayah, Laras…. Ayah terlambat pulang,” diucapkannya kalimat itu berulang-ulang. Tangannya meremas rambutnya yang berantakan. Matanya merah menatap boneka dalam bungkusan plastik yang tergeletak di tanah.

Aku tersenyum senang. Ayah menepati janjinya.

“Dasar pria tak bertanggung jawab! Kau kira dengan mengakhiri hidupmu Laras akan kembali heh?! Minum saja racun itu kalau berani, biar kau rasakan pembalasan Tuhan Yang Maha Adil!” hardik ibuku tiba-tiba.

Tangisan ayah semakin kencang. Pundaknya berguncang-guncang dalam dekapan ibu. Berdua mereka tenggelam dalam air mata. Sama sepertiku yang menangis bahagia melihat mereka bersatu. Juga tangis sedih menyadari waktuku telah tiba. Waktu untuk benar-benar meninggalkan ibu dan ayah tiriku yang sangat kucinta.



Jumlah kata : 388 kata
Karya ini diikutkan dalam ajang MFF Prompt #68. Penulis memilih fiksimini dari Andic Winarasta Javaica untuk dikembangkan menjadi FF, dengan judul sama seperti FF ini.

Senin, 27 Oktober 2014

Prompt #68 : DANCE WITH MY FATHER



Sebuah ruangan putih penuh cahaya menyilaukan. Seperti sebuah khayalan, hanya ada aku dan engkau, ayahku.

Kucoba telusuri bagian mana dari wajah kita yang tidak mirip benar. Lalu aku tersipu ketika kau menangkap basah usahaku yang ternyata gagal. Engkau mendekapku erat. Kita berdansa diiring lagu DANCE WITH MY FATHER yang mengalun pelan.

Sumber

Satu tanganku di pundakmu, satunya lagi di genggaman. Dalam diam meremang kutatap matamu dalam. Engkau sungguh tampan. Sadarlah aku inilah wajah yang menyebabkan ibuku tenggelam dalam buaian asmara. Seandainya ibu juga di sini, maka kita akan berdansa bertiga. Ya, seperti lirik lagu itu. Ah, aku sungguh iri dengan penulis lagu itu.

“Ayah, benarkah Ayah mencintai ibu?” 

Namun tiada jawaban.

Mungkin ibu memang wanita yang kasar tapi sungguh ia mencintaimu dan rela melakukan segalanya untukmu. Dia rela mengorbankan semuanya asal kau tak pernah meninggalkannya.

“Ayah, andaikan kita bisa mengarungi waktu bersama, saat aku tertidur kau akan menggendongku seperti dalam lagu itu ‘kan? Kau akan menjadi tempatku bersandar dalam duka dan mencurah air mata ‘kan?” 

Engkau masih diam.

Kurasakan dekapanmu melonggar. Tatapanku memudar.

“Ayah, andaikan aku bisa memilih, aku akan menjadi anak yang baik untukmu. Aku takkan pernah bertengkar dengan ibu. Aku akan selalu menjadi gadismu yang lugu. Ayah, kenapa kebersamaan kita sebentar saja?”

Kini genggaman tanganmu mulai lepas. Alunan lagu semakin samar. Seakan berusaha melawan takdir kucoba meraih bayanganmu. Seandainya aku diberikan waktu menyelesaikan dansa pertamaku. Sekaligus dansa terakhirku. Ya, dansa terakhir. Aku menatap Ayah lurus ke matanya. Tak lama kemudian, sayapnya mengepak. Dan ia pergi, selamanya.

If I could steal one final glance
One final step, one final dance with him
I'd play a song that would never ever end
'Cause I'd love, love, love, love to dance with my father again….”

Sayup terdengar kalimat terakhir sebelum engkau pergi, “Maafkan aku anakku, Ayah sungguh mencintai ibumu. Tapi Ayah tak kuasa menanggung malu. Kami terpaksa melakukan ini. Jadi maafkan kami ya, Nak….”

Aku berteriak sekuat tenaga. Rasanya perih tiada terkira. Entah pisau bedah atau alat sedot, entah apa.... Tubuhku tercabik dan merepih bersama hatiku yang luka. Seandainya aku bisa memilih untuk lahir ke dunia.


Jumlah kata : 344 kata

Karya ini diikutkan dalam ajang MFF Prompt #68. Penulis memilih fiksimini dari Mak Admin Carolina Ratri untuk dikembangkan menjadi FF, dengan judul sama seperti FF ini.

Jumat, 24 Oktober 2014

PAGIKU PAGIMU

Sumber

Sinar mentari mencubit malu 
Kulit halus merah jambu
lesung pipi bibir merona
lentik molek binar mata

Seketika itu pagiku cerah
meski hanya sekejap nyata

Lalu aku berlalu kembali ke meja
resah dada bertalu-talu
serasa ingin meledak saja

Lekas segera kuredam
Harus segera teredam

Agar tiada deru dendam
Tiada perih di kemudian hari
Begitulah setiap pagi
Pagiku
Pagimu

Pada sinar mentari aku cemburu



Jakarta, 24 Oktober 2014

Rabu, 22 Oktober 2014

Prompt #67 : Rencana B

Sumber

Orang-orang masih berkerumun di depan rumah Pak RW. Para penghuni kampung di bantaran kali ini rupanya masih kukuh dengan pendiriannya. Bahkan kedatangan Sang Pejabat hari ini sepertinya belum mampu memberi solusi bagi permasalahan mereka.

“Bagaimana Pak, hasil negosiasinya?” tanyaku pada Sang Pejabat setelah keluar dari rumah Pak RW. Dia tak menjawab. Belasan tahun bekerja padanya aku paham bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk bertanya.

“Dasar orang pinggir kali, keras kepala! Bagaimana mungkin mereka seenaknya minta kompensasi padahal tanah ini milik negara. Apa boleh buat. Rencana B harus dijalankan,” bisiknya pelan.

Lututku lemas membayangkan harus membakar permukiman ini nanti malam.




Jumlah kata : 100 kata

Selasa, 21 Oktober 2014

Prompt #67 : Semangat Pagi



Sumber


“Tari… makan dulu Nak, baksonya sudah Ibu panaskan!” ibu berteriak dari dalam bilik kamar mandi, menggilas cucian menggunung sedari dini hari.

“Masih kenyang, Bu!” teriaknya sambil melesat. Kaki kecilnya ringan melangkah di atas bilik-bilik papan. Kampungnya di pinggiran kali Ciliwung rupanya sudah ramai, sama seperti hatinya. Dengan semringah dia menyapa teman-temannya yang berangkat sekolah. Matanya mengekor iri hingga bayangan mereka menghilang.

“Tari semangatlah mencari nafkah!” teriaknya dalam hati.

“Tari, tolong daging di dapur dicuci ya, sudah Bapak kuliti semalam,” Pak Juki si pemilik warung bakso berkata seketika ia tiba.

Tari mengangguk gembira, siap mencuci daging tikus hasil buruannya semalam.




Jumlah kata : 97 kata