Senin, 30 Juli 2018

Cara Mudah Pahami PP 23 Tahun 2018 (Bagian 1)

Halo Sobat UMKM yang hebat! Kali ini saya akan berbagi tips mudah memahami aturan PP 23 Tahun 2018 (selanjutnya akan ditulis PP 23). Saya akan menyajikan pembahasan singkat  dan bahasa yang sederhana untuk memudahkan dalam memahami aturan dan praktik di lapangan. Untuk bagian pertama saya akan membahas:

Penerapan PP 23 bagi UMKM yang telah menerapkan PP 46 Tahun 2013

Aturan terdahulu dari PP 23 adalah PP 46 Tahun 2013 (selanjutnya akan ditulis PP 46). Tarif PPh final untuk PP 46 adalah satu persen, sedangkan PP 23 adalah setengah persen. Teman saya suka berseloroh, “Bukan hanya tarifnya yang diskon 50%, angka 23 pun hasil dari angka 46 dibagi dua.” Betul juga ya, hehe.

PP 23 ini berlaku per 1 Juli 2018. Cara menghitung PPh final ini mudah. Kalau Sobat UMKM selama ini sudah biasa setor dengan tarif satu persen artinya per masa Juli 2018 ini cukup bayar setengah persen dikalikan omzet atau peredaran bruto sebulan. Kode jenis dan kode setorannya pun tetap sama yaitu 411128 – 420. Cara pembayarannya pun sama (di bagian ini saya tak perlu jelaskan ya).

Yang jelas untuk Sobat UMKM yang selama ini menggunakan skema PP 46 sepertinya perlu mengecek kembali apakah masih masuk dalam kriteria subjek pajak ini:
1.Orang pribadi; atau
2.Badan usaha berbentuk PT, CV, Firma, dan Koperasi;
yang menerima penghasilan bruto tidak melebihi 4,8 miliar rupiah dalam satu tahun pajak. Artinya apabila wajib pajak berbentuk selain di atas (contohnya yayasan) maka tidak bisa menggunakan skema ini lagi, melainkan harus menggunakan tarif PPh Pasal 17. Hah?!

Tenang, tak perlu panik. Apabila di tahun ini masih ada yayasan yang menggunakan skema PP 46 atas kegiatan usaha (sampingan)-nya, maka menurut aturan peralihan masih diperkenankan untuk menggunakan skema PP 23 hingga berakhirnya tahun pajak 2018. Lalu, per tahun pajak 2019 dan seterusnya silakan menggunakan perhitungan Pasal 17 UU PPh.

Bukan Subjek PP 23

Ternyata ada juga lo, yang tak lagi masuk kriteria subjek PPh final ini, yaitu:
1.Wajib pajak (WP) yang memilih untuk dikenai tarif PPh Pasal 17 dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan ke KPP dan untuk selanjutnya harus terus menggunakan skema ini;

2.WP badan yang memperoleh fasilitas PPh Pasal 31A UU PPh atau PP 94 Tahun 2010;

3.BUT (Bentuk Usaha Tetap);

4.CV atau Firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi (WP OP) yang memiliki keahlian khusus dan menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Pekerjaan bebas meliputi:
a.tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris);
b.pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/wati, pemain drama, dan penari;
c.olahragawan;
d.penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e.pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f.agen iklan;
g.pengawas atau pengelola proyek;
h.perantara;
i.petugas penjaja barang dagangan;
j.agen asuransi;
k.distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.

Jadi, misalnya ada Firma hukum yang dibentuk oleh beberapa pengacara dan di tahun ini masih menggunakan skema PP 46, maka diperbolehkan menggunakan skema PP 23 hingga akhir tahun 2018. Selanjutnya per tahun pajak 2019 dan seterusnya harus menggunakan tarif PPh Pasal 17.

Tentang Jangka Waktu

Oya, perbedaan mendasar PP 23 dengan pendahulunya adalah soal jangka waktu bolehnya menggunakan skema PPh Final. Kalau dulu di PP 46 tidak ada batasan waktu penggunaan skema tersebut, di PP 23 ini ada batasannya. 

Tujuannya tentu saja agar Sobat UMKM belajar pembukuan. Jangka waktunya yaitu:
1.tujuh tahun bagi WP OP;
2.tiga tahun bagi PT;
3.empat tahun bagi CV, Firma, dan Koperasi;
dihitung sejak tahun pajak WP terdaftar bagi WP yang terdaftar setelah berlakunya PP 23 atau sejak tahun pajak 2018 bagi WP yang terdaftar sebelum berlakunya PP 23 ini. 

Setelah itu bagaimana? Ya menggunakan tarif PPh Pasal 17. Ini perlu digaris bawahi sebab ternyata di lapangan masih ada yang berpendapat kalau setelah jangka waktu ini WP kembali ke skema PP 46. Ini tentu salah dan perlu diluruskan. PP 46 sudah masa lalu. Maka, sewajarnya masa lalu ya harus ditinggalkan. Move on saja, ada PP 23 yang lebih baik kok.

Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana bila ada PT baru terdaftar di akhir tahun pajak 2017 dan masih menggunakan perhitungan tarif PPh Pasal 17 di semester pertama tahun pajak 2018? Ini terjadi karena aturan PP 46 yang tidak serta merta menerapkan skema PPh final di tahun pertama. Maka, mau tak mau di tahun pajak 2018 WP harus menggunakan dua skema. Semester pertama menggunakan tarif PPh Pasal 17, semester kedua menggunakan skema PP 23.

Oke, sekian dulu ya. Bagian selanjutnya saya akan membahas tentang perubahan dari penggunaan SKB PP 46 ke Surat Keterangan PP 23 (bersambung ke bagian kedua).

Baca juga:
Agar Setengah Persen Sepenuh Hati

Jumat, 27 Juli 2018

Agar Setengah Persen Sepenuh Hati


"Perubahan belum tentu menciptakan kemajuan, tetapi tanpa perubahan takkan ada pembaharuan," demikian salah satu petuah Rhenald Kasali yang saya renungkan petang ini. Di saat yang sama saya membaca banyak berita tentang skeptisisme sebagian pelaku usaha terhadap aturan PP 23 Tahun 2018.

Di dalam uraiannya di situs rumahperubahan.com, Rhenald Kasali menyebutkan tentang salah satu faktor penghambat perubahan yaitu penolakan terhadap perubahan. Ini adalah sifat natural manusia yang telah terjebak di zona nyaman. Pada akhirnya, kenyamanan ini akan menjeratnya sedemikian rupa sehingga setiap perubahan dianggap sebagai ancaman alih-alih tantangan.

Tapi ia juga memberikan petunjuk tentang perlunya kekuatan dan visi dalam menjembatani jurang pemisah antara masa kini dan masa mendatang. Kekuatan dalam hal ini tidak melulu tentang tindakan represif. Terlebih lagi kepada UMKM. Pendekatan persuasif dan afektif perlu diutamakan. Bahkan DJP sebenarnya punya senjata BDS (Business Development Services/Layanan Pengembangan Usaha) yang bisa digalakkan seiring dengan sosialisasi PP 23 ini. Sekali mendayung dua tiga program terlampaui.

Visi yang dimaksud dalam hal ini tentu perlu ditransfer kepada pelaku UKM. Visi yang sama yang menyebabkan mereka rela berkontribusi dan mengambil bagian dalam derap roda pembangunan negeri ini. Sekecil apapun. Dan itu takkan bisa dilakukan tanpa faktor perubahan lainnya: agen perubahan.

Satu komponen tersebut sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan ini selain regulasi yang galir dan benar-benar memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Dengan keberadaan agen-agen perubahan yang mampu mentransfer visi UMKM di masa depan, memberikan penguatan dan keberanian bahwa pembukuan bukanlah momok yang menakutkan, dan senantiasa membersamai dalam proses elevasi ini, kiranya UKM akan benar-benar berhasil "naik kelas" dan membuktikan diri sebagai jawara perekonomian negara ini.

Pertanyaannya: siapkah insan DJP menjadi agen perubahan itu?

Rupanya ada dua kubu respons. Yang pertama optimis bahwa insan DJP akan adaptif mendukung program penurunan tarif, sedangkan yang kedua berusaha realistis dengan mengeluhkan penurunan penerimaan. Apalagi bila dikaitkan dengan salah satu faktor IKU alias capaian penerimaan yang telah ditargetkan.

Dari media massa, Dirjen Pajak sendiri menginformasikan bahwa kebijakan ini berpotensi menggerus penerimaan sebesar 1-1,5 triliun rupiah. Kecil sekali, bukan? Artinya isu yang seharusnya difokuskan adalah bagaimana mencari penggantinya?

Menurut data, jumlah UMKM di Indonesia 59,69 juta unit. Yang sudah ber-NPWP hanya 1,5 juta unit. Dari WP UMKM tersebut negara disumbang 5,82 triliun rupiah. Coba bayangkan bila selebihnya ber-NPWP dan membayar pajak. Tarif diskon tentu tak seharusnya menjadi masalah.

Soal potensi? UMKM Indonesia terbukti sangat resilient terhadap krisis ekonomi global. Dia bergerak lincah terhadap hantaman dari sana-sini justru karena didukung sektor informal. 

Menurut paparan Pak Dirjen kemarin, UMKM berkontribusi terhadap PDB sebesar 60,3%. Bila PDB di Indonesia akhir 2017 menyentuh angka 13.588 triliun rupiah dan diprediksi akan tumbuh 5,3% (Bank Dunia), kiranya dapat dihitung berapa omzet potensial dari sektor ini. Lalu kenapa selama tahun 2017 sektor ini hanya menyumbang 2,2% penerimaan PPh ?

Artinya penerimaan dari sektor UMKM ini memang belum menjadi fokus DJP. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar selisih yang belum terdaftar ini tergerak untuk ber-NPWP.

Pemerintah sendiri telah mencanangkan gerakan 100 ribu UMKM go online dengan target mendaringkan 8 juta UMKM hingga tahun 2020. Tahun ini saja sudah 3,79 juta UMKM yang masuk daring. Sungguh sebuah optimisme yang layak dicapai.

Dengan mengikuti program ini, selain mendapatkan nilai KUR terbesar dalam 24 jam, pelaku usaha juga akan mendapatkan NPWP secara serentak. Dan masih banyak lagi keuntungan lain yang ditawarkan.

Saya bahas soal daring agak lebih sebab platform inilah yang dirasa mudah untuk dijangkau. Apalagi bila DJP mampu bekerja sama dengan pihak penyedia jasa lapak usaha daring. Data omzet riil langsung dapat diketahui. Apabila ini bergabung dengan teknologi finansial (tekfin) yang sedang marak, betapa sedapnya! Wajib pajak tinggal mengalikan dengan tarif, dan membayar via akun tekfin di genggaman. Bukan sebuah mimpi sebenarnya.

Baiklah saya kembali ke bumi dulu. Sinergi dengan banyak pihak sangat diperlukan sembari menguatkan resonansi semangat reformasi perpajakan di internal DJP. Tak lama lagi akan ada Taxpayer Account Management dan e-Taxpayer Account. Data terintegrasi dan dapat dianalisis dengan mudah.

Sambil menunggu proses itu sampai di penghujung, kiranya strategi menggaet UMKM ini tak hanya dari sisi teknologi, tetapi juga afeksi. Sebagaimana yang saya pelajari di lapangan, menyentuh hati UMKM memang membutuhkan usaha lebih. Dan tak memerlukan banyak pelaku sebenarnya. Sebab menurut Rhenald Kasali (lagi), perubahan akan berhasil bila tiga proses ini dilalui: melihat, bergerak, menyelesaikan.

Dengan strategi komunikasi yang tepat, UMKM akan melihat bahwa pajak tidak menyusahkan, sehingga mereka akan mau bergerak bersama roda perubahan, dan bersama reformasi perpajakan kita akan menyelesaikan misi bersama, menuju Indonesia baru yang lebih sejahtera.

Terakhir, mengutip status FB teman saya, Edmund Hillary berkata, "Kita tidak akan mampu menaklukkan gunung karena bukan gununglah yang kita taklukkan, melainkan diri kita sendiri."

* * *

Artikel ini memenangkan juara 1 Lomba Menulis Artikel PP 23 Tahun 2018 yang diadakan Kanwil DJP Jakarta Selatan 2.


Kepala KPP Pratama Jakarta Cilandak Bapak Tekad Widodo Setiawan mewakili penulis menerima penghargaan

Artikel berikutnya:
- Belajar PP 23 (bagian 1)
- Belajar PP 23 (bagian 2)

Senin, 23 Juli 2018

Oleh-Oleh dari Wisma Korindo


"Karena  yang terucap akan berlalu, yang tertulis akan abadi."

Kamis 19 Juli 2018 lalu, di hari ketiga cuti alhamdulillah saya diberikan kesempatan untuk mengikuti Workshop Menulis Pajak di Wisma Korindo yang diadakan oleh CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis). Saya sungguh beruntung masuk dalam barisan 30 peserta angkatan pertama yang mendapatkan kesempatan gratis! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Di tengah kekeringan ide dan kehausan ilmu, lokakarya ini semacam oase yang memenuhi dahaga.

Di awal acara, Mas Pras membuka acara dengan menjelaskan apa itu CITA. Sebuah tim yang secara progresif melakukan penelitian, analisis data, dan kajian kebijakan perpajakan untuk membantu banyak pihak mengambil keputusan. CITA juga sering mengadakan kegiatan sosialisasi perpajakan yang terbaru. Dirintis sejak 2014, lembaga ini memastikan konsisten untuk nirpartisan dan tidak menerima proyek pemerintah untuk menjaga independensi opini dan keberpihakan.

Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah bagaimana upaya pendirinya untuk menggaet generasi milenial dan memaksimalkan potensi mereka. Generasi ini adalah motor penggerak perubahan yang menjalankan desain utama sang arsitek. Yustinus Prastowo sebagai mentor memberikan mereka tugas membuat ringkasan jurnal internasional seorang satu per pekan. Dengan latihan "dasar" seperti ini, kebayang kan betapa pesat perkembangan pengetahuan mereka. Apalagi kemampuan menulisnya. Hasil memang tak pernah mengkhianati usaha.

Selanjutnya, Mas Pras menyilakan pemateri pertama, Mas Eko Praptanto alias Mas Epi untuk memulai sesinya. Dan pengalaman baru seketika menyergap benak saya....

Menulis Semudah Bertutur

Bagaimana jika kita mendadak disuruh membayangkan benda yang bulat, kuning, dan asam? Bagaimana jika sang penanya menyuruh kita menyebutkan tiga jawaban selain jeruk? Sedikit terkejut mungkin, tapi pasti otak kanan kita langsung mengambil alih. Kira-kira seperti itulah proses pemerahan ide sebuah tulisan. Menulis, apalagi tentang pajak tentu membutuhkan teknik tersendiri.

Begitulah salah satu cara materi dasar menulis dibawakan oleh Mas Epi. Interaktif dan menyenangkan. Waktu sejam lebih sedikit menjadi tak terasa ketika mantan redaktur pelaksana Majalah Bobo ini  membagikan ilmunya dengan cara tak biasa.

Beberapa inti dari pelajaran menulis yang diberikannya antara lain:
1. Mulailah dengan menulis sesuatu dengan dilandasi kebahagiaan dan suka. Tulisan dengan model bercerita lebih disukai pembaca. Berikan sentuhan khas pada tiap tulisan kita.

2. Kata Ernest Hemingway, "Sederhana itu jenius." Hindari kalimat majemuk. Perbanyak kalimat tunggal. Gunakan kalimat positif.

3. Jangan membenci titik. Jangan terlalu cinta pada koma sehingga kalimat-kalimat menjadi panjang dan membuat pembaca tersesat. Kita pun bisa jadi tersesat pada tulisan sendiri.

4. Menulislah untuk menunjukkan informasi ke pembaca, bukan untuk menunjukkan bahwa kita pintar.

5. Berikan judul yang menarik sebab itu etalase tulisan kita.

6. Menulis adalah proses kreatif, carilah sesuatu yang tak lazim. Menulis pajak serupa meminumkan obat sirup ke anak kecil. Dia tak harus sadar minum obat, berikan obat dengan bentuk yang disuka.

7. Setelah menulis tinggalkan dulu tulisan itu, setelah beraktivitas lain akan terlihat kesalahan-kesalahan atas tulisan kita. Kalau bahasa guru saya, endapkan. Memang penyakit para penulis itu mudah jatuh cinta pada tulisannya sendiri (Edmalia, 2018)

8. Kadang kita membatasi diri dengan aturan yang ada. Begitu juga dengan menulis. Padahal menulis adalah proses kreatif. Perlu sering-sering senam otak. Ya macam membayangkan benda bulat-kuning-asam tadi.

9. Selamat menulis. Selamat menata kalimat jadi manfaat.

Brilian bukan? Setiap rangkaian kalimatnya adalah mutiara. Saya seakan menemukan harta karun dari dalam samudera. Seakan-akan saya ingin teriak "Eureka!".

Mantera dalam Untaian Kata


Membaca untuk menulis dan menulis untuk membaca dan menulis lagi, sepertinya adalah ruh dari materi di sesi kedua. Yustinus Prastowo membawakan materi sama menariknya dengan tulisan-tulisannya. Maafkan saya tak bisa menjelaskan materi teknis menulis sebab bukan itu yang memenuhi benak saya. Sebagai manusia dominan otak kanan, saya lebih cenderung menangkap suasana, ambience, dan mungkin tersihir dengan materi yang disajikan.

Semangat menulis adalah poin pertama. Masa kecil Mas Pras yang dibesarkan di Gunung Kidul, memberikan suntikan semangat untuk mengubah hidup. Penduduk di desanya rata-rata berpendidikan tak terlalu tinggi, kontradiktif dengan kesukaan ayahnya yang suka membaca Tempo. Maka, dari sanalah kegemarannya membaca bermula.

Referensi adalah poin kedua. Saya hanya bisa ndlongop alias terpana ketika melihat buku-buku yang ditunjukkannya sebagai referensi. Sumpah, hanya satu nama yang saya tahu, Charles Adams, itupun saya ingat karena sering jadi referensi dan hibrida antara Charles Darwin dan Bryan Adams (hii).

Kalau mau jadi penulis yang baik, banyak-banyaklah membaca yang berbobot. Itu akan mempengaruhi tulisan. Kalau banyak nulis tapi malas baca, bisa dipastikan yang ditulis adalah status FB (ngacung diam-diam).

Memampatkan ide bisa dilatih dengan mencuit di Twitter. Tapi untuk mengelaborasi ide memang perlu jam terbang yang tinggi. Menulis dan terus menulis. Itu poin ketiga.

Poin keempat, temukan gayamu. Mau menulis seperti apa? Mau ahli di satu bidang semacam landak atau di banyak hal seperti rubah? Yustinus Prastowo memilih menulis pajak dengan pendekatan interdisipliner. Memadukan pengetahuan dengan ilmu lainnya, terutama filsafat yang dikuasainya.

Fokus adalah poin kelima. Jangan tergoda menulis dengan topik lain ketika proses riset. Tetaplah teguh pada tujuan awal menulis. Apakah yang ingin dicapai dari tulisan kita? Setialah pada itu.

Yang terakhir adalah buka wawasan berpikir. Ingat kisah "Gua Plato". Semua orang dalam gua mengutuk sang pembaharu yang berani keluar dari gua dan mengabarkan keadaan di luar sana. Para nabi memang kadang ditolak di negeri sendiri. Tabahlah. Menulis memang pekerjaan untuk kemanusiaan. Dakwah bil hal dan berdimensi maknawi. Tak semua orang kadang bisa menerima.

Peta Pemikiran, Menulis Bebas, dan Waktu Teduh


Salah satu pengekang hasrat menulis adalah pemikiran bahwa hasil tulisan harus sempurna. Walhasil penulis akan sangat disibukkan dengan kegiatan pra-produksi dan berkutat dengan ide yang seringkali sulit ditangkap. Ini berat sebab menulis saja belum, bagaimana mungkin bisa memastikan hasil akhirnya?

Masalah riset juga seringkali membuat frustrasi. Beberapa penulis memilih tidak jadi menulis sebab merasa data yang sudah di tangan tidak cukup baik untuk diolah jadi tulisan. Kasihan sekali ide yang susah payah dicari itu malah terperangkap dalam benak tanpa sempat dicurahkan di tempat yang benar.

Maka, baik Mas Epi maupun Mas Pras sendiri bilang bahwa salah satu teknik untuk menulis yang baik adalah dengan membuat kerangka karangan. Buat peta pemikiran. Gambar lingkaran dengan tulisan tentang satu ide besar lalu buat cabang-cabang yang banyak dengan lingkaran-lingkaran kecil berisi detil. Ini lebih mudah untuk direalisasikan. Bisa jadi, dengan metode ini kita jadi lebih produktif sebab tiap subtema bisa dielaborasi menjadi beberapa tulisan baru.

Satu lagi teknik menulis yang diberikan para pakar menulis tersebut. Menulis tanpa pakem alias free writing, kalau menulis ya menulis saja. Ikuti saja keinginan hati kita. Di sinilah peran pembaca pertama alias first reader yang akan memberikan masukan. Jangan malu dan jangan takut dikritik. Kesalahan pertama penulis biasanya suka kapok menulis setelah diberi saran. Ya itu tadi, sebab terlalu cinta sama tulisan sendiri.

Seiring dengan bertambahnya referensi tulisan dan jam terbang, biasanya penulis akan piawai dalam swasunting. Kalaupun tak pandai juga tak perlu khawatir. Ada peran editor yang lebih jago soal itu.

Jangan lupa "endapkan" atau beri waktu jeda setelah selesai menulis agar "kotoran tulisan" kelihatan di pelupuk mata dan bisa segera disingkirkan. Gunakan kalimat efektif dan pangkas kalimat-kalimat yang tak perlu tanpa mempengaruhi makna tulisan.

Yustinus Prastowo sempat menyebutkan soal "Waktu Teduh". Ini penting sekali untuk memberikan ruang bagi penulis untuk berkontemplasi dan "menyepi" dari riuh kehidupan sehari-hari. Semacam menghela napas untuk jeda sejenak.

Dengan itu akal dan pikiran akan menjadi jernih, hati akan menjadi bening, inspirasi akan mudah datang dengan sendirinya. Beberapa penulis melakukannya di tiap sepertiga malam terakhir, sebagiannya saat beribadah di rumah peribadatan, ada juga yang berpelesir, naik gunung, dan lain sebagainya.

Buat saya waktu teduh sangat mudah didapat: mendengarkan lagu "Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan"-nya Payung Teduh sambil menatap wajah putri saya yang sedang lelap.

Jadi kalau sampai saat ini masih mengalami blocking disease alias kehabisan ide buat menulis, mungkin inilah saat yang tepat untuk mencari saat teduh. Tapi jangan terlalu lama sebab pesan kunci dari Mas Eko Praptanto yang selalu terngiang di telinga saya adalah "Apabila timbul keinginan untuk berhenti maka berhentilah untuk berhenti!


Ki-ka: Kak Jo, Bang Ginting, Mas Pras, Mbak Erin, saya, dan Mas Efenerr

Kamis, 19 Juli 2018

Sepucuk Surat untuk Anakku

Kubayangkan saat ini wajahmu pasti mirip denganku. Tak percaya? Mintalah fotoku pada ibumu lalu bandingkan dengan wajahmu di cermin saat berumur tiga puluh tahun. Aku tak tahu apakah saat ini kau telah berumur tiga puluh atau belum. Seandainya pun belum, bagiku tak masalah karena wajahku cukup imut dan tak terlalu banyak berubah sejak satu dasawarsa terakhir.

Kubayangkan rahangmu akan sekokoh rahangku, dan dagumu akan membelah sedikit di tengah, sebagaimana kedua buyutmu dari pihak Ayah dan Ibu. Kau tahu, aku sudah menghitung secara tepat semua kemungkinan sesuai Hukum Mendel. Dalam benakku, wajahmu adalah versi wajahku yang sedikit lebih tampan. Bagiku tak apa, sebab aku yakin ibumu akan berkata yang sedikit itu lebih dari cukup baginya.

Ibumu memang wanita luar biasa. Kami bertemu secara tak sengaja saat menjadi pembicara forum debat “Kecerdasan Tunggal vs Teori Evolusi” di MIT. Judul yang menarik, bukan? Ibumu adalah profesor muda pegiat anti-evolusionis. Bisa ditebak, aku adalah aktivis Neo-Darwinis sejati yang berniat untuk menggagalkan pemikirannya. Waktu itu perdebatan kami berlangsung sangat seru. Aku bahkan mengutip “The Book of Life” karya mendiang Stephen Jay Gould yang terkenal itu, tapi ibumu dengan telak membantahnya dengan fakta di dalam buku tersebut.

Matanya begitu berapi-api saat berkata, “Di dalam buku tersebut disebutkan tentang Ledakan Kambrium, berlawanan dengan Teori Evolusi yang menyatakan bahwa jumlah filum makhluk hidup bertambah secara bertahap, seperti bertambahnya cabang pohon. Bagaimana mungkin dari Zaman Pra-Kambium dimana hanya ada satu filum tiba-tiba muncul tiga belas filum baru tanpa sebab? Kebetulankah sebagaimana yang Anda pahami selama ini?”

Bisa ditebak, kan, siapa yang kalah debat? Setelah itu, aku penasaran setengah mati dan selalu mencari-cari kesempatan untuk bertemu ibumu. Ibumu tak pernah mengizinkanku menyentuhnya selama kami pacaran, sebab dia ingin memberikan yang terbaik bagi suaminya kelak. Kau tahu, itulah yang membuatku makin berhasrat menikahinya. Bolehlah ibumu menang saat berdebat, tapi akulah yang menang di malam pertama!

Kami suka menghabiskan senja berdua, duduk bertelekan di atas tikar butut yang dihamparkan di halaman belakang. Suatu hari dia menatap langit jingga dengan pandangan sendunya, lalu berkata, “Betapa luar biasa kekuatan yang mengatur alam semesta ini. Sebuah inti uranium yang menjadi fragmen secara berantai dalam sebuah reaksi fisi saja mampu melepaskan energi yang luar biasa, merenggut nyawa jutaan orang, bahkan memancarkan radiasi yang dapat memengaruhi genetika manusia, meski telah terkubur di bawah tanah selama puluhan tahun. Jika bumi kita, seluruh atmosfer, semua benda hidup dan mati termasuk kita, terdiri dari atom, apa yang mencegah atom-atom itu melakukan reaksi nuklir, yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja?”

Rupanya pertanyaan ibumu itu pelan-pelan menyusup di hatiku sebagaimana indahnya sore itu. Pemahamanku yang selama ini menolak adanya satu kekuatan besar yang menciptakan dan mengatur alam semesta lambat laun berubah. Pada akhirnya ibumu mengubahku sepenuhnya dengan cinta.

Suatu hari datang tawaran agar aku ikut serta dalam ekspedisi Kepler III, meneruskan ekspedisi Kepler II yang pada tahun 2023 lalu telah mendeteksi keberadaan sebuah Planet Goldilocks baru. Kau tahu, tak semua ilmuwan NASA beruntung mendapat kesempatan seperti ini. Ayahmu benar-benar keren, kan?

Kira-kira seminggu lagi ekspedisi itu akan dimulai. Jadi hari ini kutulis sebuah surat untukmu, Putraku. Seandainya sesuatu terjadi dan aku tak bisa kembali, kumohon lakukanlah wasiatku ini saat kau dewasa :

1. Jagalah ibumu baik-baik. Temanilah dia di waktu senja dan buatkanlah secangkir teh chamomile di malam hari. Tanpa gula.

2. Carilah seseorang yang mampu mengguncang hidupmu dan mengubah pendirianmu dengan cinta, lalu jadikan dia pasangan hidupmu.

3. Kunjungilah makamku, bila ada. Bila tidak maka ingatlah tentangku walau sebentar saja, setiap harinya.

Kau tahu, Nak, hatiku sangat berat meninggalkanmu yang masih balita, namun kemaslahatan umat manusia telah menungguku. Dan ibumu mendukung penuh hal itu.

Seandainya aku kembali dengan selamat, jangan kaget bila kelak kaudapati umur kita tak jauh berbeda. Ruang dan waktu adalah sesuatu hal yang relatif. Menurut Teori Relativitas Albert Einstein, kecepatan waktu berubah tergantung pada kecepatan objek dan jaraknya dari pusat gravitasi. Karena pesawat luar angkasa ayahmu ini pasti luar biasa cepat mendekati kecepatan cahaya, maka waktu menjadi seakan-akan mampat dan tiba pada suatu titik “berhenti”. Pada titik itulah ayahmu ini menjadi awet muda dan tentu saja awet ganteng.

Tertawalah, Nak. Tertawalah meski ketika kaubaca surat ini berarti kau takkan pernah bertemu diriku lagi. Tertawalah dan bahagiakanlah ibumu dengan berbagai cara, sebagai pengganti diriku yang tak bisa lagi bersamanya.

Peluk hangatku.

Ayahmu yang selalu mencintaimu.

***

Mataku berkaca-kaca saat membaca kalimat terakhirnya.

“Baca apa, Nak?” suara Ayah mengagetkanku.

Kusodorkan surat itu. Keningnya berkerut.

“Oh, surat konyol ini. Kutulis sehari sebelum NASA membatalkan ekspedisinya. Masukkan kembali ke dalam kotak barang-barang mendiang ibumu!” teriaknya sambil berlalu. Aku melongo.