Kamis, 19 Juli 2018

Sepucuk Surat untuk Anakku

Kubayangkan saat ini wajahmu pasti mirip denganku. Tak percaya? Mintalah fotoku pada ibumu lalu bandingkan dengan wajahmu di cermin saat berumur tiga puluh tahun. Aku tak tahu apakah saat ini kau telah berumur tiga puluh atau belum. Seandainya pun belum, bagiku tak masalah karena wajahku cukup imut dan tak terlalu banyak berubah sejak satu dasawarsa terakhir.

Kubayangkan rahangmu akan sekokoh rahangku, dan dagumu akan membelah sedikit di tengah, sebagaimana kedua buyutmu dari pihak Ayah dan Ibu. Kau tahu, aku sudah menghitung secara tepat semua kemungkinan sesuai Hukum Mendel. Dalam benakku, wajahmu adalah versi wajahku yang sedikit lebih tampan. Bagiku tak apa, sebab aku yakin ibumu akan berkata yang sedikit itu lebih dari cukup baginya.

Ibumu memang wanita luar biasa. Kami bertemu secara tak sengaja saat menjadi pembicara forum debat “Kecerdasan Tunggal vs Teori Evolusi” di MIT. Judul yang menarik, bukan? Ibumu adalah profesor muda pegiat anti-evolusionis. Bisa ditebak, aku adalah aktivis Neo-Darwinis sejati yang berniat untuk menggagalkan pemikirannya. Waktu itu perdebatan kami berlangsung sangat seru. Aku bahkan mengutip “The Book of Life” karya mendiang Stephen Jay Gould yang terkenal itu, tapi ibumu dengan telak membantahnya dengan fakta di dalam buku tersebut.

Matanya begitu berapi-api saat berkata, “Di dalam buku tersebut disebutkan tentang Ledakan Kambrium, berlawanan dengan Teori Evolusi yang menyatakan bahwa jumlah filum makhluk hidup bertambah secara bertahap, seperti bertambahnya cabang pohon. Bagaimana mungkin dari Zaman Pra-Kambium dimana hanya ada satu filum tiba-tiba muncul tiga belas filum baru tanpa sebab? Kebetulankah sebagaimana yang Anda pahami selama ini?”

Bisa ditebak, kan, siapa yang kalah debat? Setelah itu, aku penasaran setengah mati dan selalu mencari-cari kesempatan untuk bertemu ibumu. Ibumu tak pernah mengizinkanku menyentuhnya selama kami pacaran, sebab dia ingin memberikan yang terbaik bagi suaminya kelak. Kau tahu, itulah yang membuatku makin berhasrat menikahinya. Bolehlah ibumu menang saat berdebat, tapi akulah yang menang di malam pertama!

Kami suka menghabiskan senja berdua, duduk bertelekan di atas tikar butut yang dihamparkan di halaman belakang. Suatu hari dia menatap langit jingga dengan pandangan sendunya, lalu berkata, “Betapa luar biasa kekuatan yang mengatur alam semesta ini. Sebuah inti uranium yang menjadi fragmen secara berantai dalam sebuah reaksi fisi saja mampu melepaskan energi yang luar biasa, merenggut nyawa jutaan orang, bahkan memancarkan radiasi yang dapat memengaruhi genetika manusia, meski telah terkubur di bawah tanah selama puluhan tahun. Jika bumi kita, seluruh atmosfer, semua benda hidup dan mati termasuk kita, terdiri dari atom, apa yang mencegah atom-atom itu melakukan reaksi nuklir, yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja?”

Rupanya pertanyaan ibumu itu pelan-pelan menyusup di hatiku sebagaimana indahnya sore itu. Pemahamanku yang selama ini menolak adanya satu kekuatan besar yang menciptakan dan mengatur alam semesta lambat laun berubah. Pada akhirnya ibumu mengubahku sepenuhnya dengan cinta.

Suatu hari datang tawaran agar aku ikut serta dalam ekspedisi Kepler III, meneruskan ekspedisi Kepler II yang pada tahun 2023 lalu telah mendeteksi keberadaan sebuah Planet Goldilocks baru. Kau tahu, tak semua ilmuwan NASA beruntung mendapat kesempatan seperti ini. Ayahmu benar-benar keren, kan?

Kira-kira seminggu lagi ekspedisi itu akan dimulai. Jadi hari ini kutulis sebuah surat untukmu, Putraku. Seandainya sesuatu terjadi dan aku tak bisa kembali, kumohon lakukanlah wasiatku ini saat kau dewasa :

1. Jagalah ibumu baik-baik. Temanilah dia di waktu senja dan buatkanlah secangkir teh chamomile di malam hari. Tanpa gula.

2. Carilah seseorang yang mampu mengguncang hidupmu dan mengubah pendirianmu dengan cinta, lalu jadikan dia pasangan hidupmu.

3. Kunjungilah makamku, bila ada. Bila tidak maka ingatlah tentangku walau sebentar saja, setiap harinya.

Kau tahu, Nak, hatiku sangat berat meninggalkanmu yang masih balita, namun kemaslahatan umat manusia telah menungguku. Dan ibumu mendukung penuh hal itu.

Seandainya aku kembali dengan selamat, jangan kaget bila kelak kaudapati umur kita tak jauh berbeda. Ruang dan waktu adalah sesuatu hal yang relatif. Menurut Teori Relativitas Albert Einstein, kecepatan waktu berubah tergantung pada kecepatan objek dan jaraknya dari pusat gravitasi. Karena pesawat luar angkasa ayahmu ini pasti luar biasa cepat mendekati kecepatan cahaya, maka waktu menjadi seakan-akan mampat dan tiba pada suatu titik “berhenti”. Pada titik itulah ayahmu ini menjadi awet muda dan tentu saja awet ganteng.

Tertawalah, Nak. Tertawalah meski ketika kaubaca surat ini berarti kau takkan pernah bertemu diriku lagi. Tertawalah dan bahagiakanlah ibumu dengan berbagai cara, sebagai pengganti diriku yang tak bisa lagi bersamanya.

Peluk hangatku.

Ayahmu yang selalu mencintaimu.

***

Mataku berkaca-kaca saat membaca kalimat terakhirnya.

“Baca apa, Nak?” suara Ayah mengagetkanku.

Kusodorkan surat itu. Keningnya berkerut.

“Oh, surat konyol ini. Kutulis sehari sebelum NASA membatalkan ekspedisinya. Masukkan kembali ke dalam kotak barang-barang mendiang ibumu!” teriaknya sambil berlalu. Aku melongo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^