Minggu, 18 November 2018

Selarik Sinar Merah di Dahinya

Wisam termangu. Matanya sesekali melirik ke bangku kosong di sebelahnya. Ia menghela napas. Nasir pasti sedang bergembira sekarang, pikirnya sejurus kemudian. Ia merindukan bocah kecil itu, teman sebangkunya yang rendah hati. 

Baginya Nasir selalu seperti mentari yang memancarkan cahayanya. Ia teringat momen-momen saat mereka belajar kelompok, atau saat ia bertanya tentang pelajaran yang tak dimengerti. Anak itu selalu punya jawabannya. Dia memang seperti kamus berjalan. Pantas jadi kesayangan semua murid dan guru.

Wisam suka bermain bola dan berlatih kung fu bersamanya. Juga menghapal Quran. Soal yang satu itu semangat Nasir sulit ditandingi. Tak habis-habis ia mengagumi sahabatnya itu.

* * *

“Assalamualaikum!” suara putranya seperti terngiang-ngiang di telinga Samah. Ia masih ingat betul tatapan matanya sebelum pamit berangkat.

Sebelum pergi Nasir masih menyempatkan membantu pekerjaan rumah. Punggung Samah yang bermasalah memang membuatnya agak kesulitan bergerak. Beruntung putra-putrinya benar-benar jadi penyejuk mata. Islam dan Duaa, kedua kakak perempuan Nasir rupanya memberikan teladan yang baik baginya. Lelaki kecilnya itu ringan tangan membantunya. Prestasi di sekolahnya juga membanggakan.

“Aku ingin ikut aksi, Bu,” ucapnya suatu ketika. Kala itu pawai kepulangan akbar akan digelar setiap Jumat. Islam dan Du’aa bergabung menjadi relawan medis. “Aku bisa membantu apapun yang dibutuhkan kakak, membawa tandu, menyiapkan obat-obatan, dan lainnya.”

Samah paham, keinginan putranya itu tak bisa dilawan. Saat itu ia teringat firman Allah SWT, ”Katakanlah: ‘jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Quran Surat At-Taubah ayat 24)

Saat mengiyakan keinginan putranya, ia sempat meminta, “Berjanjilah padaku untuk berada di sekitar tenda!” Itu adalah tempat pos tenaga medis. Letaknya di sebelah timur kota Khan Younis, sekitar setengah kilometer dari perbatasan Israel. Samah merasa itu adalah tempat yang cukup aman, meski ia sadar dalam kondisi perang seperti itu tak ada tempat yang benar-benar aman.

Setiap orang bisa saja terbunuh dalam kondisi terbaring di atas ranjang sekalipun, entah karena serangan misil Israel atau ledakan gas beracun. Ia tahu putranya yang bercita-cita menjadi hafidz sudah mempelajari makna ayat: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Quran Surat At-Taubah ayat 41)

Maka ia mencoba membesarkan hati setiap kali pria kecilnya pergi. Seperti juga Jumat pagi di Bulan September itu. Dia akan pulang seperti biasanya ketika senja tiba. Lalu ia akan menceritakan pengalamannya seharian dengan mata berbinar, kadang dengan mata sendu ketika melihat para syahid. Dia memang bocah yang cerdas dan lebih cepat dewasa.

“Kalau besar nanti, aku akan jadi dokter. Aku akan menjadi relawan medis di perbatasan. Dan aku akan mengobati punggungmu juga, Ibu!” janjinya. Matanya menerawang jauh. Samah tersenyum lebar. Hatinya sejuk mengaminkan.

* * *

“Nasir! Ambilkan kotak P3K!” Islam berteriak di antara bunyi desingan peluru dan ledakan bom. Asap hitam mengepul di udara. Ban-ban bekas yang terbakar menggelinding di kejauhan. Layang-layang dan balon berisi gas membumbung tinggi ke udara.

“Nasir! Nasir!”

Bocah kecil itu tersentak. Gegas ia mengambil kotak P3K di lemari penyimpanan. Kaki kecilnya berlari kencang menuju arah suara kakaknya. Di antara kobaran api dan gulungan asap tebal, ia berhasil melihat sosok gadis itu. Seperti juga hari-hari sebelumnya, keringat dan ceceran darah mewarnai jas putihnya.

Nasir mengulurkan kotak itu kepada kakaknya. Islam tersenyum. Detik berikutnya ia sudah tenggelam dalam kesibukan merawat korban-korban yang terluka. Adiknya pasti sudah kembali ke tenda, pikirnya. Sudah berbulan-bulan ia membantu membawakan perlengkapan medis di perbatasan dan adiknya selalu baik-baik saja. Ia sudah berjanji pada ibunya akan selalu menjaga adiknya. Tapi ia tahu, di saat-saat seperti ini hanya Yang Maha Menjaga yang bisa dimintai pertolongan.

Ia baru terpikir untuk mencari adiknya setelah selesai merawat demonstran yang cidera. Janjinya kepada ibunya memburu. Perasaan aneh tiba-tiba menyergap. Setengah panik, ia berteriak-teriak memanggil Nasir. Du’aa pun turut membantunya.

Dua jam kemudian, ia menemukan adik bungsunya di Rumah Sakit Gaza Eropa.

* * *

“Assalamualaikum!” suara putranya seperti terngiang-ngiang di telinga Samah. Ia masih ingat betul tatapan matanya sebelum pamit berangkat.

Putranya telah kembali pulang. Dadanya gemuruh. Kepedihan berkecamuk di hatinya. “Innalillahi wa innailaihi raa ji’uun,” air matanya meleleh. Mereka telah menemukannya di ruang jenazah rumah sakit.

Peluru itu tidak menyasar sembarangan. Yasser Abu Khater, salah seorang pengunjuk rasa berkata, “Seberkas sinar laser melewati kami dan mengarah tepat ke kepala anak itu ketika dia berlari.” Sniper Israel rupanya sudah putus asa menarget pejuang dewasa dan paramedis. Anak-anak adalah sasaran paling empuk.

Maut menghampiri Nasir ketika dia hendak kembali ke tenda. Selarik sinar merah itu telah memandu penembak jitu Israel untuk menarik pemicunya dan mencabut nyawa bocah sebelas tahun itu.

* * *

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Quran Surat Ali Imran ayat 169-170)

Wisam termangu. Matanya sesekali melirik ke bangku di sebelahnya. Sebuah karangan bunga plastik diletakkan di situ. Selembar foto sahabatnya yang sedang tersenyum bertengger di atasnya. Tulisannya terpampang nyata, “Syahid: Nasir Azmi Mishbah”.

Sumber
(Tulisan ini diadaptasi dari kisah nyata syahidnya Nasir Mishbah yang menjadi target penembak jitu Israel pada 28 September 2018 lalu pada pawai kepulangan akbar. Aksi demonstrasi ini dimulai sejak 30 Maret 2018 lalu dan masih berlangsung hingga kini.)

Tentang aksi pawai kepulangan akbar selengkapnya bisa dibaca di sini.

Jumat, 16 November 2018

Paku di Dalam Gelas (2)

Who are we? Just a speck of dust within the galaxy?
Woe is me, if we're not careful turns into reality

Don't you dare let our best memories bring you sorrow
Yesterday I saw a lion kiss a deer
Turn the page maybe we'll find a brand new ending
Where we're dancing in our tears and

God, tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?

Lagu Lost Star memenuhi ruangan kedai yang makin ramai di Jumat malam itu. Air mata gadis itu sudah surut. Matanya bengkak, cuping hidungnya masih merah, kontras dengan kulitnya yang putih mulus. 

Kakak sepupuku yang usianya lebih muda tujuh tahun dariku memang jelita. Cantik, muda, dan dari keluarga berada rupanya tak menjamin kebahagiaan. Aku paham benar tuntutan Budheku kepadanya bukan masalah finansial, tapi lebih karena gengsi.  

“Apakah masih sering muncul? Keinginan bunuh diri itu?” tanyaku hati-hati.

Dia terdiam. Matanya sendu.

“Dulu iya, sekarang gak lagi. Terakhir itu ayah dan ibuku umroh Dek. Mereka mungkin mendoakanku atau gimana. Yang jelas sekarang aku udah lebih nerima keadaan sih. Salat juga udah gak bolong-bolong lagi. Aku baru nyadar kalau mungkin salatku dulu gak khusyuk. Jadi badannya doang yang salat. Pikirannya gak.”

Dia menyeruput kopi susunya.

“Aku inget banget wajah ayah waktu aku terbangun di rumah sakit setelah lolos dari percobaan bunuh diri itu. Dia diam aja, kelihatan terpukul,” matanya berkaca-kaca. “Lalu suatu hari, aku terjatuh dari sepeda motor dan sempat bedrest di rumah selama tiga minggu. Ke mana-mana pakai kursi roda. Saat itu, ayah yang selalu menemaniku, bolak-balik terapi. Ibu sendiri kan masih sibuk ngajar. Baru saat itu aku sadar, ternyata punya kaki normal itu sebuah anugerah. Apalagi punya nyawa. Dan aku gak akan bikin ayah kecewa lagi dengan kelakuanku.”

Aku mengangguk-angguk. Sedikit bersyukur karena dia sudah sadar. Aku tak perlu menceramahinya panjang lebar. Manusia memang punya fase spiritual tersendiri. Tiap orang mungkin akan mencapai level yang berbeda-beda, dan standar fase itu tentu tidak akan sama satu dengan lainnya. Ada yang dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, ada juga yang harus melewati ujian sedemikian rupa. Semuanya untuk menaikkan derajatnya. Seperti juga kapal, makin jauh berlayar, angin yang bertiup tentu takkan sepoi-sepoi lagi.

“Kamu kan termasuk selebgram Mbak, followersmu banyak. Kenapa gak serius main di IG aja? Bikin konten di IG TV misalnya, atau jadi vlogger sekalian,” cetusku. Pipinya memerah, tersipu. Matanya seakan bilang: emang aku bisa?

“Kamu bisa Mbak, sangat bisa. Kamu punya modal itu. Selera fashionmu bagus, kamu juga pintar dandan. Bisa kan bikin tutorial make up atau bikin panduan outfit of the day, sekalian promosi daganganmu.”

Senyum samar tersungging di bibir merah mudanya.

“Kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau Mbak, asal jangan putus asa lagi. Jangan sekali-kali ngelakuin hal bodoh kayak gitu lagi. Mbak gak tahu, banyak orang yang menginginkan kehidupan sepertimu, padahal kamu malah membuangnya.”

Dia terhenyak, alisnya naik ketika aku mengucap kata “bodoh”.

“Aku emang bodoh, tapi waktu itu emang hidupku ancur banget, Dek. Aku udah ngelamar ke mana-mana dan gak keterima. Kalaupun sempat kerja magang tapi aku gak merasa betah jadi aku ngerasa stuck gitu,” nadanya tinggi dengan pandangan sinis seperti berkata: kamu tahu apa, PNS macam kamu mana ngerti rasanya pontang-panting cari kerja?

Cukup. Aku sudah kenyang dengan pandangan seperti itu. Dia sama seperti orang lain yang berpikir kalau ASN itu makhluk super minus derita, kecuali di tanggal tua. Tanpa bayang-bayang dipecat, pensiun aman, dapat penghasilan tetap tiap bulan. Itu semua gak salah, tapi gak benar juga kalau dianggap hidup kami bebas masalah.

“Ya, maaf Mbak, kalau aku salah ngomong. Aku cuma ngingetin aja. Aku emang gak pernah ngerasain susahnya cari kerja, tapi kan suamiku dulu kerja di swasta, jadi tahulah gimana kerasnya persaingan hidup. Bahkan dulu dia sempat lama nganggur, bertahun-tahun sampai dia depresi dan sempat hilang ingatan...,” aku tak tahan lagi untuk bercerita.

Melihat kakak sepupuku itu aku seperti melihat suamiku beberapa tahun lalu. Setelah anak ketigaku lahir, ia kehilangan pekerjaan. Dipecat dengan tidak hormat tepatnya. Seorang kolega yang dipercaya mengkhianati dan memfitnahnya. Rupanya lelaki yang disangkanya teman itu punya kedengkian yang dalam. Dia menyebarkan berita bohong yang membuat nama baik suamiku tercoreng dan susah mencari pekerjaan.

Waktu itu aku belum menyadari kalau dia depresi. Aku yang kecewa selalu menyalahkan keadaannya. Ditambah lagi aku terkena baby blue syndrome. Lengkaplah sudah. Suamiku makin mengurung diri, asyik dengan dunianya sendiri. Aku yang kehilangan nakhoda segera mengambil alih kemudi, tanpa sedikitpun sadar bahwa nakhoda yang asli telah tenggelam ke lautan yang dalam.

Bertahun-tahun hidup seperti burung yang terbang dengan sebelah sayap, aku terbiasa mandiri. Sosok suamiku semakin menciut. Anak-anak tak terurus sebab aku sibuk mencari tambahan sampingan. Tapi seberapa banyaknya aku mencari uang, kondisi keuanganku masih saja berantakan. Belum lagi dengan pertengkaran-pertengkaran kami. Pertengkaran juga bukan kata yang tepat. Aku bermonolog, tepatnya. Bagaimana mungkin aku bisa bertengkar dengan sebatang pohon pisang yang seharian hanya berbaring di atas ranjang?

_Bersambung_

Bagian kesatu klik di sini.

Rabu, 14 November 2018

Paku di Dalam Gelas (1)

Menutup mata dan masih melihat langit-langit yang sama
Kaki memijak di bumi yang lain
Kesadaran tak pernah datang di detik yang sama
Aku waras
Justru di saat aku secara sadar menggila
Menggigit takdir yang makin hari makin liat
Mengunyah pagi dan memuntahkan malam menjelang tidur
Tapi tak pernah benar-benar tidur
Lelap adalah kemewahan tak terhingga
Ia menempati langit-langit rumah
Yang tak pernah benar-benar jadi rumah


* * *

“Jadi gimana hasil tesnya?”

Tiap mendengar pertanyaan itu tiba-tiba aku serasa jadi Kapten Colter Stevens yang masuk ke sistem Source Code dan memerankan Sean Fentress untuk diledakkan berkali-kali. Sial!

“Loh, Mbak kok bengong?” adik sepupuku yang umurnya lebih tua dariku tersenyum manis. Karena ayahku adalah anak tertua maka semua sepupuku dari keluarga ayah harus kupanggil “Dek”. Menggelikan.

“Semingguan ini aku sudah ditanya belasan kali oleh orang yang berbeda. Bete.”

Dia tersenyum, maklum.

“Aku dengar susah ya, si Nanda kan gak lulus tes CPNS juga Mbak.” Nanda itu nama adiknya, seumuranku tapi sudah lebih dulu menikah.

Ditanya begitu aku seperti keran yang diputar tuasnya. “Gimana gak susah, pertanyaannya aneh banget, masak soalnya begini: Misalnya kamu sudah janjian sama teman pergi nonton di malam Minggu, lalu tiba-tiba ibumu melarang, apa yang akan kamu lakukan?”

Dia tertawa terbahak-bahak. Nyaris tersedak. “Kalau udah gede ya bakal pilih jawaban untuk nyoba negosiasi dengan ibu. Tapi katanya yang jawab gitu malah kebanyakan gak lolos,” keluhku.

Lalu kupuas-puaskan cerita soal ini dan itu pertanyaan lain yang jawabannya mirip-mirip. Membikin pusing. Kurasa yang bisa lolos tes itu memang jenis manusia yang waktu kecil rajin minum susu dan menggosok gigi sebelum tidur. Manusia dengan spesifikasi khusus bernama penurut. Cocok sekali dengan profil aparatur sipil negara yang ideal.

Kukira aku bakal tertekan di hadapan adik sepupuku ini. Dia sendiri PNS, belasan tahun bekerja di institusi pengelola keuangan negara. Entah apa nama kantornya. Kurasa dia tak bakal tahu rasanya gagal ujian tes CPNS. Setelah lulus SMA dia langsung masuk STAN dan langsung penempatan. Mana dia tahu rasanya susah mencari kerja?

“Lalu passionmu apa Mbak? Maksudku, jujur nih, kukira jadi PNS bukan passionmu.”

Aku terdiam. Ternganga tepatnya. Di kampung ibuku menyalahkanku karena tak lolos ujian ini. Begitu juga tante dan om yang tinggal dekat rumah. Ayahku mendiamkanku selama seminggu. Semalam Pakdhe menasihatiku panjang kali lebar dan mengkritik habis-habisan gaya hidupku yang katanya bohemian. Dan dia, yang PNS dengan karir yang mulus tanpa cela malah bertanya tentang passion?

“Yah, kau tahu, sebenarnya kan aku masih jadi konsultan freelance di butik punya teman. Juga jualan online di medsos. Per minggu omzetku bisa sampai dua jutaan lah.”

Dia mengangguk sambil mengulum senyum.

“Itu karena kekurangan bahasa kita dalam mendefinisikan kata 'bekerja',” jelasnya. Matanya berbinar terang. Aku jarang bertemu adik sepupuku yang beranak tiga ini. Selama bertahun-tahun, ini adalah kali pertama kami menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol. Dan dia langsung membuatku terpana.

“Di barat sana, mereka punya dua sebutan untuk bekerja: work dan job. Work tak memerlukan posisi, tak menempel pada jabatan dan hirarki. Sebaliknya dengan job. Taulah, orang tua kita adalah generasi baby boomers. Mana mereka tahu bedanya work dengan job, sebab definisi bekerja bagi mereka hanya satu. Duduk manis di kantor dan berpakaian rapi. Sekian dan terima gaji. Hihihi.”

Aku terkikik. Tak terpikirkan olehku soal ini. Sehari-hari sejak lulus kuliah memang aku fokus jualan online dari rumah. Aku bahkan tak perlu ke kota sebelah untuk kulakan baju dagangan. Semua beres dengan sistem dropship. Dan kalau temanku butuh bantuanku mengatur butiknya, aku tinggal video call atau koordinasi via whatsapp. Habis perkara.

Tapi ibu dan semua orang di rumah tak ada yang mengerti. Begitu juga pakde tempatku semalam menginap di kota besar ini. Semua berharap aku lulus tes CPNS di ibukota dan mendapatkan posisi yang mapan. Celakanya, lapangan pekerjaan yang ada di kota kecil kami tak selalu sesuai dengan spesifikasi keahlianku.

“Aku sering terbangun sambil mengeluh, kenapa masih harus menjalani hidup sehari lagi dalam keterasingan. Di rumahku sendiri aku terbelenggu. Ibu tak membolehkanku cari kerja di kota lain. Kecuali untuk jadi PNS. Dan itu kan susah banget. Saking putus asa, pernah terbersit keinginan untuk mati saja.”

Sepupuku terdiam. Dia mengelus-elus bahuku lalu menggenggam tanganku erat.

“Aku tak tahu untuk apa aku harus dilahirkan kalau hanya untuk dicerca setiap hari. Apa hak mereka mengkritikku habis-habisan, bahkan tanpa pernah bertanya apa yang sudah kulakukan?” aku tak tahan untuk menumpahkan segalanya, sambil meraung-raung. Tak kupedulikan orang-orang di kedai yang mulai memerhatikan kami.

Kubiarkan diriku menangis tersedu di pelukan sepupuku. Di saat seperti ini, badannya yang gemuk dan bahunya yang empuk sangat memberikan kehangatan. Dan dia tidak menyalahkanku.

“Seperti paku. Kata-kata yang tajam itu seperti paku. Ia menancap dalam lalu menorehkan luka. Meski dicabut, tak lantas lubang jejak paku itu akan menutup dengan sempurna. Pasti akan membekas,” ujarnya lirih. Aku tertegun.

“Pernah suatu ketika aku update status di medsos, lagi main ke pantai menghirup udara segar, setelah sebulan sebelumnya mencoba membenamkan diri di bak mandi. Sumpah, di pantai itu rasanya aku ingin menenggelamkan diri lagi. Tapi aku tahan-tahan. Eh, ada yang komentar, ‘Kerja, kerja! Main terus!’ Memangnya aku ke pantai pakai duitnya apa? Apa haknya menghakimiku seperti itu? Dia tahu apa sih tentang hidupku?” isakku getir.

Sepupuku mengelus-elus bahuku.

“Aku bahkan pernah sampai di titik tak mau beribadah lagi. Aku merasa sudah salat, sudah baca Quran, tapi kenapa hidupku masih begini-begini aja? Lihat temanku, dia gak pernah salat, kerjaannya clubbing, hidupnya baik-baik aja, punya kerjaan tetap dan punya pacar. Sedangkan aku?” Aku sadar memang aku jones: jomblo ngenes.

_Bersambung ke Bagian 2_

Sabtu, 03 November 2018

Helium

Oleh: Edmalia Rohmani
Editor: Riza Almanfaluthi

Penjual balon itu tak menyadari bahwa sedari tadi sepasang mata selalu mengawasi gerak-geriknya. Trik cerdiknya melepas beberapa balon untuk menarik perhatian pelanggan kecilnya ternyata cukup berhasil. Tinggal tersisa beberapa balon saja. Saat ia memutuskan untuk berkemas-kemas, seorang bocah berkulit hitam menghampirinya.

"Tak adakah balon hitam yang bisa diterbangkan? Apakah balon berwarna hitam tak bisa terbang ke angkasa?" ia bertanya dengan mata berkaca-kaca. Saat itu akhir dekade 60-an, diskriminasi ras masih lestari di beberapa negara bagian Amerika.

Mendengar pertanyaan itu sang penjual tersenyum. Seketika ia mengambil sebuah balon berwarna hitam, memompanya penuh-penuh dan mengikatkan seutas benang pada pangkalnya.

"Kenapa berpikir ia tak bisa terbang karena berwarna hitam? Yang membuatnya terbang adalah isinya, bukan warnanya," hiburnya sambil memindahkan balon hitam ke tangan mungil itu. Mata anak itu bersinar-sinar. Baginya, jawaban itu sangat tak tepermanai.



Beberapa dasawarsa sebelumnya, tepat setelah masa perang dunia pertama, para ilmuwan masih menjadikan metode Stanford-Binet sebagai standar penilaian kecerdasan. Parameter tunggal yang saat itu digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Amerika, terutama karena pengaruh Lewis Terman, seorang profesor muda dari Stanford University. Ide ekstrimnya kadang mengundang kontroversi, seperti melarang seseorang ber-IQ rendah untuk memiliki anak dan pemberian jabatan penting semata-mata dari skor inteligensi yang tertinggi.

Suatu ketika, ia mengamati seorang anak laki-laki yang bekerja sebagai pramubakti di sebuah sekolah dekat universitasnya. Henry Cowell, nama anak itu, diam-diam sering menyelinap ke ruang seni musik sehabis jam bekerja untuk memainkan piano dengan alunan musik sangat indah, yang dipelajarinya secara otodidak.

Ketika mendapati skor IQ Cowell 140, sebuah kesadaran menyergap Terman. Berapa juta mutiara terpendam berserakan di luar sana yang akan tersia-sia? Cemas dengan hal itu, ia bertekad melakukan sesuatu.

Selama puluhan tahun kemudian, ia mendedikasikan diri untuk mengumpulkan anak-anak semacam Cowell dan mempelajari kehidupan mereka. Lebih dari seribu anak dengan rentang IQ 140-200 menjadi subjek penelitiannya yang bersejarah.   

Para "Termites", sebutan mereka, senantiasa diawasi, diuji, dan dianalisis hasil penilaiannya. Berbagai capaian akademisnya dicatat, begitu pula dengan kehidupan pribadinya. Kesehatan fisik dan psikisnya selalu dipantau, dengan tabel dan beragam catatan. Terman bahkan menuliskan surat rekomendasi saat mereka mencari pekerjaan atau kuliah pascasarjana.

Ia mendokumentasikan jurnalnya dalam sebuah buku tebal berjudul Genetic Studies of Genius. Dalam pandangan visionernya, para "Termites" akan menjadi kelompok elit yang menguasai berbagai lini kehidupan dan mengubah wajah dunia. 

Faktanya, ketika para subjek penelitian itu dewasa, hanya beberapa saja yang mempunyai pengaruh nasional. Tidak ada satupun yang berhasil memenangkan hadiah Nobel. Bahkan, Terman sendiri menilai beberapa dari mereka menemui kegagalan.

"Kita telah melihat," ungkapnya kecewa, "bahwa kecerdasan intelektual dan keberhasilan sangat jauh hubungannya." Kesimpulan ini menutup penelitiannya dan menahbiskan lindapnya lema "jenius" pada buku Genetic Studies of Genius jilid keempat.

Hipotesis Terman yang patah seakan memaksa kita kembali ke kisah pertama. Apakah "isi" dari balon yang sebenarnya menjadi bahan kesuksesan? Benarkah keunggulan hereditas atas inteligensi bukan tiket satu-satunya dalam melambungkan hidup seseorang?

Bahkan setelah hampir dua puluh tahun sejak pergantian milenial, kita masih terpesona dengan paradigma lama tentang faktor pencetus keberhasilan. Ketergesaan dalam mengecap seseorang berdasar satu atau dua penilaian tentu berbahaya, apalagi coba-coba meramal masa depannya berdasarkan satu atau dua digit angka. 

* * *

Mungkin kita bisa belajar sedikit dari kisah hidup Oprah Winfrey. Tumbuh dengan latar belakang orang tua yang bercerai, membuatnya terlibat kenakalan remaja dan gemar kabur dari rumah. Menjadi objek pelecehan seksual kerabatnya selama lima tahun membuatnya hamil di usia muda. Pada umur 14 tahun ia melahirkan bayi yang hanya mampu bertahan hidup dua pekan saja.

Hampir frustrasi dan pesimis melihat masa depan putrinya, sang ibu lalu mengirimnya pada sang ayah yang mantan militer. Sejak itu ia menjalani hidup seperti tentara. Tak ada waktu bersantai. 

Didikan yang keras memaksanya bertransformasi. Berhasil meraih predikat pelajar teladan, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Debutnya bermula saat menjadi penyiar radio lokal di usia 17 tahun. Dua tahun kemudian, sebuah stasiun televisi mengorbitkannya sebagai wanita berkulit hitam pertama yang menjadi penyiar berita di stasiun televisi itu.

Medio 2017, Forbes mencatat kekayaannya mencapai Rp38 triliun, menjadikannya wanita Afro-Amerika terkaya di dunia. Ia adalah ratu acara bincang-bincang di TV, pemilik jaringan TV kabel, penerbitan majalah, rumah produksi, program TV, dan satelit radio sendiri.  

Ketika ditanya rahasianya ia membocorkan, "Rahasia terbesar dari kehidupan adalah tak ada rahasia. Apapun tujuannya kamu akan bisa mencapainya bila tak pernah berhenti berusaha."

The Giving Back Fund Foundation memberinya gelar selebritas paling dermawan. Tak kurang dari Rp536 miliar digelontorkannya untuk program pendidikan dan perlindungan wanita dan anak-anak. Hingga kini badan amal yang didirikannya telah menghabiskan jutaan dolar untuk membiayai sekolah di negara miskin di Afrika.

Baginya, berbuat baik adalah satu cara untuk membawa kebaikan bagi diri sendiri, sekaligus berdamai dengan masa lalu. Ia telah berhasil mengisikan "helium" bagi kehidupannya. Sesuatu yang seringkali luput dari penilaian kita.

Lalu, alih-alih memenuhi "balon" dengan segenap kemampuan yang ada, kita seringkali menjadi permisif; mencari seribu satu alasan untuk memaklumi diri dan memaafkan untuk tidak mengisinya dengan paripurna. (ER/RZ)

Artikel ini telah ditayangkan pada majalah Intax DJP edisi April 2018.

Baca juga : Sosok Pegawai Teladan DJP

Minggu, 28 Oktober 2018

Pegawai Teladan dari Trowulan

Oleh: Edmalia Rohmani
Editor: Ahmad Taufiq R.


Ia lahir dari keluarga sederhana di Desa Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tiga puluh satu tahun yang lalu. Choirul Anam, sebuah nama yang mengingatkan kita pada sabda Nabi: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Menjadi bungsu dari tiga bersaudara tidak membuat ia manja sebab ayahnya yang petani selalu mengajarkan arti kerja keras dan kemandirian. Selain ayah yang sangat menginspirasi, ibunya juga mengajarkan nilai-nilai integritas sedari dini.

“Tirulah yang baik-baik dari apa yang ada pada diri seseorang dan lihatlah sisi baiknya,” petuah ibunda yang masih terngiang di telinganya hingga kini. Kedekatan dengan sang ibu yang seorang guru mengaji, menempanya menjadi seseorang yang religius. Rutinitas mendaras ayat suci dilakoninya setiap lepas salat Subuh. Menjadi pribadi yang saleh diyakininya sebagai ladang jariyah bagi ibunya yang telah tiada. Sang ibu meninggal saat ia duduk di bangku SMP.

Perasaan sedih dan kehilangan dialihkannya dengan menghabiskan waktu membaca di perpustakaan Mojokerto. Ketekunannya membuahkan hasil. Ia lolos Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan menempuh kuliah Pendidikan Matematika untuk menggapai mimpi menjadi seorang guru. Namun, di saat yang sama, ia merasakan sebuah kegalauan karena ingin segera bekerja agar bisa hidup mandiri. Beruntung, pada tahun yang sama, ia lolos ujian masuk STAN dan menjadi mahasiswa Diploma 1 Perpajakan BDK Malang. Untuk sementara waktu impiannya menjadi guru harus terkubur.

Lulus dari STAN, ia mendapat amanah sebagai pelaksana di KPP Wajib Pajak Besar Satu. Ia banyak belajar dari atasannya tentang militansi terhadap institusi, bahwa di posisi apa pun, setiap pegawai DJP harus bisa menjadi agen kehumasan yang mewakili citra positif DJP. Dengan pemikiran itu, ia melanjutkan pendidikan ke Diploma 3 Khusus Perpajakan STAN Jakarta pada 2009. Ia mengantongi kesempatan luar biasa untuk melanjutkan pendidikan lebih awal sebab nilainya sewaktu di Diploma 1 menjadi yang tertinggi di angkatannya.



Kiprahnya dalam menebarkan kebaikan tak juga berhenti. Impian sebagai guru yang dulu sempat terkubur, justru tumbuh kembali dengan subur di bangku perkuliahan yang baru. Ia dengan senang hati mengajari teman-teman yang membutuhkan bimbingan dan diskusi. Tak pernah mengeluh ketika diminta bantuan menjelaskan materi yang belum dipahami, bahkan oleh teman yang berbeda jurusan.

Selesai D3 Khusus, ia ditempatkan di KPP Madya Sidoarjo sebagai pelaksana. Kegigihan bekerja mengantarkannya meraih penghargaan Pelaksana Pendukung Berkinerja Terbaik se-Kanwil DJP Jawa Timur II periode 2012. Ia pun terus konsisten menjaga integritas dan profesionalisme hingga akhirnya diangkat menjadi Account Representative (AR) di KPP Pratama Mojokerto. Pada 2014, ia mengikuti program Kelas Inspirasi Mojokerto untuk memperkenalkan profesi petugas pajak kepada pelajar SD, sebagai wujud kepeduliannya di bidang pendidikan dan sosial.

Ia sangat senang bila Wajib Pajak membayar pajak secara sukarela. Hal inilah yang memotivasinya untuk senantiasa meningkatkan kinerja, sebagai bentuk rasa syukur dan balasan kepada masyarakat yang telah patuh membayar pajak. Meski berstatus sebagai AR pengawasan, ia tak pernah menampik tugas sebagai petugas penyuluh sosialisasi perpajakan. Ia pun tak berkeberatan tiap ditugaskan mengikuti pelatihan perpajakan dan menyosialisasikan kembali kepada rekan-rekan di unit kerjanya.

Setiap mendapat tugas ke luar kota, ia memilih maskapai penerbangan dengan bujet rendah dan jarang menggunakan fasilitas hotel. Hal ini semata-mata demi menghemat anggaran negara sehingga dapat digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Sifat amanah dan bersahaja ini mengantarkannya mengemban tugas tambahan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang ia jalani dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian.

Kesibukannya makin menjadi-jadi selama persiapan pembentukan KPP Pratama Jombang. KPP baru yang beroperasi per 1 Oktober 2018 ini adalah pengembangan dari KP2KP Jombang (sebelumnya di bawah KPP Pratama Mojokerto). Ia harus pandai membagi waktu antara pekerjaan sebagai PPK dan AR. Pagi-pagi setelah presensi di KPP Pratama Mojokerto, ia bergegas ke kantor Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di Surabaya, kemudian mengecek kesiapan kantor pajak di Jombang, lewat siang kembali ke Mojokerto untuk melanjutkan tugas-tugas rutin sebagai AR yang seringkali menahannya hingga larut malam.

Predikat Pegawai Teladan Tingkat Kanwil DJP Jawa Timur II diperolehnya tahun lalu. Kemudian tahun ini, ia lagi-lagi meraih penghargaan berupa AR Terbaik di Lingkungan Kanwil DJP Jawa Timur II dan AR Terbaik Kedua di Lingkungan DJP. Penghargaan demi penghargaan yang diraih berturut-turut itu tak sedikit pun mengendurkan upayanya dalam menjaga penerimaan negara. Pun tak membuatnya jemawa dan berbusung dada. Ia tetap Choirul Anam yang bersahaja.



Di sela-sela kesibukan, ia tetap konsisten menebar kebaikan dengan membuka bimbingan belajar bagi anak-anak kurang mampu di sekitarnya, mengikuti bakti sosial yang diadakan oleh kantor, dan sesekali berkeliling untuk menyosialisasikan peraturan perpajakan ke masyarakat luas. Baginya, kehidupan adalah pembelajaran itu sendiri. Belajar untuk hidup dan kehidupan sesudah kehidupan itu sendiri. Semuanya untuk mewujudkan visi menjadi khairul anam, sebaik-baik ciptaan Tuhan. [ER/ATR]

*Artikel ini telah ditayangkan pada Majalah Intax DJP edisi Oktober 2018

Baca berikutnya: Helium

Jumat, 17 Agustus 2018

Huru-Hara di Rengasdengklok

“Sekarang, Bung! Malam ini juga kita serukan proklamasi!” seru Chairul, berusaha meyakinkan lawan bicaranya.

“Aku bilang tidak!” lawan bicaranya tak mau kalah.

“Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kita harus merebut kemerdekaan! Jangan percaya dengan janji omong kosong Jepang!” Sukarni mengompori.

Lawan bicaranya mendengus. Dasar darah muda! Darahnya begitu cair, mudah bergolak!

“Kalau Bung Karno tidak melakukannya hari ini juga, maka akan terjadi pertumpahan darah!” Wikana mengancam. 

Brakkk! Bung Karno menggebrak meja. "Apa?!” Ia yang naik pitam serta-merta mencengkeram kerah baju Wikana.

“Ini batang leherku! Seretlah aku sekarang juga lalu potong saja sekalian. Kau kira kami takut dengan ancaman kalian?!”

Wikana terperangah. Demikian juga teman-temannya. Mereka semua hanya berani menggerutu dalam hati, “Dasar darah tua! Darahnya begitu tumpat, sulit sekali dibelokkan!”

Oeeeek! Terdengar tangisan bayi menjerit-jerit dari arah belakang.

Bung Karno semakin kesal, ditendangnya kaki meja dengan sebelah kakinya.

“Kalian sungguh keterlaluan! Jauh-jauh membawa kami ke Rengasdengklok pada dini hari, aku masih bisa mentolerir. Tapi kenapa pula harus membawa istri dan bayiku si Guntur? Usianya bahkan belum genap setahun! Kalian pikir bisa menekanku dengan cara kotor seperti ini, hah?!”

Bung Hatta yang sedari tadi hanya diam saja melihat pertikaian di hadapannya, tiba-tiba berkata, “Wahai para pemuda, kami bukannya gentar dengan ancaman balatentara Jepang. Jepang adalah masa lalu. Tantangan yang akan dihadapi bangsa ini kelak sungguh berat. Belanda pasti sudah siap menyerang. Bila itu terjadi, dengan kekuatan apa kita akan menghadapinya?”

Para pemuda tak mau kalah. Salah satu dari mereka berkata, “Tapi, kami siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan ini. Lagipula, kebanggaan apalagi yang tersisa bagi bangsa kita bila kemerdekaannya adalah hadiah dari penjajah?”

“Ah, dasar bebal! Kalau kalian mati, lalu siapa yang akan mengawal kemerdekaan bangsa ini? Kalau kita paksakan proklamasi hari ini, maka akan terjadi pertumpahan darah dan ribuan rakyat tak berdosa meregang nyawa. Apakah itu yang kalian inginkan?” Bung Hatta mulai tersulut api.

Oeeeek! Jeritan bayi Guntur memekik lagi.

“Kenapa, Fat?” Bung Karno bertanya pada istrinya.

“Entahlah. Dari tadi sepertinya Guntur mual dan muntah. Mungkin reaksi masuk angin akibat perjalanan jauh di pagi buta,” ujar istrinya dengan nada khawatir. 

Bung Karno yang mendengarnya ikut cemas. Nalurinya sebagai bapak segera mengambil alih. 

“Segera kembalikan kami ke Jakarta. Bagaimanapun caranya, bayiku harus segera dirawat. Kalau terjadi sesuatu padanya, kalianlah yang harus bertanggung jawab,” ancam Bung Karno.

Para pemuda menjadi jeri. Tanpa pikir panjang mereka segera bersiap membawa Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta untuk kembali ke Jakarta malam itu juga. 

Djiaw Kie Siong -pemilik rumah tempat mereka berunding di Rengasdengklok- hanya mengantarkan sampai depan pintu. 

Wajahnya tersenyum puas melihat mereka segera pergi. Diam-diam dibereskannya sisa obat pencahar yang telah dicampurkannya sedikit dalam bubur bayi tadi. Dalam hatinya dia memuji dirinya sendiri karena telah berhasil menyelamatkan bangsa ini.

***
Catatan: ini hanya sebuah dekonstruksi sejarah dari peristiwa Rengasdengklok. Kisah fiksi pendek ini semata-mata ditulis dalam ajang final Monday Flash Fiction 2 di tahun 2015. Belum pernah dipublikasikan di manapun.

Sejarah asli :
Peristiwa Rengasdengklok adalah salah satu peristiwa sejarah yang melatarbelakangi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sekelompok pemuda menculik Bung Karno, Bung Hatta, beserta Fatmawati, istri Bung Karno, dan Guntur yang masih bayi agar Bung Karno dan Bung Hatta tidak diintervensi pihak Jepang dan segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejatinya hampir saja tidak ada kesepakatan di antara mereka. Namun karena telah terjadi kesepakatan antara Wikana dengan Achmad Soebarjo di Jakarta bahwa proklamasi akan dikumandangkan paling lambat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 12.00, maka akhirnya Achmad Soebarjo diperkenankan menjemput Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta di Rengasdengklok pada malam 16 Agustus 1945 itu. Sebagian besar dialog dalam kisah ini asli, tetapi beberapa bagian mengalami distorsi dan dekonstruksi.

Minggu, 12 Agustus 2018

Cara Mudah Pahami PP 23 Tahun 2018 Bagi Wajib Pajak Baru

Anda pengusaha UMKM dan baru ber-NPWP? Bingung dengan cara menghitung pajak menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh? Tenang, PP 23/2018 memberikan kesempatan wajib pajak untuk belajar membuat pembukuan: 

1.Untuk wajib pajak perorangan maka jangka waktunya 7 tahun sejak terdaftar;
2.Untuk PT jangka waktunya 3 tahun; 
3.Untuk CV, Firma, dan Koperasi 4 tahun. 

Ketentuan ini bagi wajib pajak yang terdaftar setelah tanggal 1 Juli 2018. Bagi yang terdaftar sebelum itu bagaimana? Dilihat dulu omzet tahun lalu berapa. Apabila di bawah 4,8 miliar rupiah maka boleh menggunakan skema PPh Final PP 23/2018. 

Sambil menunggu hingga wajib pajak mahir membuat pembukuan, PP 23/2018 memberikan kesempatan untuk menyetorkan pajak sebesar 0,5% dikalikan nilai total omzet sebulan. Omzet ini dihitung dari apa? Dari semua nilai penjualan atau nilai transaksi sebelum dikurangi diskon atau bentuk potongan apapun. Contoh: omzet usaha di bulan Juli 2018 sebesar 100 juta rupiah, maka pajak yang disetorkan sebesar 500 ribu rupiah.

Cara bayarnya bagaimana? Untuk membayar pajak UMKM ini silakan membuat kode billing dengan kode jenis pajak 411128-420 (untuk cara membuat kode billing silakan baca di sini). Setelah membuat kode billing, silakan setor uangnya ke kantor pos, bank, atau ATM. Khusus untuk pajak final UMKM ini sebenarnya bisa membuat billing langsung di ATM, lo. Apabila penerbit kartunya adalah Bank Mandiri dan BNI maka silakan cari menu pembayaran pajak dan membuat billing langsung di situ. Mudah dan praktis!

Bayarlah pajak selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Tak perlu lagi melaporkan pajak bulanan. Membayar pajak dianggap telah melapor. Nanti, di awal tahun depan, silakan melakukan pelaporan SPT Tahunan tahun ini paling lambat 31 Maret bagi wajib pajak orang pribadi dan tanggal 30 April bagi wajib pajak berbentuk badan (PT, CV, Firma, Koperasi).

Penghasilan Usaha Jenis Apa yang Kena PP 23/2018?

Terminologi usaha mengandung karakteristik 3 M yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara dalam upaya mendapatkan penghasilan tersebut. Namun rupanya tak semua penghasilan usaha masuk dalam kriteria yang boleh dikenakan PP 23/2018 ini yaitu:

1.Penghasilan orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan  bebas (dokter, pengacara, konsultan, agen asuransi, artis, penulis, dsb.);

2.Penghasilan yang diterima dari luar negeri yang pajaknya telah terutang/dibayar di luar negeri;

3.Penghasilan yang telah dikenai PPh Final dengan ketentuan tersendiri (misalnya PPh atas jasa konstruksi, PPh atas penghasilan persewaan tanah dan atau bangunan, PPh atas penjualan tanah dan atau bangunan);

4.Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak (misalnya warisan, dsb).

Jadi, misalnya wajib pajak punya dua jenis penghasilan maka harus dicatat sesuai jenis penghasilan dan dikenakan pajak secara terpisah. Contohnya seorang dokter yang mempunyai usaha apotek. Atas penghasilan sebagai dokter akan menggunakan tarif pasal 17 (bisa dengan metode pembukuan ataupun pencatatan dengan menggunakan norma penghasilan neto) dan atas penghasilan dari apoteknya akan dikenai PPh Final 0,5% selama omzet di tahun lalu masih di bawah 4,8 miliar rupiah. 

Kok omzet tahun lalu? Iya, dasar dibolehkannya menggunakan skema PPh Final ini memang menggunakan acuan omzet tahun sebelumnya. Omzet ini merupakan jumlah omzet total dari semua cabang usaha, termasuk apabila wajib pajak adalah suami-istri yang memiliki perjanjian pemisahan harta (status PH) atau memilih kewajiban pajak terpisah (MT) di SPT Tahunannya. Kenapa demikian? Suami-istri dianggap satu entitas ekonomi, maka apabila pasangan ini keduanya mempunyai kegiatan usaha yang masuk kriteria PP 23/2018 ini, maka perlu dihitung nilai total omzet di tahun lalu terlebih dahulu. Apabila melewati angka 4,8 miliar rupiah maka wajib menggunakan tarif pasal 17 UU PPh.

Wajib Pajak yang Tidak Dikenai

Ada beberapa wajib pajak yang tidak dikenai PPh Final 0,5% ini yaitu:
1.Wajib pajak yang memilih dikenai tarif PPh Pasal 17 dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan ke kantor pajak tempat terdaftar. Bagi wajib pajak ini untuk seterusnya tidak diperkenankan untuk menggunakan PPh Final UMKM;

2.Wajb pajak berbentuk badan yang memperoleh fasilitas PPh Pasal 31A UU PPh atau PP 94 Tahun 2010;

3.Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia);

4.Wajib pajak berbentuk CV atau firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Untuk wajib pajak jenis ini yang di tengah tahun pertama 2018 masih menggunakan skema PP 46/2013 maka masih diperkenankan untuk menggunakan PP 23/2018. Untuk tahun pajak 2019 wajib menggunakan skema tarif pasal 17 UU PPh. 

Bagaimana dengan usaha jasa kos-kosan?

Apabila telah memiliki NPWP, pemilik kos-kosan yang menerima pembayaran secara bulanan juga masuk sebagai subjek pajak yang dikenai PPh Final UMKM. Hal itu disebabkan jasa ini dikecualikan dari pengenaan PPh Final Persewaan atas Tanah dan atau Bangunan menurut PP 34 Tahun 2017. Ini berbeda dengan penghasilan dari penyewaan tanah dan atau bangunan yang dibayar secara tahunan dan dikenakan PPh Final dengan tarif 10%. 

Apabila merasa rugi bagaimana? Tenang saja, wajib pajak memiliki opsi untuk menghitung laba usaha setelah dikurangi biaya-biaya, tentu dengan menggunakan metode pembukuan. Bagi wajib pajak orang pribadi, apabila penghasilan bersih setelah dihitung ternyata berada di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka tak ada jumlah pajak yang harus disetorkan. Namun jangan lupa untuk menyampaikan surat pemberitahuan ke kantor pajak tempat terdaftar agar tidak terjadi kesalahan administrasi atas pelaporan pajak di kemudian hari.

Cukup jelas, bukan? Semoga bisa membantu dalam memahami aturan PP 23/2018 ini ya. Salam sukses selalu!

* * *

Cara mudah pahami PP 23 Tahun 2018 bagi yang sebelum 1 Juli 2018 sudah ber-NPWP baca di sini.

Cara mengajukan Surat Keterangan PP 23 Tahun 2018 baca di sini.

Tiga Jam Blusukan di Solo

“Urip iku sejatine gawe urup”

Tulisan spanduk yang terbentang di sebuah perempatan Solo seakan menyentak kesadaran kami, meninggalkan jejak yang dalam. Artinya kurang lebih begini: Hidup itu sejatinya memaknai kehidupan itu sendiri, agar menjadi terang benderang bagi sesama. Salah satu falsafah Jawa yang disabdakan Sunan Kalijaga itu rupanya semakin memperkuat slogan Solo: The Spirit of Java.

Kota yang tenang dengan total penduduk lebih dari 560 ribu jiwa itu tertata apik. Lingkungan kotanya bersih dan bebas dari kemacetan, bahkan di jam-jam sibuk sekalipun, memberikan kenyamanan bagi para pengguna jalan. Pemandangan di kiri kanan jalan teduh dan bersih, seakan membuktikan kelayakan Kota Bengawan ini meraih penghargaan Adipura selama dua tahun berturut-turut.

Saya dan Dek Fitri (Kasian bapak pengayuh becaknyah!)
Waktu yang hanya tiga jam memaksa kami menentukan tujuan daerah wisata yang menawarkan paket komplit: batik, kuliner, dan oleh-oleh. Dan pilihan kami jatuh ke Laweyan.

Kampung Laweyan, Surganya Batik

Laweyan berasal dari kata “Lawe” yaitu serat-serat kapas halus yang merupakan bahan baku pembuatan kain mori. Kampung Batik Laweyan sendiri merupakan sentra batik Solo yang sejarahnya sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M. Keberadaaannya tak bisa dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Henis, cikal bakal pendiri kerajaan Mataram Islam. Beliau mengajarkan teknik pembuatan batik kepada penduduk sekitar sambil mendakwahkan ajaran agama Islam. Keahlian ini pun semakin berkembang sehingga terbentuk Kampung Batik Laweyan yang hingga kini lestari sebagai salah satu destinasi wisata andalan.

Penjelajahan kami dimulai di pintu gerbang usaha batik "Merak Manis." Di selasar bangunan tampak tiga perempuan paruh baya dengan luwes menorehkan ujung canting pada sehelai kain putih yang telah diberi pola batik. Mereka tak sendiri, beberapa mahasiswa dari sebuah universitas di Palembang dengan antusias mengamati proses itu sambal sesekali mengambil foto. Selain menjual berbagai macam hasil kerajinan berbahan batik, industri rumahan ini juga menyediakan paket kursus singkat membuat batik dengan harga terjangkau. 

Suasana yang mulai ramai di dalam gerai dan bilik kriya membuat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sebab keindahan dari kehidupan adalah misteri itu sendiri, kami putuskan untuk menelusuri jalan-jalan dan gang kecil kampung ini. Satu dua penduduk lokal menyapa ramah, menunjukkan arah ke beberapa galeri yang sepi. Mata kami tanpa henti mengagumi pemandangan sekeliling. Perpaduan tembok-tembok tua lapuk yang menjulang tinggi berpadu dengan berbagai kios dan toko yang menyatu dengan bangunan rumah tinggal. Modernitas rupanya tak luput menggerus kawasan ini. Bentuk bangunan kolonial yang kuno dan antik mulai tergeser konsep hunian modern minimalis dan ekonomis.

Salah satu sudut Laweyan yang antik
Selama hampir dua jam berjalan kaki dan puas berbelanja di “Griya Batik Sidoluhur”, kami melanjutkan tujuan berikutnya: memanjakan lidah.

Sang Pewaris Tengkleng Bu Edi

Perut yang mulai menyanyikan lagu bossanova Jawa alih-alih lagu keroncong, memaksa kami melangkahkan kaki ke arah jalan raya. Beruntung sekali, sebuah becak terparkir di mulut gang. Pemiliknya yang ramah mengantarkan kami ke Pasar Jongke, beberapa menit saja dari Laweyan.

Antik (Sehat2 terus ya Mbah!)
Sebuah warung makan dengan menu tengkleng langsung menjadi serbuan kami. Tak lengkap rasanya kalau ke Solo belum mencicip kuliner ini. Tak dinyana, warung berjenama "Tengkleng Mas Agus" ini adalah pewaris dari Tengkleng Bu Edi yang legendaris. Pantas saja tempat ini laris. 

Tengkleng Bu Ediyem, atau populer dipanggil Bu Edi, memulai usaha berjualan di Pasar Klewer sejak 1971. Hingga kini hidangan khas olahan kambing ini masih menjadi primadona di hati para pelanggannya, bahkan pembeli dari luar kota rela antri berjam-jam hanya untuk menikmati sepincuk masakan ini. Ketenarannya semakin menjadi-jadi setelah tersiar kabar bahwa inilah menu favorit Presiden Jokowi dan keluarga. 

Beruntung kami singgah di cabangnya di Pasar Jongke. Tengkleng disuguhkan di atas piring, alih-alih daun pisang. Nasinya pun dihidangkan terpisah, cocok untuk penyuka porsi besar (seperti saya) dan memudahkan untuk menambah seporsi lagi. Komposisi bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, merica, ketumbar, lengkuas, dan jahe ini terasa pas di lidah. Rasanya gurih seperti gulai tetapi kuahnya lebih encer tanpa santan. Bahan utamanya tulang kaki, iga, kepala kambing, dan sebagainya. Kami cukup beruntung mendapatkan bagian lutut sehingga bisa menyeruput sumsum kambing dari tulangnya. Benar-benar maknyus! 

Maaf hanya poto aja
Setelah perut kenyang terisi, kami lengkapi perjalanan dengan membeli buah tangan di sebuah toko di Pasar Jongke. Daerah ini memang pusat penjualan oleh-oleh, hampir semua produk makanan khas Solo bisa ditemui di sini seperti abon, inthip, ampyang, kopi khas Solo lengkap dengan cangkir seng, dan sebagainya.

Perubahan di Bidang Transportasi

Setelah tiga jam menghabiskan waktu di daerah ini, kami pun kembali ke penginapan dengan suka hati. Lagi-lagi mobil pesanan via daring menjadi andalan kami. Selain akses yang mudah, jumlah armada yang disediakan aplikasi ini cukup banyak dan bervariasi sehingga pelanggan tak perlu lama menunggu. Menurut informasi dari pengemudi, awalnya perusahaan taksinya mempunyai aplikasi daring sendiri, namun karena kebutuhan menjaring pelanggan yang lebih luas, maka perusahaannya bekerja sama dengan penyedia jasa aplikasi Go-Jek. Di lini transportasi pun rupanya sedang terjadi proses dirupsi.

Menurut Senior Vice President Operation Gojek Indonesia, Arno Tse, sebagaimana wawancara solopos.com, pendapatan sopir Go-Jek di Solo berhasil melampaui rata-rata pendapatan pengemudi Go-Jek secara Nasional. Demikian juga dengan layanan Go-Food yang mendapatkan apresiasi tinggi. Ini tentu hal yang sangat menggembirakan. Di satu sisi, peningkatan pendapatan rumah tangga akan meningkat dan kesejahteraan akan tercapai bagi yang mampu memanfaatkan teknologi. Di sisi lain, selalu ada peluang terciptanya penurunan penghasilan bagi para pengayuh becak, tukang ojek pangkalan, pengemudi taksi konvensional dan siapa saja yang belum memanfaatkan kecanggihan teknologi. 

Geliat UMKM di Masa Perlambatan Ekonomi

Mendung semakin pekat menggelayuti ketika kendaraan kami membelah kota. Selama bulan Februari itu, di beberapa titik terpasang spanduk maupun baliho bertuliskan "Solo Great Sale 2018." Menurut informasi dari situs resminya, Solo Great Sale (SGS) adalah program yang digelar setiap tahun hasil kerja sama Pemkot Surakarta dan KADIN Solo untuk merespons masa-masa perlambatan ekonomi yang biasanya terjadi di awal tahun. Tahun ini SGS berlangsung selama bulan Februari 2018 dan diramaikan dengan 14 kegiatan besar di Solo, seperti: Grebeg Sudiro, Kirab Budaya, Perayaan Imlek, Solo Computer Bazaar, dan lain sebagainya.

Perhelatan yang bertujuan untuk mendongkrak jumlah aktivitas bisnis dan pariwisata di Kota Budaya ini diikuti 5 ribu partisipan serta 44 pasar tradisional. Nilai ini dua kali lipat dibanding tahun lalu. Pengampu SGS menargetkan nilai transaksi yang akan diraih tahun ini sebesar 400 miliar rupiah, sangat optimis meningkat dibandingkan capaian tahun lalu yang tercatat sebesar 245 miliar rupiah.

Pemerintah daerah rupanya bertekad terus berupaya meningkatkan potensi UMKM sebagai potensi yang dapat diandalkan untuk menopang potensi perekonomian kota. Bahkan, sejak Oktober 2017 pemerintah Surakarta telah menggandeng perusahaan rintisan Tokopedia untuk memasarkan komoditas UMKMnya. Ini merupakan sebuah inovasi dan bentuk ketangkasan dalam merespons dirupsi di bidang pemasaran yang perlu diapresiasi.

Toko oleh-oleh yang kumplit

Sejalan dengan upaya tersebut, Kanwil DJP Jawa Tengah II juga menjalankan program Business Development Services (BDS) yang membina puluhan UMKM selama tiga tahun terakhir. Bahkan, di bulan November 2017 digelar Solo Inovatif Expo 2017 bertajuk Gebyar Aksi dan Kreasi UMKM yang bertujuan untuk mempromosikan 70 UMKM binaan KPP.

Di masa perlambatan ekonomi, UMKM justru membuktikan diri sebagai yang terdepan dalam berinovasi. Harga komoditas yang terjangkau, mudah diakses, serta kegigihannya dalam memanfaatkan peluang perubahan besar-besaran dalam teknologi, gaya hidup, dan model bisnis, adalah kunci dalam menghadapi badai krisis yang mendera. Pengaruhnya akan mempunyai efek signifikan dalam menyumbang penerimaan negara, apalagi setelah berlakunya PP 23 tahun 2018, tentu akan mempermudah Wajib Pajak UMKM yang baru terdaftar dalam memenuhi kewajibannya.

Kota yang Makin Modern

Tanpa terasa perjalanan kami hampir berakhir. Kami melewati daerah Manahan yang kabarnya akan dibangun jembatan layang, menyusul berikutnya Daerah Purwosari. Pengemudi taksi daring kami mengeluhkan kemacetan yang sempat dua jam terjadi saat dilaksanakan simulasi lalin pembangunan jembatan layang Manahan. Syukurlah sejurus kemudian ia pun tersadar bahwa itu pengorbanan yang sepadan. Kelak, ketika jembatan-jembatan layang itu selesai dibangun, roda perekonomian akan berputar semakin cepat dan sektor UMKM tidak akan lagi menggeliat melainkan tangkas berlari melesatkan pertumbuhan ekonomi.

Seperti falsafah “Urip iku sejatine gawe urup”, memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi sesama dapat juga dilakukan dengan taat membayar pajak. Melalui pajak, fungsi redistribusi pendapatan dari para pembayar pajak akan dijalankan melalui pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak bagi sebesar-besar kemaslahatan umat. Dengan manfaat pajak yang semakin dirasakan oleh masyarakat Surakarta, keinginan untuk taat pajak bisa jadi bukan sekadar angan belaka.

Numpang narsis ya!

Baca juga: 
Cara mudah pahami Pajak UMKM (bagi yang baru ber-NPWP)

Cara mudah pahami PP 23 Tahun 2018 bagi yang sebelum 1 Juli 2018 sudah ber-NPWP baca di sini.

Cara mengajukan Surat Keterangan PP 23 Tahun 2018 baca di sini.



Rabu, 01 Agustus 2018

Bagian Ke-2 Cara Mudah Pahami PP 23 Tahun 2018

Hai Sobat UMKM! Di bagian pertama pembahasan sebelumnya kita telah memahami perbedaan tarif dan subjek antara PP 46 dan PP 23. Kita juga telah membahas jangka waktu diperbolehkannya menggunakan skema PPh Final PP 23 dan beberapa penyebab wajib pajak (WP) menggunakan dua skema perhitungan PPh dalam satu tahun pajak.

Di bagian kedua ini saya akan membahas tentang hal yang sering ditanyakan oleh WP UMKM yaitu:

SKB PP 46 atau Surat Keterangan PP 23?

Wajib pajak UMKM yang sebelumnya telah membayar PPh Final 1% memerlukan SKB (Surat Keterangan Bebas) PP 46 agar tidak dipotong PPh Pasal 21/PPh Pasal 22/Pasal 23 dari lawan transaksi. Jadi, tidak ada dobel pengenaan PPh atas satu objek yang sama. Namun realitanya, muncul beberapa kekurangan dalam pelaksanaan di lapangan yaitu:

1.Ada lawan transaksi yang tidak mau menerima SKB yang sudah dimiliki oleh WP UMKM sehingga tetap memotong atau memungut PPh. Atas pemajakan berganda ini sebenarnya WP bisa memperhitungkan kelebihan pembayarannya di SPT Tahunan. Namun, karena takut diperiksa, beberapa WP memilih untuk tidak mengakui kelebihan pembayarannya.

2.Wajib pajak harus mengajukan permohonan SKB per jenis PPh. Wajib pajak juga harus mengajukan legalisir SKB ke kantor pajak tempat terdaftar agar dapat digunakan oleh lawan transaksi. Proses ini dirasa cukup merepotkan WP. Selain itu, aturan yang meminta agar legalisir SKB dilakukan per invoice dan WP harus membayar PPh Final 1% sebelum menerima pembayaran terkadang menyulitkan WP dengan modal terbatas. Bayangkan saja betapa sibuknya WP yang bolak-balik mengantre di kantor pajak. Bayangkan pula misalnya ketika WP apes dan transaksi tiba-tiba batal padahal sudah terlanjur bayar PPh Final. Amsyong!

3.Ketidakseragaman pemahaman petugas akan saat dimulainya kewajiban PP 46. Aturan lama memang tidak serta-merta mewajibkan WP UMKM untuk menggunakan skema PPh Final di tahun pertama berdiri. Dibutuhkan saat satu tahun beroperasi komersial terlebih dahulu untuk menentukan omzet awal yang menjadi acuan dimulainya penerapan PP 46. Ini menyebabkan perbedaan pengambilan keputusan di beberapa unit kerja. Kesimpangsiuran informasi menyebabkan WP bingung kapan harus mulai mengajukan SKB.

4.Switching alias berganti-ganti metode. Nilai omzet di tahun lalu yang menjadi acuan menyebabkan beberapa WP yang omzetnya menempel tipis naik-turun di kisaran ambang batas nilai (4,8 miliar rupiah) harus berganti-ganti skema antara PPh Final dan tarif PPh Pasal 17. Salah-salah metode, WP berisiko diperiksa. Mengajukan SKB pun jadi ragu-ragu, mau pakai perhitungan yang mana?

Aturan PP 23 rupanya diterbitkan untuk mengurangi kelemahan di atas, SKB PP 46 digantikan dengan Surat Keterangan PP 23. Cara mengajukannya relatif mudah. Wajib Pajak tinggal mengisi formulir permohonan surat keterangan dan melampirkan dokumen pendukung seperti:

1.SPT Tahunan tahun sebelumnya dan tanda terima SPT Tahunan (bagi WP yang telah berkewajiban di tahun mengajukan permohonan). Ini diperlukan untuk mengecek omzet di tahun pajak sebelumnya apakah masuk kriteria atau tidak. Wajib pajak baru tidak perlu melampirkan dokumen ini, bisa digantikan dengan fotokopi SKT (Surat Keterangan Terdaftar) untuk memudahkan petugas peneliti mendapat informasi awal bahwa belum ada kewajiban menyampaikan SPT Tahunan.

2.Dokumen pendukung lain yang menunjukkan jenis usaha atau sumber penghasilan seperti salinan kontrak kerja, perjanjian kerja sama, invoice, order pembelian, dsb. Ini diperlukan untuk membantu petugas meneliti apakah jenis usaha tersebut masuk ke dalam kriteria penghasilan dari usaha sesuai PP 23.


Contoh Permohonan Surat Keterangan

Apabila WP sudah pernah mengurus SKB PP 46 sebelumnya maka tidak perlu mengajukan Surat Keterangan. Hal ini disebabkan aturan peralihan mengatur bahwa fungsi SKB PP 46 yang dimiliki di tahun 2018 dipersamakan dengan Surat Keterangan, namun sifatnya masih hibrida. Maksudnya bagaimana?

Begini, secara normal Surat Keterangan digunakan agar lawan transaksi yang akan memotong atau memungut PPh Pasal 21/22/23 tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh tersebut (mirip SKB PP 46). Tetapi jangan lupa, atas Surat Keterangan tersebut lawan transaksi wajib memotong atau memungut PPh Final sebesar setengah persen. 

Nah, karena aturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pemotongan dan pelaporan PPh Final oleh lawan transaksi ini belum terbit, aturan peralihan mengatur sepanjang WP bisa menunjukkan ia telah membayar setengah persen kepada lawan transaksi maka ia tak perlu dipotong atau dipungut PPh apapun. Skema ini mirip SKB PP 46. Inilah yang saya sebut hibrida alias setengah-setengah. Tapi ini hanya berlaku selama belum ada PMK yang mengatur PP 23. Jangan lupa, aslinya aturan ini ya lawan transaksi wajib memotong atau memungut setengah persen PPh Final.

Surat Keterangan ini mengakomodir beberapa hal yang dikeluhkan WP. Artinya, pemerintah menangkap keresahan WP dan merespons positif masukan dari para pelaku usaha, seperti:

1.Pengajuan permohonan Surat Keterangan dilakukan sekali saja, tidak per jenis PPh. Juga tidak perlu lagi melegalisir seperti pada aturan SKB PP 46. Cukup memberikan salinan Surat Keterangan ke lawan transaksi. Tak perlu sering-sering ke kantor pajak.

2.Berkurangnya potensi lebih bayar, rasa waswas akan diperiksa, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan tarif yang digunakan oleh pemotong atau pemungut tadi sama-sama setengah persen. Wajib pajak tak perlu repot membayar sendiri PPh Final. Ini kondisi ideal ketika nanti aturan PMK yang baru sudah terbit dan lawan transaksi (terutama bendahara) telah disosialisasikan tentang petunjuk teknisnya.

3.Bagi WP baru tak perlu menunggu satu tahun beroperasi komersial. Ia bisa langsung menikmati tarif setengah persen dan mengajukan Surat Keterangan ke kantor pajak tempat terdaftar.

4.Berakhirnya rezim gonta-ganti metode penghitungan PPh. Sekali omzet WP di atas 4,8 miliar rupiah maka di tahun berikutnya wajib menggunakan pembukuan. Apabila omzet di tahun berikutnya di bawah nilai itu maka tak boleh lagi menikmati fasilitas PPh Final setengah persen. WP tak perlu mengajukan Surat Keterangan. Ini memberikan kepastian hukum bagi WP.

Kiranya ada hal yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah agar seperangkat aturan pelaksanaan PP 23 ini secepatnya diluncurkan. Jangka waktu pemrosesan Surat Keterangan belum diatur sehingga menimbulkan perbedaan di lapangan. Selain itu, sosialisasi masif kepada lawan transaksi (terutama bendahara) sebagai pemungut atau pemotong juga diperlukan agar WP UMKM (lagi-lagi) tidak direpotkan dengan kelebihan bayar akibat dobel pengenaan pajak.

Yang terakhir, saya menitip pesan kepada seluruh pelaku usaha UMKM di Indonesia untuk tetap optimis dan menaruh kepercayaan kepada Ditjen Pajak. Perubahan adalah katalisator kemajuan zaman. Tidak bisa instan tetapi bukan tidak mungkin. Manfred Kets de Fries mencatat, “Salah satu penghalang manusia memperbaiki diri adalah karena kita adalah produk masa lalu.” Bersabar dan terus belajar sepanjang proses perubahan adalah salah satu cara untuk lolos dari belenggunya.

* * *

Bagian pertama klik di sini.

Bagian ketiga (untuk wajib pajak baru) klik di sini.

Baca juga : Agar Setengah Persen Sepenuh Hati

Tulisan ini dibuat sebelum PMK-99/PMK.03/2018 yang mengatur lebih detil tentang aturan pelaksanaan PP 23. Menurut PMK tersebut, syarat yang perlu dilampirkan dalam pengajuan permohonan Surat Keterangan adalah salinan SPT Tahunan Tahun Pajak terakhir saja.