Minggu, 18 November 2018

Selarik Sinar Merah di Dahinya

Wisam termangu. Matanya sesekali melirik ke bangku kosong di sebelahnya. Ia menghela napas. Nasir pasti sedang bergembira sekarang, pikirnya sejurus kemudian. Ia merindukan bocah kecil itu, teman sebangkunya yang rendah hati. 

Baginya Nasir selalu seperti mentari yang memancarkan cahayanya. Ia teringat momen-momen saat mereka belajar kelompok, atau saat ia bertanya tentang pelajaran yang tak dimengerti. Anak itu selalu punya jawabannya. Dia memang seperti kamus berjalan. Pantas jadi kesayangan semua murid dan guru.

Wisam suka bermain bola dan berlatih kung fu bersamanya. Juga menghapal Quran. Soal yang satu itu semangat Nasir sulit ditandingi. Tak habis-habis ia mengagumi sahabatnya itu.

* * *

“Assalamualaikum!” suara putranya seperti terngiang-ngiang di telinga Samah. Ia masih ingat betul tatapan matanya sebelum pamit berangkat.

Sebelum pergi Nasir masih menyempatkan membantu pekerjaan rumah. Punggung Samah yang bermasalah memang membuatnya agak kesulitan bergerak. Beruntung putra-putrinya benar-benar jadi penyejuk mata. Islam dan Duaa, kedua kakak perempuan Nasir rupanya memberikan teladan yang baik baginya. Lelaki kecilnya itu ringan tangan membantunya. Prestasi di sekolahnya juga membanggakan.

“Aku ingin ikut aksi, Bu,” ucapnya suatu ketika. Kala itu pawai kepulangan akbar akan digelar setiap Jumat. Islam dan Du’aa bergabung menjadi relawan medis. “Aku bisa membantu apapun yang dibutuhkan kakak, membawa tandu, menyiapkan obat-obatan, dan lainnya.”

Samah paham, keinginan putranya itu tak bisa dilawan. Saat itu ia teringat firman Allah SWT, ”Katakanlah: ‘jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Quran Surat At-Taubah ayat 24)

Saat mengiyakan keinginan putranya, ia sempat meminta, “Berjanjilah padaku untuk berada di sekitar tenda!” Itu adalah tempat pos tenaga medis. Letaknya di sebelah timur kota Khan Younis, sekitar setengah kilometer dari perbatasan Israel. Samah merasa itu adalah tempat yang cukup aman, meski ia sadar dalam kondisi perang seperti itu tak ada tempat yang benar-benar aman.

Setiap orang bisa saja terbunuh dalam kondisi terbaring di atas ranjang sekalipun, entah karena serangan misil Israel atau ledakan gas beracun. Ia tahu putranya yang bercita-cita menjadi hafidz sudah mempelajari makna ayat: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Quran Surat At-Taubah ayat 41)

Maka ia mencoba membesarkan hati setiap kali pria kecilnya pergi. Seperti juga Jumat pagi di Bulan September itu. Dia akan pulang seperti biasanya ketika senja tiba. Lalu ia akan menceritakan pengalamannya seharian dengan mata berbinar, kadang dengan mata sendu ketika melihat para syahid. Dia memang bocah yang cerdas dan lebih cepat dewasa.

“Kalau besar nanti, aku akan jadi dokter. Aku akan menjadi relawan medis di perbatasan. Dan aku akan mengobati punggungmu juga, Ibu!” janjinya. Matanya menerawang jauh. Samah tersenyum lebar. Hatinya sejuk mengaminkan.

* * *

“Nasir! Ambilkan kotak P3K!” Islam berteriak di antara bunyi desingan peluru dan ledakan bom. Asap hitam mengepul di udara. Ban-ban bekas yang terbakar menggelinding di kejauhan. Layang-layang dan balon berisi gas membumbung tinggi ke udara.

“Nasir! Nasir!”

Bocah kecil itu tersentak. Gegas ia mengambil kotak P3K di lemari penyimpanan. Kaki kecilnya berlari kencang menuju arah suara kakaknya. Di antara kobaran api dan gulungan asap tebal, ia berhasil melihat sosok gadis itu. Seperti juga hari-hari sebelumnya, keringat dan ceceran darah mewarnai jas putihnya.

Nasir mengulurkan kotak itu kepada kakaknya. Islam tersenyum. Detik berikutnya ia sudah tenggelam dalam kesibukan merawat korban-korban yang terluka. Adiknya pasti sudah kembali ke tenda, pikirnya. Sudah berbulan-bulan ia membantu membawakan perlengkapan medis di perbatasan dan adiknya selalu baik-baik saja. Ia sudah berjanji pada ibunya akan selalu menjaga adiknya. Tapi ia tahu, di saat-saat seperti ini hanya Yang Maha Menjaga yang bisa dimintai pertolongan.

Ia baru terpikir untuk mencari adiknya setelah selesai merawat demonstran yang cidera. Janjinya kepada ibunya memburu. Perasaan aneh tiba-tiba menyergap. Setengah panik, ia berteriak-teriak memanggil Nasir. Du’aa pun turut membantunya.

Dua jam kemudian, ia menemukan adik bungsunya di Rumah Sakit Gaza Eropa.

* * *

“Assalamualaikum!” suara putranya seperti terngiang-ngiang di telinga Samah. Ia masih ingat betul tatapan matanya sebelum pamit berangkat.

Putranya telah kembali pulang. Dadanya gemuruh. Kepedihan berkecamuk di hatinya. “Innalillahi wa innailaihi raa ji’uun,” air matanya meleleh. Mereka telah menemukannya di ruang jenazah rumah sakit.

Peluru itu tidak menyasar sembarangan. Yasser Abu Khater, salah seorang pengunjuk rasa berkata, “Seberkas sinar laser melewati kami dan mengarah tepat ke kepala anak itu ketika dia berlari.” Sniper Israel rupanya sudah putus asa menarget pejuang dewasa dan paramedis. Anak-anak adalah sasaran paling empuk.

Maut menghampiri Nasir ketika dia hendak kembali ke tenda. Selarik sinar merah itu telah memandu penembak jitu Israel untuk menarik pemicunya dan mencabut nyawa bocah sebelas tahun itu.

* * *

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Quran Surat Ali Imran ayat 169-170)

Wisam termangu. Matanya sesekali melirik ke bangku di sebelahnya. Sebuah karangan bunga plastik diletakkan di situ. Selembar foto sahabatnya yang sedang tersenyum bertengger di atasnya. Tulisannya terpampang nyata, “Syahid: Nasir Azmi Mishbah”.

Sumber
(Tulisan ini diadaptasi dari kisah nyata syahidnya Nasir Mishbah yang menjadi target penembak jitu Israel pada 28 September 2018 lalu pada pawai kepulangan akbar. Aksi demonstrasi ini dimulai sejak 30 Maret 2018 lalu dan masih berlangsung hingga kini.)

Tentang aksi pawai kepulangan akbar selengkapnya bisa dibaca di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^