Sabtu, 03 November 2018

Helium

Oleh: Edmalia Rohmani
Editor: Riza Almanfaluthi

Penjual balon itu tak menyadari bahwa sedari tadi sepasang mata selalu mengawasi gerak-geriknya. Trik cerdiknya melepas beberapa balon untuk menarik perhatian pelanggan kecilnya ternyata cukup berhasil. Tinggal tersisa beberapa balon saja. Saat ia memutuskan untuk berkemas-kemas, seorang bocah berkulit hitam menghampirinya.

"Tak adakah balon hitam yang bisa diterbangkan? Apakah balon berwarna hitam tak bisa terbang ke angkasa?" ia bertanya dengan mata berkaca-kaca. Saat itu akhir dekade 60-an, diskriminasi ras masih lestari di beberapa negara bagian Amerika.

Mendengar pertanyaan itu sang penjual tersenyum. Seketika ia mengambil sebuah balon berwarna hitam, memompanya penuh-penuh dan mengikatkan seutas benang pada pangkalnya.

"Kenapa berpikir ia tak bisa terbang karena berwarna hitam? Yang membuatnya terbang adalah isinya, bukan warnanya," hiburnya sambil memindahkan balon hitam ke tangan mungil itu. Mata anak itu bersinar-sinar. Baginya, jawaban itu sangat tak tepermanai.



Beberapa dasawarsa sebelumnya, tepat setelah masa perang dunia pertama, para ilmuwan masih menjadikan metode Stanford-Binet sebagai standar penilaian kecerdasan. Parameter tunggal yang saat itu digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Amerika, terutama karena pengaruh Lewis Terman, seorang profesor muda dari Stanford University. Ide ekstrimnya kadang mengundang kontroversi, seperti melarang seseorang ber-IQ rendah untuk memiliki anak dan pemberian jabatan penting semata-mata dari skor inteligensi yang tertinggi.

Suatu ketika, ia mengamati seorang anak laki-laki yang bekerja sebagai pramubakti di sebuah sekolah dekat universitasnya. Henry Cowell, nama anak itu, diam-diam sering menyelinap ke ruang seni musik sehabis jam bekerja untuk memainkan piano dengan alunan musik sangat indah, yang dipelajarinya secara otodidak.

Ketika mendapati skor IQ Cowell 140, sebuah kesadaran menyergap Terman. Berapa juta mutiara terpendam berserakan di luar sana yang akan tersia-sia? Cemas dengan hal itu, ia bertekad melakukan sesuatu.

Selama puluhan tahun kemudian, ia mendedikasikan diri untuk mengumpulkan anak-anak semacam Cowell dan mempelajari kehidupan mereka. Lebih dari seribu anak dengan rentang IQ 140-200 menjadi subjek penelitiannya yang bersejarah.   

Para "Termites", sebutan mereka, senantiasa diawasi, diuji, dan dianalisis hasil penilaiannya. Berbagai capaian akademisnya dicatat, begitu pula dengan kehidupan pribadinya. Kesehatan fisik dan psikisnya selalu dipantau, dengan tabel dan beragam catatan. Terman bahkan menuliskan surat rekomendasi saat mereka mencari pekerjaan atau kuliah pascasarjana.

Ia mendokumentasikan jurnalnya dalam sebuah buku tebal berjudul Genetic Studies of Genius. Dalam pandangan visionernya, para "Termites" akan menjadi kelompok elit yang menguasai berbagai lini kehidupan dan mengubah wajah dunia. 

Faktanya, ketika para subjek penelitian itu dewasa, hanya beberapa saja yang mempunyai pengaruh nasional. Tidak ada satupun yang berhasil memenangkan hadiah Nobel. Bahkan, Terman sendiri menilai beberapa dari mereka menemui kegagalan.

"Kita telah melihat," ungkapnya kecewa, "bahwa kecerdasan intelektual dan keberhasilan sangat jauh hubungannya." Kesimpulan ini menutup penelitiannya dan menahbiskan lindapnya lema "jenius" pada buku Genetic Studies of Genius jilid keempat.

Hipotesis Terman yang patah seakan memaksa kita kembali ke kisah pertama. Apakah "isi" dari balon yang sebenarnya menjadi bahan kesuksesan? Benarkah keunggulan hereditas atas inteligensi bukan tiket satu-satunya dalam melambungkan hidup seseorang?

Bahkan setelah hampir dua puluh tahun sejak pergantian milenial, kita masih terpesona dengan paradigma lama tentang faktor pencetus keberhasilan. Ketergesaan dalam mengecap seseorang berdasar satu atau dua penilaian tentu berbahaya, apalagi coba-coba meramal masa depannya berdasarkan satu atau dua digit angka. 

* * *

Mungkin kita bisa belajar sedikit dari kisah hidup Oprah Winfrey. Tumbuh dengan latar belakang orang tua yang bercerai, membuatnya terlibat kenakalan remaja dan gemar kabur dari rumah. Menjadi objek pelecehan seksual kerabatnya selama lima tahun membuatnya hamil di usia muda. Pada umur 14 tahun ia melahirkan bayi yang hanya mampu bertahan hidup dua pekan saja.

Hampir frustrasi dan pesimis melihat masa depan putrinya, sang ibu lalu mengirimnya pada sang ayah yang mantan militer. Sejak itu ia menjalani hidup seperti tentara. Tak ada waktu bersantai. 

Didikan yang keras memaksanya bertransformasi. Berhasil meraih predikat pelajar teladan, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Debutnya bermula saat menjadi penyiar radio lokal di usia 17 tahun. Dua tahun kemudian, sebuah stasiun televisi mengorbitkannya sebagai wanita berkulit hitam pertama yang menjadi penyiar berita di stasiun televisi itu.

Medio 2017, Forbes mencatat kekayaannya mencapai Rp38 triliun, menjadikannya wanita Afro-Amerika terkaya di dunia. Ia adalah ratu acara bincang-bincang di TV, pemilik jaringan TV kabel, penerbitan majalah, rumah produksi, program TV, dan satelit radio sendiri.  

Ketika ditanya rahasianya ia membocorkan, "Rahasia terbesar dari kehidupan adalah tak ada rahasia. Apapun tujuannya kamu akan bisa mencapainya bila tak pernah berhenti berusaha."

The Giving Back Fund Foundation memberinya gelar selebritas paling dermawan. Tak kurang dari Rp536 miliar digelontorkannya untuk program pendidikan dan perlindungan wanita dan anak-anak. Hingga kini badan amal yang didirikannya telah menghabiskan jutaan dolar untuk membiayai sekolah di negara miskin di Afrika.

Baginya, berbuat baik adalah satu cara untuk membawa kebaikan bagi diri sendiri, sekaligus berdamai dengan masa lalu. Ia telah berhasil mengisikan "helium" bagi kehidupannya. Sesuatu yang seringkali luput dari penilaian kita.

Lalu, alih-alih memenuhi "balon" dengan segenap kemampuan yang ada, kita seringkali menjadi permisif; mencari seribu satu alasan untuk memaklumi diri dan memaafkan untuk tidak mengisinya dengan paripurna. (ER/RZ)

Artikel ini telah ditayangkan pada majalah Intax DJP edisi April 2018.

Baca juga : Sosok Pegawai Teladan DJP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^