Rabu, 14 November 2018

Paku di Dalam Gelas (1)

Menutup mata dan masih melihat langit-langit yang sama
Kaki memijak di bumi yang lain
Kesadaran tak pernah datang di detik yang sama
Aku waras
Justru di saat aku secara sadar menggila
Menggigit takdir yang makin hari makin liat
Mengunyah pagi dan memuntahkan malam menjelang tidur
Tapi tak pernah benar-benar tidur
Lelap adalah kemewahan tak terhingga
Ia menempati langit-langit rumah
Yang tak pernah benar-benar jadi rumah


* * *

“Jadi gimana hasil tesnya?”

Tiap mendengar pertanyaan itu tiba-tiba aku serasa jadi Kapten Colter Stevens yang masuk ke sistem Source Code dan memerankan Sean Fentress untuk diledakkan berkali-kali. Sial!

“Loh, Mbak kok bengong?” adik sepupuku yang umurnya lebih tua dariku tersenyum manis. Karena ayahku adalah anak tertua maka semua sepupuku dari keluarga ayah harus kupanggil “Dek”. Menggelikan.

“Semingguan ini aku sudah ditanya belasan kali oleh orang yang berbeda. Bete.”

Dia tersenyum, maklum.

“Aku dengar susah ya, si Nanda kan gak lulus tes CPNS juga Mbak.” Nanda itu nama adiknya, seumuranku tapi sudah lebih dulu menikah.

Ditanya begitu aku seperti keran yang diputar tuasnya. “Gimana gak susah, pertanyaannya aneh banget, masak soalnya begini: Misalnya kamu sudah janjian sama teman pergi nonton di malam Minggu, lalu tiba-tiba ibumu melarang, apa yang akan kamu lakukan?”

Dia tertawa terbahak-bahak. Nyaris tersedak. “Kalau udah gede ya bakal pilih jawaban untuk nyoba negosiasi dengan ibu. Tapi katanya yang jawab gitu malah kebanyakan gak lolos,” keluhku.

Lalu kupuas-puaskan cerita soal ini dan itu pertanyaan lain yang jawabannya mirip-mirip. Membikin pusing. Kurasa yang bisa lolos tes itu memang jenis manusia yang waktu kecil rajin minum susu dan menggosok gigi sebelum tidur. Manusia dengan spesifikasi khusus bernama penurut. Cocok sekali dengan profil aparatur sipil negara yang ideal.

Kukira aku bakal tertekan di hadapan adik sepupuku ini. Dia sendiri PNS, belasan tahun bekerja di institusi pengelola keuangan negara. Entah apa nama kantornya. Kurasa dia tak bakal tahu rasanya gagal ujian tes CPNS. Setelah lulus SMA dia langsung masuk STAN dan langsung penempatan. Mana dia tahu rasanya susah mencari kerja?

“Lalu passionmu apa Mbak? Maksudku, jujur nih, kukira jadi PNS bukan passionmu.”

Aku terdiam. Ternganga tepatnya. Di kampung ibuku menyalahkanku karena tak lolos ujian ini. Begitu juga tante dan om yang tinggal dekat rumah. Ayahku mendiamkanku selama seminggu. Semalam Pakdhe menasihatiku panjang kali lebar dan mengkritik habis-habisan gaya hidupku yang katanya bohemian. Dan dia, yang PNS dengan karir yang mulus tanpa cela malah bertanya tentang passion?

“Yah, kau tahu, sebenarnya kan aku masih jadi konsultan freelance di butik punya teman. Juga jualan online di medsos. Per minggu omzetku bisa sampai dua jutaan lah.”

Dia mengangguk sambil mengulum senyum.

“Itu karena kekurangan bahasa kita dalam mendefinisikan kata 'bekerja',” jelasnya. Matanya berbinar terang. Aku jarang bertemu adik sepupuku yang beranak tiga ini. Selama bertahun-tahun, ini adalah kali pertama kami menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol. Dan dia langsung membuatku terpana.

“Di barat sana, mereka punya dua sebutan untuk bekerja: work dan job. Work tak memerlukan posisi, tak menempel pada jabatan dan hirarki. Sebaliknya dengan job. Taulah, orang tua kita adalah generasi baby boomers. Mana mereka tahu bedanya work dengan job, sebab definisi bekerja bagi mereka hanya satu. Duduk manis di kantor dan berpakaian rapi. Sekian dan terima gaji. Hihihi.”

Aku terkikik. Tak terpikirkan olehku soal ini. Sehari-hari sejak lulus kuliah memang aku fokus jualan online dari rumah. Aku bahkan tak perlu ke kota sebelah untuk kulakan baju dagangan. Semua beres dengan sistem dropship. Dan kalau temanku butuh bantuanku mengatur butiknya, aku tinggal video call atau koordinasi via whatsapp. Habis perkara.

Tapi ibu dan semua orang di rumah tak ada yang mengerti. Begitu juga pakde tempatku semalam menginap di kota besar ini. Semua berharap aku lulus tes CPNS di ibukota dan mendapatkan posisi yang mapan. Celakanya, lapangan pekerjaan yang ada di kota kecil kami tak selalu sesuai dengan spesifikasi keahlianku.

“Aku sering terbangun sambil mengeluh, kenapa masih harus menjalani hidup sehari lagi dalam keterasingan. Di rumahku sendiri aku terbelenggu. Ibu tak membolehkanku cari kerja di kota lain. Kecuali untuk jadi PNS. Dan itu kan susah banget. Saking putus asa, pernah terbersit keinginan untuk mati saja.”

Sepupuku terdiam. Dia mengelus-elus bahuku lalu menggenggam tanganku erat.

“Aku tak tahu untuk apa aku harus dilahirkan kalau hanya untuk dicerca setiap hari. Apa hak mereka mengkritikku habis-habisan, bahkan tanpa pernah bertanya apa yang sudah kulakukan?” aku tak tahan untuk menumpahkan segalanya, sambil meraung-raung. Tak kupedulikan orang-orang di kedai yang mulai memerhatikan kami.

Kubiarkan diriku menangis tersedu di pelukan sepupuku. Di saat seperti ini, badannya yang gemuk dan bahunya yang empuk sangat memberikan kehangatan. Dan dia tidak menyalahkanku.

“Seperti paku. Kata-kata yang tajam itu seperti paku. Ia menancap dalam lalu menorehkan luka. Meski dicabut, tak lantas lubang jejak paku itu akan menutup dengan sempurna. Pasti akan membekas,” ujarnya lirih. Aku tertegun.

“Pernah suatu ketika aku update status di medsos, lagi main ke pantai menghirup udara segar, setelah sebulan sebelumnya mencoba membenamkan diri di bak mandi. Sumpah, di pantai itu rasanya aku ingin menenggelamkan diri lagi. Tapi aku tahan-tahan. Eh, ada yang komentar, ‘Kerja, kerja! Main terus!’ Memangnya aku ke pantai pakai duitnya apa? Apa haknya menghakimiku seperti itu? Dia tahu apa sih tentang hidupku?” isakku getir.

Sepupuku mengelus-elus bahuku.

“Aku bahkan pernah sampai di titik tak mau beribadah lagi. Aku merasa sudah salat, sudah baca Quran, tapi kenapa hidupku masih begini-begini aja? Lihat temanku, dia gak pernah salat, kerjaannya clubbing, hidupnya baik-baik aja, punya kerjaan tetap dan punya pacar. Sedangkan aku?” Aku sadar memang aku jones: jomblo ngenes.

_Bersambung ke Bagian 2_

2 komentar:

  1. Menurutku, narasinya bagus. Dialognya bagus. Tapi kesan keduanya berbeda. Dialognya luwes, terkesan akrab, merangkul, sementara narasinya puitis sangat, formal. Tinggal ngeblend dua hal itu, Kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, aku kurang feel free menarasikan. Mau pakai bahasa slang tapi masih malu-malu Mas Pring. Tengkyuuu dah komen di mari :)

      Hapus

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^