Jumat, 11 Januari 2019

Jalan Panjang Pajak Dagang-El Indonesia

Sumber
Salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia, Morgan Stanley memperkirakan industri digital akan meroket di Indonesia. Dilansir dari okezone.com, Head of Indonesia Research di Morgan Stanley, Mulya Chandra mengatakan bahwa digitalisasi melalui tiga pilar utamanya yaitu perdagangan elektronik, uang elektronik, serta teknologi finansial akan menjadi faktor kunci naiknya nilai ekonomi Indonesia.

Selanjutnya, ia memperkirakan persentase penjualan perdagangan elektronik akan mencapai 19% dari total aktivitas ritel pada tahun 2027. Nampaknya ini bukan proyeksi yang berlebihan sebab menurut katadata.co.id, penjualan ritel perdagangan elektronik Indonesia juga diperkirakan mencapai USD16,5 miliar atau sekitar Rp219 triliun pada 2022.

Maka, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) Tahun 2017-2019 perlu mendapat perhatian khusus. Peta Jalan SPNBE 2017-2019 adalah dokumen yang memberi arahan serta langkah-langkah penyiapan dan pelaksanaan perdagangan yang transaksinya berbasiskan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

Peta Jalan SPNBE 2017-2019 sebagaimana dimaksud mencakup program: a. Pendanaan; b. Perpajakan; c. Perlindungan konsumen; d. Pendidikan dan sumber daya manusia; e. Infrastruktur komunikasi; f. Logistik; g. Keamanan siber; dan g. Pembentukan Manajemen Pelaksana Peta Jalan SPNBE 2017-2019.

Di dalam program perpajakan terdapat tiga poin penting yang menjadi acuan, yaitu: penyederhanaan pemenuhan kewajiban perpajakan; penyusunan tata cara pendaftaran bagi pelaku usaha perdagangan elektronik; serta persamaan perlakuan perpajakan. Pertanyaan pun mencuat, sampai di manakah perkembangan regulasi terkait poin tersebut?

Penyederhanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Pemerintah telah menerbitkan aturan PP 23 Tahun 2018 yang memberikan sejumlah fasilitas bagi pengusaha UMKM. Karena hingga saat ini belum ada perbedaan perlakuan antara perdagangan konvensional dan elektronik, maka aturan ini juga menyasar pelaku usaha perdagangan elektronik dengan omzet di bawah 4,8 miliar rupiah.

Selain menerbitkan aturan pajak UMKM, pemerintah juga merancang aturan pajak dan investasi untuk perusahaan rintisan, yaitu:

a.Memberikan insentif bebas Pajak Penghasilan (PPh) kepada perusahaan modal ventura yang mendanai startup tanah air. Laba badan usaha yang diterima nantinya tidak akan diperlakukan sebagai objek PPh.

b.Menaikkan batas maksimal penjualan bersih dari UKM dan startup yang bisa menerima pendanaan dari perusahaan modal ventura, yang sebelumnya 5 miliar rupiah menjadi 50 miliar rupiah.

Penyusunan Tata Cara Pendaftaran Bagi Pelaku Usaha Perdagangan Elektronik

Tingkat anonimitas yang tinggi dari pelaku perdagangan elektronik adalah permasalahan pertama. Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah mengecek 1500 data wajib pajak terkait perdagangan elektronik yang diperoleh melalui internet. Sayangnya, dari jumlah itu hanya seribu pelaku usaha yang sudah ber-NPWP. Dari jumlah itu, baru setengahnya yang telah menyampaikan SPT Tahunan dan masih perlu diteliti kebenarannya (Ririn Puspita Sari, 2018).

Sebenarnya, karakteristik ini bisa terpecahkan apabila semua pelaku usaha perdagangan elektronik telah terdaftar pada Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Terkait pendaftaran pelaku usaha elektronik sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Hanya saja, perlu dibuat aturan lebih rinci tentang mekanisme teknis, terutama bagi pelaku usaha perorangan yang kerap kali lepas dari pengawasan dan kurang terdukasi.

Nantinya, apabila semua pelaku usaha telah teregistrasi dalam satu sistem, akan memudahkan memonitor dan memberikan informasi pemenuhan administrasi berusaha dan kewajiban perpajakannya. Kejahatan di dunia perdagangan elektronik juga akan dapat dicegah. Pemantauan dengan pelaku perdagangan elektronik lintas batas negara tentu akan makin mudah.

Persamaan Perlakuan Perpajakan  

Dalam sebuah acara dengar pendapat dengan Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) di awal tahun ini, ada dua pokok pemikiran yang disuarakan oleh mereka terkait rancangan peraturan pemajakan perdagangan elektronik. Pertama, meminta uji publik sebelum beleid tersebut diterbitkan agar dapat diberikan masukan dari para pengusaha. Hal ini merupakan respons atas rencana menjadikan marketplace sebagai agen pajak. Mereka khawatir ini akan menambah beban pekerjaan dan biaya kepatuhan pajak.

Kedua, mereka juga meminta agar aturan ini juga mengatur platform lain seperti media sosial dan grup percakapan yang belum masuk rancangan peraturan. Persamaan perlakuan perpajakan ini merupakan isu penting sebab apabila azas keadilan tidak terpenuhi, akan terjadi demoralisasi bagi wajib pajak yang patuh.

Masalah keadilan ini bukan hanya isu bagi pelaku usaha berskala nasional, di forum internasional semacam G20 juga telah disampaikan inisiatif Menteri Keuangan Prancis dan negara-negara Eropa untuk melakukan pemajakan ekonomi dan perusahaan digital.

Guardian dalam laporannya beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa perusahaan raksasa teknologi dunia hanya membayar kurang dari setengah nilai pajak perusahaan batu bata dan mortir. Bisnis digital dengan lingkup operasi internasional biasanya membayar pajak 10,1 persen di Uni Eropa dibandingkan perusahaan-perusahaan tradisional yang dikenakan pajak 23,2 persen. Laporan itu juga memperlihatkan banyak perusahaan teknologi yang membayar pajak jauh lebih sedikit dibandingkan pesaing mereka.

Kondisi ini memberikan gambaran bahwa menciptakan arena bisnis yang berkeadilan adalah sebuah tantangan tersendiri. Pemerintah perlu menyatukan semua elemen birokrasi dari sistem perdagangan, telekomunikasi dan informatika, perbankan, dan menggaet sebanyak mungkin perusahaan payment gateway sebagai pihak ketiga yang turut berperan dalam sistem pembayaran lintas negara.

Beberapa Catatan di Era Reformasi Perpajakan


Di era reformasi perpajakan ini, ada beberapa langkah optimalisasi yang sedang dan akan berjalan di tubuh Ditjen Pajak:

1. Pengolahan data perbankan nasional yang telah masuk per April 2018 dan perbankan asing per September 2018 nanti;

2. Pengawasan data faktur dengan lawan transaksi non-NPWP dan pembayaran PPh Pasal 26 atas jasa luar negeri;

3. Pemanfaatan teknologi sistem Sosial Network Analytics (Soneta) yang dapat merekam perilaku wajib pajak terutama terkait kegiatan ekonomi di media sosial;

Otoritas pajak perlu memperbanyak edukasi melalui perkumpulan atau asosiasi pelaku perdagangan elektronik untuk menumbuhkan kesadaran membayar pajak dan sosialisasi teknis pemenuhan kewajban perpajakannya.

Pemerintah juga perlu merangkul sebanyak mungkin perusahaan payment gateway sebagai pihak ketiga yang turut berperan dalam sistem pembayaran elektronik. Dengan memperkuat pilar sistem informasi dan basis data, jalan panjang menuju perpajakan perdagangan elektronik niscaya akan menemukan titik terang. Dan pemajakan yang berkeadilan bagi para pelaku niaga daring bukan lagi khayalan.

*Artikel ini telah ditayangkan pada laman www.pajak.go.id pada tanggal 12 September 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^