“Api nyala begitu rupa
Membelit-belit luka
Mulut nyinyir bau anyir
Tak kuasa melawan takdir
Takdirku, takdirmu
Berpeluh kelu tergelincir di lorong waktu
Menghempas kita di ujung masa
Memaksa cinta menguruk duka
Dalam
Kelam
Buram
Seburam matamu di pinggir senja
Menatap lekat jiwaku yang meranggas
Habis kau bakar dalam gelas”
Satu-satu kusesap habis minuman itu. Pahit. Biarlah,
aku tak peduli. Berharap pahitnya mengalahkan derita selepas dia pergi.
“Claraaaa….,” panggilan ibu menggema dari balik
pintu. Sesekali gedorannya menggetarkan mejaku, namun tetap tak mampu membuatku
beranjak.
“Sudah malam, obatnya jangan lupa diminum!” ibu
menyerah akhirnya. Meninggalkanku dalam ritual setiap malam, menghempaskan sebutir
lagi pil harapannya ke tong sampah. Aku tersenyum lega. Satu hari berlalu lagi
tanpa perlu menenggaknya.
Sumber |
Lalu kuteruskan lagi ritualku berikutnya. Mengukir
sebuah nama di atas kertas-kertas yang berserakan, puluhan mungkin ratusan. Sesekali
kutorehkan prosa atau puisi, mengenangnya sebelum pergi. Lalu kutambahkan
bergelas-gelas lagi hingga tuangan terakhir. Berharap minuman ini bisa
melarutkanku dalam mimpi. Sayangnya mataku tak kunjung lena dan waktu terus
saja merangkak. Desau angin di luar jendela merangak.
Bosan.
Clara, minum obatnya.
Clara, jangan bikin ulah.
Clara, kerjakan tugas kuliah-mu.
Clara, jangan minum-minum lagi.
Clara, sana pergilah terapi.
Bukan terapi yang kuperlukan, Ibu. Tapi belaian
dan kasih sayangmu. Bosan aku berputar-putar di dunia ini seperti siput. Menanggung
beban di punggungku. Beban itu bernama ibu.
Bukan, bukan mendiang ibu yang namanya kupatri di
kertas-kertas tadi. Tapi ibu baru yang hanya bisa menyeretku ke ruang psikiatri.
Jumlah kata : 233 kata
Notes : Untuk semua ibu di dunia, ingatlah
putrimu adalah mutiara :)
duh sedih :(
BalasHapusIya, lagi melow nih
HapusTrims ya sudah singgah n komen :)
kyaa sedoh mbak
BalasHapusIya mbak Masya :"(
HapusTrims sudah mampir ya :)
Niiice :D
BalasHapusTengkyuh Mbak sudah singgah dan berkenan komeng :)
Hapus