Senin, 24 November 2014

BIG SECRET



Bagian ke-9 bisa dibaca di sini.

Kuedarkan pandangan yang buram ke sekeliling ruangan. Para pengawalku sudah pergi. Mungkin orang tua itu yang menyuruh mereka pergi. Antara lena dan jaga samar kudengar suaranya yang serak.

“Sudah sadar kau rupanya. Beruntung tubuhmu masih bisa merespon mantraku dengan baik.”

Sosok berjubah hitam itu bergerak-gerak, menimbulkan bayangan mengabur di mataku yang belum sepenuhnya normal. Bau tubuhnya yang renta seperti kayu lapuk, membuatku semakin mual.

“Kalau ingin muntah keluarkan saja. Kemungkinan besar sinar biru itu merusak sebagian sirkuit hologram di saraf pusatmu. Beruntung darah setengah Ennearhg masih mengalir di darahmu. Sebuah kutukan dan anugerah memang kadang tak jauh berbeda…,” bisiknya lagi. Bunyi tongkatnya sesekali terdengar, mengetuk-ngetuk lantai putih yang dingin, menimbulkan ketidaknyamanan di jaras dengarku.

Tunggu, sinar biru? Bagaimana dia…tahu?

“Kau lupa akulah yang diberkahi, yang bisa melihat masa depan, dan membaca apa yang tersirat dari mata seseorang. Sebuah berkah dan kutukan bagiku, karena tiap apapun keputusan yang kuambil, selalu ada korban di situ, yang tak mampu kuhindari, bahkan terhadap orang yang kukasihi sekalipun,” racaunya lagi.

Ah, dia selalu begitu. Ucapannya selalu terlampau dalam, terlalu tinggi untuk kucerna. Membuatku semakin pusing saja.

“Sudah kubilang untuk menghentikan ini semua. Dendam apa yang ingin kau balaskan Peter? Dari awal aku sudah mencegahmu menikahinya. Bahkan dari awal sudah kularang untuk mendekatinya. Tapi sifat keras kepalamu ini memang sepertinya sudah digariskan mengalir dalam darahmu. Setengah Ennearhg….”

“Diaaaaam! Jangan teruskan lagi! Jangan sebut aku setengah lagi! Aku Bjork murni! Aku tak terkalahkaaan!” tubuhku gemetar, kepalaku berdenyut-denyut.

“Sudah cukup semua penghinaan ini! Seumur hidup aku tak pernah diakui. Tidak sebagai Bjork, tidak juga sebagai Ennearhg. Mereka menciptakanku, tapi juga menistakanku! Setelah fajar ketujuh akan kubuktikan bahwa akulah Bjork sejati, yang terkuat dan akan menjadi pemimpin yang abadi. Semua legiun akan bertekuk lutut padaku. Terutama Tuan Muffrowl terkutuk itu. Akan kumusnahkan hingga seluruh klannya!” sumpahku bergema.

Sosok bungkuk itu mendekatiku pelan dan mendesis, “Bagaimana mungkin kau musnahkan akar dari kehidupanmu sendiri?”

Aku tercekat. Tudung kepala hitam yang terus menunduk itu lalu mendongak, memamerkan wajah setengah hangus setengah tak berbentuk yang menyeringai.

“Katakan! Katakan padaku wahai Slakve tua! Apa yang harus kulakukan untuk memenangkan pertarungan ini? Semua akan lebih mudah bila sebelum fajar ketujuh kuhabisi Keyra dan semua kroninya. Sayangnya kekuatanku masih lemah sedangkan waktuku semakin sempit. Bila sihir putih sepenuhnya sudah menyelimuti seluruh ibukota maka aku tak punya kesempatan lagi untuk memimpin Hepzeba. Semuanya akan direnggut oleh sang Komandan,” keluhku.

Tubuh Slakve tua itu lalu berlutut. Tangannya yang keriput bergetar ketika mengunjukkan sesuatu. Sebilah pedang laser berwarna biru.

“Hanya ada satu cara. Terimalah balas budiku kali ini.”

“Tidak. Sekarang belum saatnya kau mati. Aku masih memerlukan visi-visimu. Karena itulah aku dulu menyelamatkanmu. Kau tahu seharusnya aku menghabisimu karena telah membocorkan rencana-rencana kami…,” tolakku. Ingatan hari itu berkelebat di mataku. Tubuh baru Stephania  yang terbujur kaku, masih dalam pengaruh mantra Feamremorphia. Mantra itu harusnya memusnahkan jiwa Slakve tua itu juga. Tapi kuputuskan untuk menyelamatkannya, merekonstruksi ulang tiap kepingan tubuh dan jiwa yang bisa kutemukan. Satu hutang budi lagi yang harus dia balas di kemudian hari, tiap kali aku memintanya.

“Karena itulah aku tak ingin hidup lebih lama lagi. Terbelah-belah tanpa pernah kutahu berdiri di pihak mana. Terjebak dalam sumpah pengabdianku pada klan Muffrowl dan sumpahku untuk selalu menjagamu. Menyedihkan, aku bahkan tak kuasa menjaga putraku sendiri,” ujarnya getir.

“Tak cukupkah janjiku untuk selalu melindungi Zyreth sampai kapanpun juga? Tak cukupkah itu untuk ditukar dengan penglihatanmu?” 

Slakve tua itu lalu menghela napas, berat. Tubuhnya yang bungkuk seperti bergerak-gerak tak tentu arah.

“Kau tahu Peter, tak semudah itu menghancurkan Bjork Hybrida sepertimu. Kaummu adalah generasi baru, hasil teknologi rekayasa pendahulumu, para Bjork murni. Mereka sepertinya sudah membaca ramalan purba tentang kelahiran sang Putri Tunggal, juga eksistensi mereka yang di ambang kehancuran. Maka langkah antisipasi terakhir telah mereka tempuh. Malam dimana anak buah Tuan Muffrowl melepaskan tubuh mereka demi mencipta sihir itu, adalah malam dimana mereka melepaskan partikel hologram inti, untuk mengaktifkan kehidupan baru. Rezim lama musnah melebur menjadi peradaban baru. Bjork memang tak tertandingi. Dan kau satu…teristimewa karena darah yang mengalir di tubuhmu. Dengan suatu tipu daya mereka memperdayai Jenderal Muffrowl dan mensintesa nutfahnya. Itu membuatmu menjadi Hybrida terkuat, tentu saja selain Hybrida keturunan Jenderal Seringr yang lain –sang Komandan….”

“Tentu saja aku tahu semua itu. Jangan ceramahi aku lagi. Bosan aku mendengarnya. Siapa aku sebenarnya tak penting lagi. Dan jangan menyebut-nyebut sainganku itu…,” potongku tak sabar. Hatiku selalu kesal tiap kali Slakve tua bangka itu menyebut-nyebut sejarah itu.

“Kali ini kau harus dengar. Karena akarmu menentukan bagaimana ajalmu datang. Melepaskan tubuh Ennearhg takkan mempan lagi untuk membunuhmu. Satu-satunya cara adalah dengan memusnahkan Tuan Muffrowl. Jadi kuberi tahu satu hal, jangan pernah bunuh Tuan Muffrowl atau kau akan mati….”

Kali ini mulutku benar-benar ternganga. Sial! Tak kukira sepelik ini.

Tiba-tiba sebuah pencerahan terbersit di kepalaku, “Aku tak boleh membunuhnya, tapi aku bisa menjadikannya budakku. Sekarang tinggal bagaimana caranya memasuki benteng itu…,” otakku berpikir keras mencari jalan bagaimana caranya agar aku bisa memusnahkan Keyra dan kroninya tanpa melukai Tuan Muffrowl.

Tercipta jeda cukup lama. Hingga tiba-tiba sebuah panggilan masuk. Sebuah suara yang dulunya sering kudengar. Mengajakku untuk bertemu di sebuah tempat dimana dulu kami sering bertemu. Bukan, aku yang menemuinya ketika dia sedang sendiri, tanpa ada yang menemaninya. Hatiku ragu untuk membuka kanal saraf sensorikku, curiga bila ini jebakan. Namun akhirnya kuputuskan untuk membukanya juga, lebih karena meyakini intuisi bahwa inilah caraku menyusup ke dalam benteng mereka.

“Baiklah…aku segera ke sana,” ujarku menutup pembicaraan. Slakve tua menatapku curiga.

“Kau menjerumuskan dirimu lagi? Sia-sia semua yang kulakukan untuk menjauhkanmu dari kehancuran. Bukan visi-visiku yang sebenarnya bisa menyelamatkanmu Peter, tapi kebijaksanaanmu. Sayangnya tak bisa kuharapkan itu. Tidak dulu, tidak sekarang….”

“Hey, dia yang lebih dulu menghubungiku! Mungkin dia pikir aku masih mencintainya seperti dulu. Atau mungkin dia pikir bisa memperdayaku dan membunuhku dengan tipu muslihatnya. Dia masih saja naïf seperti dulu.”

“Bahkan bila kau tahu dia akan menggiringmu dalam kematian apakah kau akan mempersembahkan jiwamu di atas nampan?”

Cukup. Kali ini ucapan Slakve tua itu kelewatan. “Tua bangka!!”

“Kukira sampai di sini pengabdianku, Peter. Tak sanggup kuteruskan hidup untuk melihat kehancuran akibat keserakahanmu. Kutuntaskan semua hutangku padamu. Hutang untuk melindungi keluargaku dari kekejaman Bjork di masa pemberontakan dulu. Hutang untuk menjaga Zyreth. Juga hutang telah menyelamatkanku dari mantra Feamremorphia. Kukembalikan semua yang kupinjam darimu, agar tubuhmu yang lemah segera pulih dan mampu menghadapi perang besar itu sendiri. Tiada gunanya semua visiku bila itu tak bisa mengubah takdirmu,” ujarnya sendu.

Lalu kilatan-kilatan biru berkelebatan di hadapanku. Butuh beberapa detik saja untuk menjadikan dia abu.

“Zorphaaaaaaaaan!!” Teriakanku bergaung ke seluruh ruangan. Mataku nanar memandang pedang yang tergeletak di atas tumpukan debu. Sinarnya yang berwarna biru berpendar semakin terang, menandakan kekuatanku telah pulih seperti sediakala. Ah, apapun yang terjadi kini harus kuhadapi sendiri. Dasar Slakve tua bangka siaaaaal!!!


Credit

Tempat itu bernama Lembah kematian. Sebuah tempat yang sempurna untuk pembantaian. Kuyakini benar bukan hari ini akhir dari hidupku. Slakve tua itu benar, bukan visinya yang bisa menyelamatkanku, melainkan diriku sendiri. 

Udara di sini masih terasa ringan, tanda aman dari pengaruh sihir putih. Latar semburat warna-warni menghiasi langit di ujung dini hari, menambah sikap awasku. Kutegakkan badan dan kujejakkan kaki bersiaga ketika kutangkap sesosok tubuh wanita mendekat dari balik asap. Akhirnya dia datang juga, wanita yang dulu selalu kurindukan….

“Stephania”

Wajahnya yang cantik seperti ditelan murka. Inilah wajah sang Ruh yang dulu memikatku dan menjatuhkanku dalam luka. Luka karena dia memilih setia pada jiwa yang didampinginya. Luka yang membakar dendamku dan membuatku gelap mata.

“Sudah kuduga kau akan memakai segala cara untuk menghancurkan Keyra. Rupanya begitu kronisnya kebusukan hatimu menjalar. Aku tak peduli kau dari jenis Bjork atau Ennearhg. Tujuanku kali ini untuk mengakhiri semuanya. Semuanya Peter!”

Seulas senyum licik tersungging di bibirku. Datanglah cinta, menjemput mautmu. Tak ada yang tahu bahwa ada sebuah rahasia tentang mantra Feamremorphia. Sebuah rahasia yang kutahu dari Zorphan, dan kupegang erat sebagai kunci untuk memusnahkan wanita yang dulu kupuja ini.



Bagian ke-11 bisa dibaca di sini.



Bagian ke-12 bisa dibaca di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila berkenan sila tinggalkan jejak ya ^_^