Sumber |
Pertama kali Mama melihat
kutu-kutu yang melompat-lompat dari sela-sela rambutku, adalah sekitar sepuluh
tahun yang lalu. Matanya melotot, lalu serta-merta diacungkannya sebuah gunting
dan bertitah, “Mbok, potong pendek saja rambutnya!”
Aku merajuk setengah mati. Mbok Yem
gemetar menerima gunting, setengah takut pada Mama setengah kasihan padaku.
Mataku berkaca-kaca seakan memohon agar hal itu tidak pernah terjadi.
“Mbok,
jangan Mbok, aku tetap ingin punya rambut panjang, aku ingin bila bertemu Papa
kelak dia akan terpukau melihatku...,” tapi hanya dalam hatiku saja.
Tatapan mata Mama pada Mbok Yem sepertinya lebih tajam daripada bilah gunting
itu. Dan air mataku luruh seiring dengan helai demi helai rambutku yang jatuh.
Semenjak itu aku demam dan Mbok
Yem kelimpungan setengah mati. Gemas sebab Mama terlihat anteng-anteng saja,
namun tak berani menelepon Papa.
“Biarkan saja, Mbok. Kalau dia
merasa punya anak, dia pasti akan pulang kok. Nyatanya dia tak pernah pulang.
Anggap saja Ade gak pernah punya Papa.”
Mendengar itu, aku tak terima. “Aku punya Papa, Ma. Aku punya
Papa! Papa janji akan pulang menjemputku! Papa bilang akan membelikanku
sepasang ikat rambut kalau rambutku panjang dan sudah bisa dikuncir!” Tangisku
pun berubah menjadi raungan, kemudian berubah menjadi ronta ketika Mama
memerintahkan Mbok Yem mengurungku di kamar belakang.
Kejadian semacam itu semakin
sering, terutama bila Mama melihatku menggaruk-garuk kepala.
“Apa perlu digundul sekalian,
Mbok?” Aku yang mendengarnya langsung
tersedak. Tidaaakkk!!
Untunglah Mbok Yem sudah
menyembunyikan gunting laknat itu dan beralasan kalau lupa meletakkan dimana. Perkara
lupa ini juga tebakanku belaka sebab memang Mbok Yem sering lupa, misalnya lupa
meletakkan makanan di depan ruanganku dikurung atau lupa mengingatkanku untuk
mandi.
Sebab itulah semakin hari
kutu-kutu itu menguasai tubuhku. Jengkal demi jengkal dari rambut sampai ke
mata kaki. Hingga aku seperti salak raksasa yang bisa berjalan-jalan
bebas, tapi hanya dalam kamarku saja.
Mama semakin jijik melihatku.
Mbok Yem yang shock berat tak bisa
berkata apa-apa, sebab kejadian itu membuatnya dilarikan ke rumah sakit. Hilang
sudah sekutuku satu-satunya. Hilang sudah penyuplai sumber makanan untuk kusantap dan
penyedia telinga tempatku berkeluh-kesah.
Aku merasa hampa. Pada satu titik,
aku merasa hanya kutu-kutu itu yang bisa menjadi sahabatku satu-satunya. Ralat,
karena mereka banyak jadi bukan satu-satunya. Tiba-tiba kupikir akan sangat
menyenangkan jadi bagian dari mereka, atau mungkin aku bisa jadi Ratu Koloni
Kutu yang jumawa.
Sebab itu aku pasrah saja tanpa
daya ketika mereka menggigit dan mengisap darahku hingga kisut kulit dan
tulang-tulangku. Tak apa. Tak seorangpun peduli.
Samar-samar antara kesadaran yang
nisbi kulihat wajah Papa, seakan tersenyum padaku dan berkata, “Kemari, Sayang,
anak Papa yang baik. Papa mencintaimu meski kutahu kau bukan darah dagingku.
Papa akan selalu mencintaimu....”
Antara isak dan sengguk tiada
putus kusebut namanya. “Papa....Papa!”
Namun hanya suaraku menggema.
Lalu tiba-tiba sepasang sayap
halus dan berwarna-warni serupa bias pelangi menyembul dari sela-sela tulang
belikatku. Mengangkatku dari lantai retak yang kupijak, dari ruangan kumuh yang
kusebut kamar, dari bangunan megah yang kusebut rumah.
Aku tahu tak ada cinta di situ.
Sebab itu aku menjelma jadi kupu-kupu, mencari jalan menuju rumah sejatiku. Tempat di
mana cinta dan kehangatan seharusnya berpulang dan menjadi tungku.
Jumlah kata : 500 kata.