Tulisan ini dibuat bukan
semata-mata sebagai respon atas aksi lepas hijab seorang selebritas (semoga Allah SWT memberikan hidayah
kepadanya), meski kuakui hal itu memang memantik sebuah perenungan mendalam dan
memaksaku terlempar kembali ingatan saat-saat awal berhijrah dulu.
Keputusan berhijab adalah sebuah
lompatan terbesar dalam hidupku. Siapapun yang mengenalku di masa-masa remaja
mungkin sebagian besar berpendapat bahwa berhijab adalah sebuah pelarian atau kemustahilan
mengingat perilakuku di masa lalu. Tapi Allah SWT memang Maha Baik. Ketika Dia
berkenan membukakan jalan maka sesungguhnya tak ada yang tak mungkin.
Tak semua sejawat menerima
keputusan itu. Ibuku bahkan mengkhawatirkan kalau-kalau aku sulit mendapatkan
jodoh. Sebuah gambaran nyata bahwa pada masa itu di kampungku hijab memang tak
sepopuler sekarang, dan masih terbelenggu pemikiran bahwa hijab hanya untuk
perempuan-perempuan tua atau yang sudah pernah ke tanah suci.
Apakah hijab hanya diperuntukkan
bagi orang-orang suci? Adakah di dunia ini muslimah yang berjalan di muka bumi
tanpa membawa setitik pun dosa di dalam hatinya? Sesungguhnya telah lama aku
berlepas diri dari pemikiran seperti itu. Aku adalah seorang pendosa. Hari ini
dan esok pun aku berdosa. Tapi aku sungguh enggan menjadikan dosa-dosa itu
sebagai penghalang dari rahmat-Nya.
Satu-satunya hal yang bisa
kulakukan adalah berupaya agar Dia selalu mencintaiku. Dan aku ingin
membuktikan itu. Disebutkan dalam surat cinta-Nya, aku harus menutup aurat,
agar terang perbedaan dalam hal keimanan dengan yang bukan muslimah. Dan untuk
melindungiku dari pandangan yang jahat dan niat yang buruk. Keuntungan
selebihnya adalah bonus, misalnya efek kulit yang lebih terlindungi dan tidak
perlu repot-repot menata rambut, sehingga waktuku lebih efektif dan bisa
digunakan untuk hal-hal bermanfaat lainnya.
Yang jelas dengan berhijab
membuatku fokus pada karya yang dihasilkan dan menambah keyakinan bahwa
seorang muslimah bisa tetap eksis tanpa semata-mata menonjolkan kelebihan
fisiknya. Hijab memang menutupi fisikku, namun dia malah membuka semua
kesempatan yang ada dan menunjukkanku pada jalan yang lebih terang.
Momen hijrah berikutnya yang
paling berkesan adalah ketika ibuku juga memutuskan berhijab. Dan lompatan
beliau lebih jauh lagi. Keputusan itu membuatnya belajar membaca quran di usia
yang tak lagi belia. Dan beliau berhasil! Di usia kepala lima beliau juga
berhasil menghapal juz 30. Subhanallah. Semoga Allah SWT menjaga hapalan beliau
dan mencurahkan rahmat-Nya selalu kepada bundaku.
Sebab sesungguhnya hidayahku pun
berasal dari orang tua. Dulu, ketika masih SD, ibu sering membawakan majalah
Annida (semoga Allah SWT membalas jasa para redaktur dan kontributornya) untuk kubaca.
Isinya penuh dengan keindahan Islam dan bagaimana menjalankan syariat Islam
dengan penuh ketaatan. Itu adalah peletak dasar pondasi berpikirku di masa itu.
Hidayah berikutnya menyusup ketika orang tuaku membeli kitab Riyadhus Shalihin
dua jilid sekaligus. Di masa SMP aku sering membacanya di sela-sela waktu
luang. Hingga semuanya menjadi sebuah monumen yang tersimpan di salah satu
labirin kesadaranku, meski sempat kutinggalkan tenggelam dalam hura-hura masa
muda dan kehidupan yang seakan berlangsung selamanya.
Tetapi aku salah. Dan keputusan
berhijab menyelamatkanku. Mempertemukanku dengan seorang muslimah yang sangat
lembut, berdakwah tanpa pemaksaan. Dengan cintanya aku mengenal Islam dalam
sisi yang dulu kukenal. Sisi persaudaraan muslimah. Ukhuwah yang mengalir manis
dan menghiasi hari-hari nan indah. Hingga kini aku masih berhubungan baik
dengannya, dan saudara-saudara muslimah lainnyaa. Hingga di titik ini aku tak
mampu menceritakannya lebih lanjut sebab hatiku sungguh bergetar dan mataku mulai
menangis bila mengingat saat-saat perpisahan dengan mereka.
Tapi hidup harus tetap berjalan.
Menjalani pernikahan dan menjadi seorang ibu adalah tantangan berikutnya.
Bagaimana aku bisa menjadi sosok panutan bagi putri sulungku? Sejak awal
kuputuskan untuk tidak memaksakan dia untuk berhijab. Aku ingin dia mengikuti
fitrahnya, menemukan jalannya sendiri untuk menggapai hidayah sebab rasanya
memang lebih indah. Bahkan hingga umur 6 tahun dia masih enggan berhijab.
Status sebagai seorang karyawati
yang menghabiskan sebagian besar waktu di kantor membuatku tiada henti berdoa.
Terutama ketika putriku bertanya kenapa ibu-ibu di sekitar rumah tidak berhijab
sepertiku. Terselip kekhawatiran apakah dia akan terpengaruh dengan lingkungan
atau bersedia mengikuti jejakku.
Hingga akhirnya Allah SWT
berkenan memberikan jawaban. Di suatu hari yang cerah putriku berkata,
"Aku mau pakai jilbab seperti Ummi...." Subhanallah. Momen masya
Allah yang takkan pernah kulupa.
Ibu adalah sekolah pertama putrinya. Panutan. Teladan. Memang
hidayah untuk berhijab bukanlah sesuatu yang bisa dicapai akal dengan logika.
Itu adalah sebuah rumusan magis, antara ikhtiar kita mencarinya, doa diam-diam
orang tua, maupun bersungguh-sungguh memelihara konsistensinya. Sungguh tak
mudah.
Semoga Allah SWT berkenan menjaga
keistiqomahan bagi diriku, ibu, putriku, dan seluruh muslimah di dunia untuk
tetap teguh di jalan-Nya. Sebab perintah berhijab adalah bentuk kasih sayang
Allah SWT kepada wanita, makhluk teristimewa di dunia.