Seorang gadis bernyanyi-nyanyi riang menelusuri jalan setapak yang lengang. Jalan itu membelah perbukitan landai penuh
kebun dan semak belukar rimbun yang menutupi jurang nan curam. Tak pernah
sekalipun terbersit rasa takut di hatinya, sebab daerah itu setiap hari
dilaluinya untuk pulang-pergi ke sekolah. Meskipun sore itu langit mendung dan
saudara lelakinya tak menemaninya, dia santai saja. Toh beberapa kali dia
pulang sendiri di waktu seperti itu tak pernah ada masalah.
Gadis itu begitu riang sebab hari
ini lagi-lagi dia mendapat nilai sempurna. Hatinya tak sabar hendak menunjukkan
kepada ibu-bapaknya. Karena nilai yang sempurna itu, dia tak perlu mengerjakan
tugas tambahan seperti saudara kembarnya yang sekelas dengannya. Kepalanya sibuk
membayangkan rencana-rencana apa yang mengasyikkan sesampainya di rumah.
“Ehemm!”
Gadis itu terkejut. Kepalanya
seketika mencari-cari sumber suara itu. Bulu kuduknya meremang.
“Si-siapa....”
Sesosok pemuda bertubuh kerempeng
mendekat.
“Ini aku, Dik. Kakak kelasmu.
Lupa?”
Gadis itu memicingkan matanya,
mencoba mengingat.
“Ah, Kak.... Apa kabar?” dia
bertanya sopan sambil mencoba mengingat-ingat nama pemuda itu.
Pria itu berjalan gontai ke
arahnya setengah sempoyongan. Gadis itu mengerutkan alisnya. Dadanya tiba-tiba
berdebar.
“Bisa bantu Kakak sebentar? Ada
hal yang mau Kakak bicarakan.”
Gadis itu meragu. Aroma tuak yang
menguar dari kemeja pemuda itu menggentarkan hatinya.
“Maaf ya, Kak, aku hendak pulang.
Ini sudah mau maghrib.”
Gadis itu sudah akan membalikkan
tubuhnya ketika tiba-tiba pemuda itu menangkap lengannya dan terkekeh.
“Mau kemana Adik manis?”
Ditepiskannya tangan pemuda itu,
tapi tak kuasa. Cengkeramannya begitu kuat. Gadis itu bergidik melihat tatapan pemuda
yang penuh berahi dan tubuhnya semakin gemetar.
Tidak...tidak...ini tidak
mungkin! Gusti, tolong aku! Bapak....Ibu!
Lalu terdengar suara-suara lain.
Suara pria-pria terkekeh dari balik pohon dan perdu. Lalu muncullah mereka satu
per satu.
Wajah-wajah penuh nafsu.
Melihat bahaya di depan matanya,
gadis itu seketika mendorong pemuda yang pertama. Dia terus berlari ke arah
puncak bukit. Dia tak peduli meski mereka semua mengejarnya. Napasnya terengah-engah,
seragamnya koyak menerjang semak berduri. Kulitnya berdarah tergores di
sana-sini. Tapi dia tak peduli. Lebih baik dia mati melindungi kehormatannya
daripada menjadi santapan binatang-binatang buas itu.
“Ha! Mau lari kemana Adik kecil?”
Seorang pria bertubuh kekar menghalangi jalannya. Gadis itu jatuh terjengkang.
Lalu entah dari mana sebuah balok kayu terayun ke arahnya.
Bukk!
Setelah itu gelap. Dan binatang-binatang
itu berpesta pora di atas tubuhnya.
* * *
“Kau yakin sudah menutupi
mayatnya dengan dedaunan?” bisik temannya pada pemuda pertama beberapa hari
kemudian.
“Sudah, Bang. Kenapa?”
“Yakin kau dia sudah mati?
Beberapa hari ini aku merasa melihat dia.”
Pemuda itu menghela napas.
Ternyata bukan hanya dia yang merasa demikian. Berhari-hari dia tak pernah bisa
tidur nyenyak sebab tiap kali memejamkan mata, wajah gadis itu terus saja
menghantuinya.
Malamnya dia memberanikan diri
mengecek jurang tempat mereka membuang jasad gadis itu. Semakin mendekati
tempat itu, bau busuk mayat makin memenuhi penciumannya.
Dari tubir jurang dilihatnya
seorang gadis menangis sesenggukan di balik tumpukan dedaunan. Tubuhnya sudah tak
utuh digerogoti belatung dan dipenuhi lalat beterbangan.
Pemuda itu tiba-tiba menangis tersedu. “Maafkan
Kakak, Dik. Maafkan Kakak....”
Dia lalu melompat ke dalam
jurang. Tubuhnya menyatu dengan gadis yang diam-diam pernah dicintainya dulu.
Jumlah kata : 500 kata.