Apa yang ada di benakmu tentang
ayah?
Bagiku: tak ada.
Bertahun-tahun kujalani hidup tanpa
mengenal dekat ayah kandungku sendiri. Sosoknya tersembunyi dalam sebuah ruangan rahasia di bawah tanah yang luasnya sebesar lima kali enam meter. Aku hanya bertemu ayahku saat dia
ke kamar mandi, saat makan, dan saat pergi ke masjid untuk shalat wajib.
Selebihnya aku hanya bisa bertanya tentangnya kepada Ibu.
“Ibu, kenapa Ayah tak pernah
keluar dari ruangan itu?”
“Ibu, kenapa Ayah tak pernah mau
main bersamaku?”
“Ibu, kenapa Ayah tak bekerja di
luar seperti orang lain?”
Ibuku akan tersenyum dan mengusap
lembut kepalaku, lalu berkata dengan lembut, “Itulah ayahmu. Orang yang paling
Ibu cintai. Itulah pilihan hidupnya, kita harus menghormati.”
Ibu bilang ayahku adalah seorang
pembuat boneka kayu. Dulu, ketika boneka kayu sedang jaya, ayahku sangat
terkenal dan dihormati. Namun, seiring redupnya kejayaan itu, ayahku menjadi
seorang yang bangkrut dan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seperti
yang kukenal.
Pertanyaanku semakin banyak ketika
aku beranjak dewasa. Saat itu kusadari ibuku semakin lelah menjadi tulang
punggung keluarga. Kulit tangannya menebal dan bersisik, akibat banting tulang
mencukupi kebutuhan kami.
“Ibu, apa tak lelah dicuekin Ayah?”
“Ibu, tak pernahkah minta nafkah
kepada Ayah?”
“Ibu, tak bisakah minta Ayah
untuk berubah?”
Lalu ibuku, dengan mata yang
tetap teduh dan senyum lembut yang tetap bertahan sekian tahun, menjawab, “Itulah
ayahmu. Orang yang paling Ibu cintai. Itulah pilihan hidupnya, kita harus
menghormati.”
Sepertinya ibuku hidup di negeri
dongeng dengan kisah cinta sejati yang tak pernah mati. Saat dewasa kuputuskan
keluar dari negeri itu dan menginjak bumi. Kuambil rute terjauh yang kubisa
untuk keluar dari rumah itu. Kuhabiskan masa mudaku dengan mencari beasiswa dan
bekerja lebih keras dari lainnya. Semua kulakukan untuk menciptakan sebuah
dunia, di mana ibuku bisa membuka matanya dan tersadar bahwa cintanya yang suci
itu hanyalah bertepuk sebelah tangan. Bukan cinta namanya bila membuat satu
pihak selalu menjadi korban.
Hampir-hampir dunia itu berhasil
kuciptakan, hingga suatu ketika sebuah panggilan dari ibuku menggagalkan
semuanya.
“Pulanglah, Nak. Ayahmu telah
tiada.”
Ternyata rencana Tuhan mendahului
rencanaku. Hari itu juga aku pulang dengan perasaaan tak menentu. Kubayangkan
ibuku pasti menangis tersedu, sedang aku harus berpura-pura meneteskan air mata
haru. Aku benci pada diriku tapi tak mampu melawan perasaan tak bersalah itu.
“Nak!” Pelukan lebar ibuku
menyambutku. Wajahnya terlihat lelah sebab menerima tamu tapi wajahnya tetap
teduh seperti dulu, membuatku sedikit terkejut.
“Ayo kita hibur para pelayat ini,
agar mereka tak bersedih…,” ajak Ibu, membuatku makin bertanya-tanya. Bukankah
Ayah tak pernah ke mana-mana? Lalu dari mana datangnya mereka? Belasan, mungkin
puluhan orang datang setiap hari, bahkan beberapa orang berasal dari
luar negeri.
Salah satu dari mereka
menyalamiku dan berkata, “Anda pasti bangga punya ayah seorang yang dermawan
dan profesional dalam pekerjaannya. Beliau adalah seorang maestro, yang
bertahun-tahun mendedikasikan diri sebagai pembuat boneka kayu, lalu boneka itu
didonasikan ke panti asuhan di seluruh pelosok negeri, bahkan hingga ke negara lainnya.
Sungguh sebuah kehilangan yang besar.”
Tepat di saat orang itu menghapus
setitik air di sudut matanya, saat itu juga aku merasakan sebuah batu dihunjamkan
ke dalam dadaku.
Jumlah kata: 500 kata.