“Tin!” panggil ibuku dari dapur.
“Antarkan air dan nasi putih buat
Bapak ke ruang belakang.”
Gegas kulaksanakan titah ibuku.
Kuketuk pelan daun pintu jati berwarna hitam itu.
“Pak, dhahar dulu, nggih. Tini
taruh di meja samping pintu, ya.”
Hanya deheman Bapak yang menyahut.
Meski telah terbiasa dengan lelakunya di tiap bulan purnama tiba,
hatiku masih terasa sesak tiap kali Bapak menghabiskan siang dan malam di dalam
ruangan itu.
Hanya Arfan, suamiku, yang paling
memahami kegelisahanku.
“Sabarlah, Dek. Suatu saat nanti
insya Allah Bapak akan sadar dan menghentikan ritualnya.”
“Tapi kapan, Mas? Hatiku sakit
tiap kali harus mengantarkan makan dan minum buat Bapak. Bukankah kalau kita
membantu kemusyrikan, dosa kita sama saja dengan pelakunya? Semua gara-gara keris
terkutuk itu!”
“Iya, tapi kan kita tidak pernah
berniat membantu Bapak dalam berbuat musyrik, Dek. Kita sudah cukup sering
mengingatkan beliau secara halus. Melawan beliau secara frontal dan
meninggalkan rumah ini bisa jadi malah akan menimbulkan mudharat yang lebih
besar. Setidaknya bila kita tinggal di sini, kita bisa mengajak Ibu dan
adik-adik mengaji, sambil terus mengajar Quran untuk anak-anak tetangga....”
“Apa bukan karena Mas gak mau
pindah dan sudah merasa nyaman tinggal di rumah orang tuaku yang mewah ini?”
entah dari mana datangnya ucapan yang keluar dari mulutku itu. Sedetik kemudian
aku sadar namun terlambat, wajah suamiku memerah. Setelah menghela napas dan
berbalik badan, dia meninggalkanku sendirian di dalam kamar.
Duh Gusti...kenapa aku berkata
seperti itu? Semua pasti gara-gara pengaruh benda terkutuk itu! Keris itu telah
memberikan pengaruh negatif bagi keluargaku. Ini tidak bisa dibiarkan! Besok
lusa, ya, begitu ritual Bapak selesai aku harus segera bertindak!
Sumber |
Ruangan belakang itu dipenuhi aroma
dupa yang menyengat dan sisa-sisa bunga sesajen layu, membuatku mual. Sudah
kepalang basah memasukinya, langkahku tak boleh surut meski tubuhku gemetar. Rasa
takut sempat menyelinap sebab otakku telah dipenuhi dengan kisah-kisah Bapak
tentang kehebatan keris yang konon buatan Mpu Gandring itu.
“Keris ini bukan keris
sembarangan, Nduk! Barangsiapa yang memilikinya, kelak akan menjadi pewaris
dari kesaktian Ken Arok dan juga memiliki kemuliaan dalam hidupnya,” sayup
suara Bapak bergaung di kepalaku.
Persetan! Benda terkutuk itu
harus dilenyapkan! Sorot mataku berkeliling mencari tempat penyimpanan keris
itu. Pasti ada di dalam lemari, atau di dalam sebuah peti.
Tapi...di manakah sebenarnya Bapak menyimpan keris itu? Setengah jam kulalui dengan hasil nihil.
Tiba-tiba semilir angin dingin
seakan menyelusup ke tengkukku, membuat bulu kudukku meremang. Sebuah benda bercahaya serta-merta
melayang di udara, lalu menukik ke arahku tanpa kuduga. Ujungnya yang tajam
berkilat seakan-akan hendak dihunjamkan ke arahku, entah oleh siapa.
Sendi-sendiku kaku, rasa gentar
menyelimuti tubuhku.
Brakk! Daun pintu yang terlepas
sebab dibuka paksa memecah ketakutanku.
“Astaghfirullah, Dek!” teriakan
histeris suamiku adalah suara terakhir yang kudengar sebelum aku pingsan.
* * *
“Jadi di mana sebenarnya Bapak
sekarang, Mas?” tanyaku berhari-hari kemudian setelah sadar.
“Semenjak itu, Bapak pergi
dari rumah. Bapak takut keris itu akan memakan korban lagi. Maka Bapak
memutuskan membawa keris itu dan menyarungkannya sendiri....”
Air mataku tiba-tiba mengalir deras
ketika menyadari, konon kabarnya keris itu memerlukan seorang tumbal
untuk menjadi sarungnya yang abadi.
Jumlah kata: 500 kata.
Sumur inspirasi tulisan ini dari https://id.wikipedia.org/wiki/Keris_Mpu_Gandring